.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Minggu, 13 April 2014

IMAM AT-TIRMIZI DAN KITAB JAMI’ AT- TIRMIZI


                          *Desri nengsih*
 
Setelah imam Bukhari, Muslim, dan Abu Daud, saatnya imam Tirmizi yang menjadi objek pembahasan. Dia merupakan tokoh, serta penghimpun hadis yang terkenal. Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli hadis utama, selain Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya Kitab Al Jami', yang dikenal dengan Jami' at-Tirmizi atau Sunan At- Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting yang berkaitan dengan masalah hadis dan ilmu hadis, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang hadis) dan ensiklopedia hadis terkenal.
Kitab Jami’ at-Tirmizi ini mempunyai ciri khas tersendiri yang tidak didapati pada kitab-kitab lainnya. Hal ini dikarenakan kitab ini membawa banyak hal baru dalam khazanah keilmuan hadis. Seperti; Pertama, penyajian hadis dalam kitab ini yang diikuti dengan penjelasan tentang kualitas hadis tersebut. Kedua, adanya istilah “hasan” untuk penilaian mutu sebuah hadis yang sebelumnya hanya mengenal “shahih” dan “da’if” .
Adanya hal-hal baru dari kitab ini menimbulkan agenda baru juga dalam perbincangan ulama hadis sesudahnya. Hal ini menjadi semakin serius seiring dengan beragamnya penilaian dan komentar ulama terhadap kitab ini.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba mengemukakan beberapa pokok pembahasan yang berkaitan dengan kepribadian imam at-Tirmizi yang dimulai dengan biografi dan rihlah ilmiyah beliau dalam mencari serta mempelajari hadis. Kemudian disusul dengan pembahasan tentang karya beliau kitab Jami’ at- Tirmizi untuk mengenal serta meneliti metode yang dipakai dalam penyusunan dan penulisan kitab ini, serta beberapa hal lainnya yang dianggap penting untuk dikemukakan.
      A.  Biografi dan pengembaraan imam at -Tirmizi dalam menuntut ilmu
1.      Nama lengkap imam Tirmizi
            Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah Bin Musa Bin ad-Dahaq as-Sulami at-Tirmiz[1]. Penisbahan namanya kepada as-Sulami merupakan nisbah kepada satu kabilah yang dijadikan sebagai afiliasi beliau. Dan nisbah ini merupakan sebuah nisbah kearaban. Akan tetapi, belum ditemukan sumber secara pasti, apakah ia benar berasal dari Arab atau tidak. Karena, sebagian dari penulis kontemporer mengatakan bahwa seluruh pengarang kutub as-sittah adalah a’jami (bukan berasal dari Arab). Sedangkan penisbahan namanya kepada Tirmizi, karena, ia lahir dan berkembang di kota Tirmiz, yaitu kota yang terletak dibagian selatan kota Iran sekarang[2].
            Imam Tirmizi lahir pada bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M). Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam at-Tirmizi. Sejak kecil ia sudah suka mempelajari ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri untuk mendapatkan ilmu. Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa ulama besar ahli hadis dan belajar hadis bersama mereka.
Imam Tirmizi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan dalam kitab al-Jami’nya, ia selalu memakai nama Abu Isa, meskipun sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen kepada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama[3] Abu Isa, karena, Isa tidak punya ayah. Namun, tetap saja ini tidak berpengaruh, karena, hal ini dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi dengan ulama yang lain, sebab ada beberapa ulama besar yang juga terkenal dengan nama at-Tirmizi,[4] yaitu:
a. Abu Isa at-Tirmizi, pengarang kitab al-Jami’ atau Sunan at-Tirmizi, tokoh yang menjadi topik pembahasan pada tulisan ini
b.  Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang masyhur dengan panggilan at-Tirmizi al-Kabir
c.  Al-Hakim at-Tirmizi Abu Abdillah Muhammad Ali bin al-Hasan bin Basyar, seorang yang berkepribadian zuhud, hafidz, muazzin, juga pengarang kitab yang biasa dikenal dengan sebutan al-Hakim at-Tirmizi.
              Pada akhir umurnya, imam Tirmizi mengalami kebutaan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ia buta semenjak lahirnya. Akan tetapi,  pendapat ini tidak begitu kuat. Berikut penjelasan dari ulama-ulama hadis yang berpendapat bahwa imam Tirmizi lahir dalam keadaan melihat dengan beberapa alasan, antara lain adalah:
a.   Ulama ahli hadis meriwayatkan, bahwa imam Tirmizi pernah mendatangi seorang ulama dengan tujuan meneliti beberapa hadis yang diterimanya melalui perantara ulama. Ternyata hadis yang dihafalnya itu tidak terdapat perbedaan sedikitpun. Dan akhirnya, imam Tirmizi menjadikan hadis itu sebagai hujjah. Andai kata itu dalam kadaan buta, tentu ia hanya akan meneliti hafalan-hafalannya tidak sampai pada tulisan.
b.    Hafiz Ibn ‘Allaq (w. 325 H), ia termasuk ulama yang mengetahui dari sumber pertama, bahwa imam Tirmizi lahir dalam keadaan melihat,ia mengalami kebutaan hanya pada akhir hidupnya, karena ia banyak menghafal, menulis dan menyelesaikan beberapa karangannya. Hal ini menyebabkan imam Tirmizi sakit mata yang sulit untuk disembuhkan, dan akhirnya mengalami kebutaan hingga wafatnya.
c.     Ditemukan berita, bahwa imam Tirmizi menghayati isi hadis yang tertulis dalam kitab Jami’-nya:
لو تعلمون ما اعلم لضحكتم و لبكيتم كثيرا. وقال أبو عيسى, هذا حديث صحيح
“Kalau anda sekalian mengetahui apa yang saya ketahui, pasti anda sedikit ketawa, dan anda pasti banyak menangis.
