*Desri Nengsih*
I.
Pendahuluan
Agama
Islam adalah agama rahmat, sebagaimana
al Qur’an menyatakan bahwa Nabi Saw diutus sebagai rahmatan lil ’alamȋn. Untuk mewujudkan cita-cita besar ini
yaitu rahmatan lil ’alamin diperlukan kerjasama antara umat manusia
tidak terbatas antar interen umat Islam saja, tetapi dengan non muslim
pun perlu dijalin demi cita-cita di atas. Untuk mewujudkan persaudaraan antar
sesama manusia ini, al Qur’an telah memperkenalkan sebuah konsep yaitu ta’ȃruf.
Seperti yang disebutkan Allah dalam al Qur’an.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
wanita, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling
mengenal. Sesungguhnya orang mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.
Pada ayat
di atas, jelas sekali bahwa keanekaragaman adalah suatu keniscayaan
atau kehendak Illahi. Allah menghendaki keanekaragaman
dan menolak ketunggalan (monolitik). Secara eksplisit, Allah mengatakan misi
dari keadaan ini (keragaman) adalah agar setiap orang, setiap umat, setiap
suku, dan setiap bangsa agar saling mengenal satu sama lain,
sehingga tali persaudaraan dan ikatan sosial lebih dapat terjalin dengan erat.
II. Pembahasan
A. Pengertian hubungan antar manusia
Hubungan
antar manusia adalah kemampuan mengenali sifat, tingkah laku, pribadi
seseorang. Ruang lingkup hubungan antar manusia dalam arti luas adalah
interaksi antar seseorang dengan orang lain dalam suatu kehidupan untuk
memperoleh kepuasan hati. Sedangkan menurut Hugo Cabot dan Joseph A Kahl
(1967), hubungan antar manusia adalah suatu sosiologi konkrit
karena meneliti situasi kehidupan, khususnya masalah “interaksi” dengan
pengaruh psikologisnya.
Adapun yang dimaksud dengan hubungan antar
manusia di dalam al Qur’an adalah adanya penciptaan Allah yang berbeda-beda dalam
kehidupan manusia seperti laki-laki dan perempuan, suku-suku yang banyak ,
berbangsa-bangsa, bahasa yang berbeda-beda, serta warna kulit yang tidak sama
dan berbagai keanekaragaman lainnya agar manusia tersebut saling mengenal satu
sama lainnya dan bukan untuk menjelekkan perbedaan tersebut. Namun, bagaimana
mereka bisa bersatu dengan segala perbedaan tersebut untuk menciptakan sebuah
kehidupan yang harmonis yang penuh dengan kedamaian, karena manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya dan mereka tidak akan
bisa hidup dengan individu mereka sendiri.. Sebagaimana Allah Swt berfirman
dalam surat al Hujurȃt ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa terjalinnya
hubungan satu sama lain di antara sesama manusia merupakan suatu ketetapan dari
Allah, dan hubungan ini berawal dari berbeda-bedanya ciptaan manusia[1].
Sengaja diciptakan Allah berbeda-beda, laki-laki, perempuan, bersuku