                   Hadis ini menunjukkan bahwa imam Tirmizi sering menangis yang menyebabkan ia kehabisan air mata. Sehingga, sakit mata yang dideritannya sulit untuk disembuhkan. Sebagaimana halnya bahwa imam Tirmizi adalah seorang yang zuhud dan wara’. Di samping itu, ia juga seorang individu yang sugestible, mudah hanyut perasaannya ketika tiap kali menyaksikan derita orang lain dan sering menangis ketika melihat keadaan orang lain tersebut.[5]
2.    Wafatnya imam Tirmizi
               Pada saat umurnya 70 tahun, sang Illahi memanggil imam Tirmizi, bertepatan  pada tahun 279 H[6]. Imam As Syakir menyebutkan bahwa Imam Tirmizi wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H pada malam Senin. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Hafiz Al-Mizzi dalam kitab at Tahzib dari Al-Hafizh Abu Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang telah melawat ke Khurasan dan lama menetap disana.
3.      Rihlah ilmiyah imam Tirmizi
              Kota Tirmiz merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan dan membesarkan ulama, baik itu ulama hadis, tasawuf dan bahasa Arab. Keadaan ini jugalah yang mendukung imam Tirmizi berpacu semangat dalam mempelajari dan mengumpulkan hadis. Walaupun, keadaan kota kelahirannya mendukung untuk mempelajari dan meriwayatkan hadis, namun imam Tirmizi belum merasa puas dengan keadaan tersebut. Maka, untuk memenuhi rasa kepuasan dirinya, ia melakukan perjalanan kebeberapa negeri untuk belajar dari ulama hadis yang ada di negeri tersebut. Dalam rihlahnya, imam Tirmizi melakukan perjalanan ke Bukhara, Khurasan, Naysabur, Iraq, Hijaz, Makkah, dan beberapa negeri lainnya[7], akan tetapi beliau tidak melakukan perjalanan ke Mesir dan Syam. Hal ini disebabkan, karena keadaan yang tidak memungkin pada waktu itu, sehingga ia meriwayatkan hadis dari ulama kedua negeri ini dengan perantaraan ulama lainnya[8]. Selain dua kota ini, imam Tirmizi juga tidak mendatangi kota Bagdag. Karena, kemungkinan adanya situasi yang negatif di kota Bagdag ketika itu, sehingga ia tidak dapat mendengar hadis secara langsung dari imam Ahmad Bin Hanbal[9]. Dalam pelawatannya, imam Tirmizi selalu mencatat hadis dari ulama yang ditemuinya.[10]
4.      Guru dan murid imam Tirmizi
               Dalam pengembaraannya mencari hadis, imam Tirmizi banyak belajar dari beberapa tokoh hadis terkemuka, baik itu ketika di negerinya sendiri, maupun di negeri tempat pengembaraannya. Di antara guru imam Tirmizi adalah Quthaibah Bin Sa’id, Mahmud Bin Ghilan, Muhammad Bin Basyar, Ishaq Bin Musa, Sa’id Bin Nashar, Sa’id Bin Abd ar-Rahman, Ali Bin Hajar, Abdullah Bin Muawiyah, Ahmad Bin Mani’, Muhammad Bin Mutsanna, Sufyan Bin Waki’, Bukhary, Muslim, Abu daud, ad-Darimi, Abu Zur’ah [11], Ibnu Hajar, Ahmad ibn Mani’, Muhammad ibn al-Mutsanna,  Abu Mus’ab, Sufyan ibn Waki’, al-Darimi,[12] dan lain-lain.
               Di samping dia belajar dari para ahli tokoh hadis, dia juga mempunyai beberapa murid yang banyak belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Diantaranya  adalah imam Bukhary, Haitsam Bin Kulaib asy-Syasi, Makhul Bin Fadhl, Muhammad Bin Muhammad Bin ‘Anbar, Hamad Bin Syakir, Ahmad Bin Yusuf an-Nasafi, Abu Hamad, Abu Hamid Ahmad Bin Abdillah Bin Daud al-Maruzi, Muhammad Bin Mahbub al-Mahbubi, Muhammad Bin Munzir, dan lain-lain[13].  
5.      Karya imam Tirmizi
               Sebagai pecinta hadis, imam Tirmizi mencurahkan seluruh hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Kualitas ilmunya juga tercermin dari banyaknya karya yang dihasilkannya terutama di bidang hadis yang dikukuhkan dengan sejumlah karya yang menghimpun dan mengupas tentang pribadi Rasulullah Saw dari berbagai sisi. Diantara karya tersebut adalah[14]:
1.         Kitab Jâmi’ at Tirmizi atau Sunan at Tirmizi merupakan hasil karyanya yang sangat terkenal, sehingga ia dikenal dengan Shâhib at-Tasnîf
2.         Asy-Syamâil an-Nabâwiyah
3.         Al-‘Ilal[15]
4.         At-Târikh
5.         Az-Zuhd
6.         Kitab at-Tafsir
7.         Kitab al-Shamail al-Nabawiyah
8.         Al-Asmâ’ wa al-Kunâ
9.         Al-Jarh wa Al-Ta’dîl
10.     Al-Atsar al-Mauqūfah
 Inilah beberapa karya imam Tirmizi yang sering disebutkan pada beberapa kitab mu’tamad, mungkin masih ada beberapa karyanya yang lain yang belum sampai kepada kita, atau kemungkinan hilangnya sebagian dari karyanya seiring dengan ketiadaannya.
6.      Kekuatan hafalan imam Tirmizi
                Dari segi keintelektualannya Imam Tirmizi diakui para ulama keahliannya dalam hadis, keshalehan dan ketakwaannya[16]. Ia juga dikenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan hafalannya, seperti kisah yang dikemukakan oleh Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib, dari Ahmad Bin Abdullah Bin Abi Dawud bahwa “Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid buku berisi hadis-hadis yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada pada saya. Ternyata yang saya bawa bukanlah dua jilid kitab tersebut, melainkan dua jilid kitab lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengarkan hadis, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadis yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu, ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadis yang lain. Ia pun membacakan empat puluh buah hadis yang tergolong hadis-hadis yang sulit atau gharib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi! Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau”[17].

     B.  Kitab Jami’ at-Tarmizi
1.    Kitab Jami’ at-Tarmizi
 Kitab Jami’ at Tirmizi ini selesai disusun dan ditulis imam Tirmizi pada 10 Zulhijjah 270 H[18]. Ini merupakan karyanya yang terkenal yang termasuk salah satu dari "Kutubus Sittah" dan ensiklopedia hadis terkenal. Kitab Al-Jami’ ini lebih dikenal dengan nama Jami’ at-Tirmizi yang dinisbahkan kepada namanya. Ulama menamakan kitab ini dengan al-jami’ karena mengandung pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan hukum dan selain hukum, seperti memuat hadis tentang siyar , adab (perilaku sosial), tafsir (tasir Alquran), aqidah (keyakinan/keimanan), fitan, ahkam (hukum dengan berbagai jenisnya), al-Asyrat wa al-Manaqib (biografi Nabi dan para sahabat tertentu), al-fadlail (keutaman-keutamaan[19]. Di samping itu, sebagian ulama juga menamakannya dengan nama Sunan at-Tirmizi karena mengandung hadis-hadis hukum yang disusun berdasarkan bab-bab fiqhi[20].  Imam al Hakim juga memberi title kitab ini dengan al-Jami’ al-Kabir, hanya Khatib al Baghdadi yang menyebutnya dengan Shahih al-Tirmizi. Diantara nama-nama karya Tirmizi ini, Jami’ at-Tirmizi lah yang lebih popular[21].
Dalam penamaan kitab ini (Jami’ At-Tirmizi atau Sunan At-Tirmizi) tidak dipermasalahkan oleh para ulama, tetapi yang menjadi perselisihan adalah keika ada kata-kata shahih yang melekat dengan nama kitab tersebut. Ibnu Kasir (W. 774 M) berpendapat pemberian nama itu tidak tepat, sebab di dalam kitab al-Jami’ At-Tirmizi tidak hanya memuat hadis-hadis shahih saja, akan tetapi juga memuat hadis hasan, dha’if dan munkar,[22] meskipun imam Tirmizi menerangkan kelemahan serta ke-mu’alalan hadis tersebut dan kemunkarannya.
Kitab ini ditahqiq oleh beberapa ulama kenamaan pada generasi sekarang, seperti Ahmad Muhammad Syakir (Qadi Shar’i), Muhammad Fuad Abdul Baqi (penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (dosen di Unversitas Al-Azhar, Kairo), imam Albani dan lain-lain.
Ketika imam Tirmizi selesai menyusun kitab ini, ia memperlihatkannya kepada para ulama, dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semua meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara"[23].
2.    Metode dan sistematika penulisan Sunan at Tirmizi/Jami’ at Tirmizi
Diantara metode yang dilakukan imam Tirmizi dalam menyusun kitab ini adalah[24]:
1.    Dia menyusun bukunya berdasarkan kitab dan bab-bab fiqih, yang dimulai dengan kitab Thaharah dan diakhiri dengan kitab ‘ilal, seperti Kitab 6 tentang Shaum Bab 1: tentang keutamaan bulan ramadhan, dan seterusnya[25]
2.    Dalam kitabnya terdapat hadis shahih, hasan dan dha’if, dia juga menjelaskan derjat atau kualitas  setiap hadis.  Dalam menjelaskan kualitas hadis, imam Tirmizi menerapkan empat standarisasi dalam periwayatan hadis, yaitu:
a.         hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim
b.        hadis-hadis yang shahih menurut standar Abu Dawud dan an-Nasa’i
c.         hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya
d.        hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja keshahihannya tidak sampai pada tingkat dha’if matruk[26].
3.    Imam Tirmizi melakukan peringkasan terhadap sanad hadis, jika dalam satu bab terdapat beberapa hadis yang sama turuqnya
4.    Imam Tarmizi juga menyebutkan mazhab sahabat, tabi’in dan fuqaha’
5.    Imam Tirmizi menyebutkan hadis-hadis yang dianggap bertentangan secara zhahir (mukhtalif al hadis), dan menjelaskan derjat hadis tersebut, serta penjelasan dari siapa hadis itu diriwayatkan.
6.    Mentakhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’, seperti Imam Tirmizi pernah berkata: “ Semua hadis yang terdapat di dalam kitab ini dapat diamalkan”. Oleh karena itu, sebagian besar ulama menjadikannya sebagai pegangan, kecuali dua hadis, yaitu:
pertama:
   حديث ابن عباس رضي الله عنه: أنّ النبي صلّى الله عليه وسلّم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر[27]
kedua:
أنّ النبي صلّى الله قال: إذا شرب الخمر فاجلدوه، فإن عاد فى الرابعة فاقتلوه[28]
Hadis pertama tentang menjama’ sholat”,  para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar dari mereka berpendapat , menjamasholat tanpa ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan”, hukumnya boleh, asalkan tidak dijadikan sebuah kebiasaan. Pendapat ini dikemuakan oleh Ibnu Sirin, Asy-Syihab, Ibnu Munzir, dan sebagian besar ulama fiqih dan hadis. Adapun hadis kedua tentang peminum khamar, menurut ijma’ ulama bahwa hadis ini sudah mansukh[29].
7.     Imam tirmizi menutup karyanya ini dengan kitab ‘ilal.
Adapun tujuan imam Tirmizi menutup karyanya dengan kitabilal  adalah[30] : 
1.    Menjelaskan tentang rawi dan cacat (jarh) yang terdapat pada pribadi  mereka, seperti al kizbu, bid’ah, su’ al hifzhi, ghoflah, dan lain-lain.
2.    Dorongan untuk menjelaskan aib rawi
3.    Menjelaskan sebagian rawi yang tidak dipakai oleh Ibnu al-Mubarak
4.    Penjelasan bahwa riwayat dari majruhin dibolehkan dengan syarat menjelaskan keadaan rawi tersebut kepada pembaca.
5.    Peringatan agar tidak terlalu fokus dengan keshalihan rawi tanpa membahas  kedhabitan dan kekuatan hafalannya.
6.    Menyebutkan perbedaan imam-imam yang berpegang dengan hadis mursal, dan penjelasannya bahwa hadis mursal dari rawi yang tsiqqah diterima.
Jadi, diketahui bahwa imam Tirmizi dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadis hasan, da’if, garib dan mu’allal, akan tetapi imam Tirmizi menjelaskan sebab lemahnya hadis tersebut. Di samping itu, imam Tirmizi tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadis-hadis yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqhi. Oleh karena itu, ia meriwayatkan semua hadis yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih, hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadis tersebut.
Hadis dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab imam Tirmizi ini,  pada umumnya menyangkut tentang fadhâil al-a’mal. Persyaratan bagi hadis semacam ini lebih longgar dibanding dengan persyaratan hadis yang berkaitan tentang halal dan haram.
3.    Keistimewaan kitab Jami’ at-Tirmizi
Imam Ibnu Atsir mengatakan “ Kitab Tirmizi merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus sisematikanya dan sedikit pengulangannya[31]. Di dalam kitabnya banyak terdapat keterangan-keterangan penting yang tidak ditemukan pada kitab lain. Seperti, pembahasan mengenai mazhab-mazhab, cara beristidlal, dan penjelasan mengenai hadis shahih, hasan dan gharib, dan tak lupa pula pembahasan tentang jarh dan ta’dil, kemudian diakhir kitabnya juga ditutup dengan kitab ‘ilal[32]. Jadi, kitab ini sangat berfaedah besar bagi yang mempelajarinya.
Di antara keistimewaan lainnya adalah terdapatnya hadis tsulâtsî ( hanya tiga perawi). Sehingga, imam Tirmizi meriwayatkan hadis yang tinggi (‘ali). Di antara imam Tirmizi dengan Nabi Saw hanya terdapat tiga perawi. Seperti dalam kitabnya terdapat satu buah hadis Tsulâtsî[33], yaitu:
  حدثنا إسماعيل بن موسى قال حدثنا عمر بن شاكر  عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم يأتي على الناس زمان  ألصابر منهم على دينه كالقابض على الجمر. ( رواه الترمذي(

4.    Isi kitab Jami’ at Tirmizi
Kitab Jami at Tirmizi ini memuat berbagai permasalahan pokok, di antaranya yaitu: al-‘aqaid (akidah), al-riqaq (budi luhur), adab (etika), al-Tafsir (tafsir al-Qur’an), al-tarikh wa al-syiar (sejarah dan jihad Nabi saw), al-syama’il (tabi’at), al-fitan (fitnah), dan al-manaqib wa al-masalib.
Kitab Jami’ at Tirmizi ini merangkup beberapa kitab yang terbagi kedalam 2376 bab, kemudian ditambah dengan penjelasan tentang ‘ilal, yang meliput sebanyak 3956 hadis.
Secara rinci sistematika kitab ini dapat dilihat dari masing-masing juznya sebagai berikut:[34]
Juz pertama  :terbagi menjadi dua bab, yaitu bab at-Thaharah dan bab as- Shalah, dari bab itu dibagi menjadi sub-sub bab.
Juz kedua    :lanjutan bab shalah sebagai lanjutan dari juz kesatu.
Abwab witir terdiri atas 22 bab dan 25 hadits.
                      Abwab Al-Jumu’ah terdiri atas 29 bab dan 41 hadits
                      Bab ‘Idayn terdiri atas 9 bab dan 12 hadis
                      Bab al-Safar terdiri atas 44 bab dan 72 hadits
Juz ketiga    : Juz ini dibagi menjadi Sembilan kitab yang meliputi:
a.    Kitab Zakat terdiri atas 38 bab dan 73 hadits
b.    Kitab Shiyam terdiri atas 83 bab dan 126 hadits
c.    Kitab Hajj terdapat 116 bab dan 15 hadits
d.   Kitab Janazah terdiri 76 bab dan 144 hadits
e.    Kitab Nikah terdiri atas 43 bab 65 hadits
f.     Kitab Rada’ terdiri atas 19 bab dan 26 hadits
g.    Kitab Thalaq dan Li’an terdiri atas 23 bab dan 30 hadits
h.    Kitab Buyu’ terdiri atas 76 bab dan 104 hadits
i.      Kitab al-Ahkam terdiri atas 42 bab dan 58 hadits
Juz keempat :
a.    Kitab ad-Diyat terdiri dari 23 bab dan 36 hadits.
b.    Kitab al-Hudud terdiri atas 30 bab dan 40 hadits.
c.    Kitab as-Sa’id terdiri atas 7 bab dan 7 hadits.
d.   Kitab az-zzaba’ih terdiri atas 1 bab dan 1 hadits.
e.    Kitab al-Ahkam dan al-Wa’id terdiri atas 6 bab dan 10 hadits.
f.     Kitab ad-Dahi, terdiri atas 24 bab dan 30 hadits.
g.    Kitab as-Siyar, terdiri atas 48 bab dan 70 hadits.
h.        Kitab fadhail al-Jihad, terdiri atas 26 bab dan 50 hadits.
i.      Kitab al-Jihad, terdiri atas 39 bab dan 49 hadits.
j.      Kitab al-libas, terdiri atas 45 bab dan 67 hadits.
k.    Kitab at-Ath’imah,terdiri atas 48 bab dan72 hadits.
l.      Kitab al-Asyribah, terdiri atas 21 bab dan 34 hadits.
m.  Kitab Birr wa al-Shilah, terdiri atas 87 bab dan 138 hadits.
n.    Kitab at-Thibb, terdiri atas 35 bab dan 33 hadits.
o.    Kitab al-Fara’id, terdiri atas 23 bab dan 25 hadits. 
p.    Kitab al-Washaya, terdiri atas 7 bab dan 8 hadits.
q.    Kitab al-Wala’ wa al Hibah, terdiri atas 7 dan 7 hadits
r.     Kitab al-Fitan, terdiri atas 79 bab dan 111 hadits.
s.     Kitab ar-Ru’ya, terdiri atas 10 bab dan 16 hadits.
t.     Kitab as-Syahadat, terdiri atas 4 bab dan 7 hadits.
u.    Kitab az-Zuhd, terdiri atas 64 bab dan 110 hadits.
v.    Kitab Shifat al-Qiyamah, al-Raqa’iq dan al-Wara’ terdiri atas 60 bab dan 110 hadits
w.  Kitab Shifat al-Jannah, terdiri atas 27 bab dan 45 hadits.
x.    Kitab Shifat Jahannam terdiri atas 13 bab dan 21 hadits.
Juz kelima:
a.    Kitab Al-Iman, terdiri atas 18 bab dan 31 hadits.
b.    Kitab Al-Ilm, terdiri atas 19 bab dan 31 hadits.
c.    Kitab Isti’dzan, terdiri atas 34 bab dan 43 hadits.
d.   Kitab Al-Adab, terdiri atas 75 bab dan 118 hadits.
e.    Kitab An-Nisa’, terdiri atas 7 bab dan 11 hadits.
f.     Kitab Fadla’il al-Qur’an, terdiri atas 25 bab dan 41 hadits.
g.    Kitab al-Qira’at, terdiri atas 13 bab dan 18 hadits.
h.    Kitab Tafsir al-Qur’an, terdiri atas 95 bab dan 158 hadits.
i.      Kitab ad-Da’wat, terdiri atas 133 bab dan 189 hadits.
j.      Kitab al-Manaqib, terdiri atas 75 bab dan 113 hadits.
k.    Kitab al-‘Ilal.
5.    Imam Tirmizi dan hadis hasan
Sebelum munculnya imam Tirmizi, kualifikasi hadis hanya terbagi menjadi dua, yaitu  Hadis Shahih dan Hadis Dha’if. Shahih adalah hadis yang antara lain diriwayatkan oleh rawi yang kuat hafalannya (dhabith), dan wajib diterima untuk diamalkan. Sedangkan dha’if merupakan hadis yang antara lain diterima dari rawi yang mempunyai daya ingat lemah, dan periwayatannya harus ditinggalkan. Di sini, imam Tirmizi mempunyai pemikiran yang sangat brilian, ketika suatu hadis diriwayatkan oleh rawi yang standar hafalannya di bawah rawi hadis shahih, namun, masih unggul dibanding rawi hadis dha’if. Sehingga, hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali’, namun lemahpun tidak`, maka, beliau mengkategorikan periwayatan seperti ini kepada tingkat ‘hasan’. Oleh karena itu, Imam Tirmizi lah orang yang pertama sekali membagi hadis menjadi shahih, hasan, dan dhaif. Sebelum beliau, tidak seorang ulamapun yang menyinggung tentang istilah hadis hasan[35]. Walaupun, sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah hadis hasan sudah ada dipakai sebelum imam Tirmizi, namun ini hanya sebagian kecil saja[36]. Hal ini menjadi warisan fenomenal dalam ilmu hadis yang ditinggalkan oleh imam Tirmizi.
a.         Makna perkataan imam Tirmizi ( حسن صحيح)
Dalam kitabnya imam Tirmizi sering mengatakan hadis ini حسن صحيح, Ibnu Hajar mengatakan bahwa makna dari perkataan imam Tirmizi ini adalah[37]:
1.   Jika hadis tersebut diriwayatkan oleh dua sanad atau lebih, maka hadis ini hasan berdasarkan satu sanad dan shahih menurut riwayat lain.
2.   Jika hanya terdapat satu sanad saja, maka hadis ini hasan menurut suatu kaum dan shahih menurut kaum yang lain.
b.        Makna perkataan imam Tirmizi ( حسن غريب)
Dalam kitabnya, imam Tirmizi juga sering mengatakan hadis ini حسن غريب. Adapun maksud perkataan imam Tirmizi ini adalah: jika gharibnya itu terdapat pada sanad dan matan, dan hanya terdapat satu jalur sanad saja, maka hadis ini adalah hadis hasan lizatih ( حسن لذاته). Imam Tirmizi mengatakan hal ini, karena dia mempunyai alasan yang kuat[38]. Adapun jika ghorib tersebut hanya terdapat pada sanad saja, dan terdapat pada berbagai bentuk atau thuruq yang masyhur, kemudian datang  satu thariq lagi yang tidak masyhur, maka hadis ini adalah hadis hasan.
c.         Makna perkataan imam Tirmizi (  حسن)
Jika terdapat dalam kitab Tirmizi hadis ini adalah hadis hasan, maka maksud hadis tersebut adalah hadis hasan li ghoirihi (حديث حسن لغيره), artinya sanad hadis tersebut adalah dha’if,  dan dikuatkan dengan thuruq lain yang lebih kuat darinya, dan setelah terpenuhinya syarat terangkatnya derjat hadis dhaif menjadi hasan li ghoirihi.
6.    Pandangan dan kritik ulama terhadap pribadi imam Tirmizi dan kitabnya
Di mata kritikus hadis, integritas pribadi dan kapasitas intelektual imam Tirmizi tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pernyataan yang dikemukakan oleh para tokoh hadis, di antaranya:
a.       Tercatat, Bukhari, ulama besar hadis sekaligus guru Tirmizi sendiri mengakui akan kadar ketsiqqahan dan keshahihan hadis dari muridnya itu. Terbukti dengan kesediaan Bukhari mentransfer dua unit hadis yang diriwayatkan Tirmizi, hadis bermuatan tafsir surat al-Hasyar ayat  5 dan hadis tentang larangan orang berhadas besar menetap di masjid.
b.         Ibnu Hibban menerangkan bahwa at Tirmizi adalah seorang penghimpun, penyampai sekaligus pengarang kitab shahih. Al-Khalili juga menyanjungnya sebagai pribadi yang tsiqqah dan muttafaq ‘alaih (diakui kapasitasnya oleh Imam Bukhari dan Muslim).[39]
c.         Pujian juga keluar dari imam al-Hakim Abu Ahmad kepada imam Tirmizi  bahwa “sepeninggal Imam Bukhari, tidak ada ulama yang menyamai ilmu, kewaraan dan kezuhudannya di Khurasan kecuali Abu Isa at-Tirmizi”.
Selain beberapa pujian, penilaian lain juga tertuju kepada imam Tirmizi. Seperti yang dikemukakan oleh az Zahabi dalam Mizan al-I’tidal bahwa “Tirmizi adalah imam yang agak toleran dalam menggolongkan hadis yang sahih atau hasan”. Kemudian Juga disusul ungkapan dari Ibn Hazm bahwa “imam Tirmizi adalah imam yang majhul. Mengenai masalah yang satu ini, ulama tidak membesar-besarkannya. Karena, menurut mereka hal ini wajar, mengingat tempat domisili Ibn Hazm yaitu kota Andalusia yang jauh dari para ulama hadis pada waktu itu.[40]
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh imamTirmizi dalam melestarikan hadis melalui kitabnya, pro dan kontra tetap mewarnai karyanya tersebut. Di antaranya adalah Imam Syarafudin an-Nawawi dalam Taqrib dan Jalaluddin al-Suyuti dalam al-Jami’ al-Saghir menempatkan kitab al-Jami’ pada urutan kedua setelah Sunan Abu Daud dan sebelum Sunan an-Nasa’i.[41] Imam Nawawi juga berkomentar seperti yang dikutip oleh as-Suyuti “Kitab Sunan Tirmizi adalah kunci untuk mengetahui hadis hasan. Sebab, kitab inilah yang membumikan istilah tersebut.[42]
Al-Hafiz Ibn Asir (w. 524 H.) menyatakan bahwa kitab al-Jami’ ini adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang.[43]
Pujian yang lebih menakjubkan diutarakan oleh Abu Ismail al-Harawi (w. 581 H.), ia berpendapat bahwa kitab at-Tirmizi ini lebih banyak faedahnya dari pada kitab Sahihain. Alasan imam al Harawi adalah bahwa hadis yang termuat dalam Jami’ at Tirmizi diterangkan kualitasnya, begitu juga dijelaskan sebab-sebab kelemahannya. Sehingga, setiap orang, baik dari kalangan fuqaha’, muhaddisin dan yang lainnya dapat lebih mudah mengambil faidah dari kitab ini.[44]
Sementara al-‘Allamah al-Syaikh Abd Aziz berkomentar bahwa kitab al-Jami’ adalah kitab yang terbaik. Sebab, sistematika penulisannya baik, sedikit penyebutan hadis yang diulang, diterangkan mengenai mazhab fuqaha serta cara istidlal yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula nama-nama perawi yang dilengkapapi dengan gelar dan kuniyahnya.[45]
Senada dengan ulama-ulama lainnya, Muhammad Ajjaj al-Khatib menilai kitab ini sebagai kitab hadis yang banyak manfaat dan memiliki kekhususan yang tidak dipunyai oleh kitab-kitab lainnya. Manfaatnya dirasakan terutama oleh para ulama hadis yang meneliti keshahihan hadis, begitu juga untuk mengungkapkan illat hadis, istimbat hukum dan mengetahui ketsiqqahan rawi yang tertingal. Sedangkan, kekhususannya nampak pada sistematikanya, serta penerapan istilah ulumul hadis yang masih bersifat teoritis sebelumnya, yaitu penggunana istilah baru “hasan shahih” dan “shahih gharib”.[46]
Subhi al-Shalih memberikan penilaian terhadap kitab ini dengan mengemukakan, bahwa siapa yang ingin meluaskan wawasannya di bidang hadis, semestinya ia menelaah kitab Jami’ atTirmizi.
Kendati banyak pihak yang melayangkan pujian, ada juga ulama yang mengarahkan kritikan terhadap kitab ini. Di antaranya adalah Ibnu al-Jauzi. Setelah melakukan penelusuran mendalam, ia berkesimpulan bahwa dalam kitab tersebut terdapat 30 hadis maudhu’. Namun, hal ini dibantah keras oleh as-Suyuti, sebagaimana dimaklumi bahwasanya Ibnu al-Jauzi terkenal dengan sangat mudahnya (tasahhul) memvonis bahwa sebuah hadis berstatus palsu.[47]
Faktor lain yang mempengaruhi derajat kitab ini adalah terdapatnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Mashlub dan al-Kilbi yang keduanya dicurigai sebagai pemalsu hadis[48]. Sehingga, hal ini menyebabkan kitab Tirmizi berada dibawah kitab Sunan Abu Daud.
Sebagai pertimbangan yang juga mampu mempertahankan kedudukan kitab Jami at-Tirmizi dalam jajaran kutubus sittah antara lain:
a. Seleksi mutu hadis yang dimuat telah dikonsultasikan kepada ulama hadis  di wilayah Hijaz, Irak dan Khurasan.
b. Memuat jenis hadis bersanad tsulasiyah walaupun dalam jumlah yang minim. Seperti, hadis riwayat dari Ismail bin Musa dari Umar bin Shakir dari sahabat Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas.
c. Kelompok hadis yang dianggap maudhu’ yang bermateri fadhȃil, ternyata padanan matannya dapat dijumpai dalam koleksi Shahih Imam Muslim.
d. Sejauh hasil pengamatan seksama, imam Tirmizi memperoleh kepastian bahwa semua hadis koleksi al-Jami’ layak diamalkan (dijadikan pedoman) ,kecuali dua hadis seperti yang telah disebutkan di awal.[49]
7.    Syarah kitab Jami’ at-Tirmizi
Salah satu bentuk perhatian ulama terhadap kitab Jami’ at-Tirmizi adalah banyaknya diantara tokoh-tokoh hadis yang melakukan pensyarahan terhadap karyanya, di antaranya adalah[50]:
1.    ‘Āridhah al-Ahwazy fî Syrhi at-Tirmizi oleh Abu Bakar Muhammad Bin abdillah al-Asybily ( w. 534 H)
2.    Syarh Zain ad-Dîn Abd ar-Rahman Bin Ahmad Bin Naqib Bin Rajab al-Hanbali (w. 795)
3.    ‘Āl Urf as Syazy ‘ala Jâmi’ at-Tirmizi oleh Sirajuddin Umar Bin Ruslan Bin Mulqan (w. 804 H)
4.    Qūt al Mughtazi ‘ala Jâmi’ at-Tirmizi oleh imam jalaluddin as-Syuyuti, dan lain-lain. 

Padang, 13 April 2014

                                        DAFTAR KEPUSTAKAAN

 Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis. Surabaya: Al-Muna. 201.
Abbas, Hasim. Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar. (Surabaya: Bidang  Penerbitan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. 2003.
Abdullah al-Hamid, Muhammad. Manahij al Muhaddisin.  Dar ‘Ulumu as-Sunnah. 1999.
Abu Ruyyah, Mahmud. Adwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah.
Abu Syahbah, Muhammad Bin Muhammad. Kutubus Sittah. Surabaya: Pustaka   Progressif. 1993.
Abu Salim, Dalal Muhammad Sayyid. Manâhij al Muhaddsîn min al Qarni as Sâlis al Hijry Hatta ‘Ashrinâ al Hâdhir. Cairo: Jami’ah al Azhar. 2006.
Al-Khatib, Ajjaj. Usul al-Hadis. Beirut: Darul Fikr. 2006.
Al ‘Azhami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin. Bandung: Pustaka Hidayah. 1996.
At Tirmizi, Abu ‘Isa. Al-Jami’ al-Shahih al-Tirmidzi, Juz V Beirut: Dar al-Fikr. 1963.
Dzulmani. Mengenal Kitab-Kitab Hadis. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Hamid, Sa’ad Bin Abdillah. Manâhij al Muhaddsîn. Riyadh: Dar ‘Ulum as Sunnah. 1999.
Ismail, M. Syuhudi. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Mazid, Ali Abd Basit. Manâhij al Muhaddisîn min al Qarni al Awwal al hijry Hatta ‘Ashrinâ al Hâdhir. Cairo: Maktabah Jami’ah al Azhar. 2010.
Qism al Hadis wa Ulumuhu. Manâhij al Muhaddisîn. Cairo: Jami’ah al Azhar. 2005.

Siba’i, Mushtafa. As Sunnah wa Makânatuhâ fî at Tasyrî’ al Islâmy. Cairo: Dar as Salam. 2008.
Sutarmadi, Ahmad. Al Imam Al Tirmizi Peranannya Dalam Pengembangan Hadits dan Fiqhi. Jakarta: Perpusatakaan Nasional. 1998.
Thahan, Mahmud. Taisîr Mushtalah al Hadîs. Cairo: Dar al Fikr.








[1] Qism al-Hadis wa Ulumuhu, Manâhij al-Muhaddisîn. ( Cairo: Jâmi’ah al-azhar, 2005 ), h. 151
[2] Sa’ad Bin Abdillah Hamid, Manâhij al-Muhaddisîn. ( Riyadh: Dar Ulum as-Sunnah, 1999), h. 78
[3] al-Qari menjelaskan lebih detail bahwa yang dilarang  itu apabila nama asli, bukan kuniyah atau julukan.
[4]  Suryadi. Jurnal Studi  Ilmu-Ilmu Alquran dan Hadis (.Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 244.
[5] Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits. (Beirut: Darul Fikr, 2006),  hal. 212.
[6] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Manâhij al-Muhaddsîn min al-Qarn al Tsâlis al Hijri hatta ‘Asrinâ al hâdhir. ( Cairo: Jâmi’ah al Azhar, 2006), h. 73
[7] Ibid, h. 61
[8] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmizi Perananya dalam Pengembangan Hadis dan Fiqh. ( Jakarta: Perpusatkaan Nasional, 1998 ), h. 59
[9] ibid
[10] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis. (Surabaya: Al-Muna, 2010), hal. 118
[11] Sa’ad Bin Abdillah Hamid, Op. Cit, h. 81. Lihat juga Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 74
[12]  Hasim Abbas, Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: Bidang Penerbitan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2003), hal. 70.
[13] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 74
[14] Ali Abd AlBasit Mazid, Manâhij al-Muhaddisîn  fî al-Qarn al-Awwal al-hijri Hatta ‘Asrinâ al-Hâdhir. ( Cairo: Maktabah at-Taufiqiyah dan Maktabah al-Iman, 2010), h. 375
[15] Ibnu Nadim mengatakan bahwa kitab ‘ilal yang dimaksud disini bukanlah ‘ilal yang ada diakhir Jami’ Shahih karyanya.
[16] Ajjaj al-Khatib, Op. Cit, hal. 212
[17] Muhammad Muhammad Abu Syahbah, Kutubus Sittah [Terjemahan ]. ( Surabaya: Pustaka Progresif, 1993), h. 83
[18] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 157.
[19] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 76
[20] Ali Abd AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 375
[21] Ibid
[22] Mahmud Abu Ruyyah, A dwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 25, lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul al-Hadis, hal. 323. 
[23] Muhammad Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 87
[24] Ali Abd AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 379
[25] Abu ‘Isa at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi. ( Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), h. 171
[26] Studi Kitab Hadis, (Yoyakarta: Teras, 2003), hal. 114
[27] Abu ‘Isa al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih al-Tirmizi, Juz V (Beirut: Dar al-Fikr, 1963),  hal. 323
[28] Ibid
[29] Muhammad Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 88
[30] Ali Abd AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 380-381
[31] Ibid
[32] Qism al-Hadis wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 155
[33] Muhammad Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 89
[34] Ahmad Sutarmadi, Op. Cit, hal. 218-221
[35] Qism al-Hadis wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 159
[36] Ibid, h. 160
[37] Mahmud Thahan, Taisîr Musthalah al Hadîs. ( Dar al Fikr), h. 38
[38] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 77
[39]  Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hal. 83.
[40] Abbas, Op. Cit, hal. 76.
[41] Ibid
[42]  Dzulmani, Op. Cit, hal. 89.
[43]  Suryadi, Op. Cit, hal. 257.
[44]  Ibid
[45] Ibid., hal. 258
[46] Arifin, Op. Cit hal. 123.
[47] Dzulmani, Op. Cit hal. 90.
[48] Abbas, Op. Cit, hal. 76
[49]  Ibid., hal. 77.
[50] Qism al-Hadis wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 162

0 komentar: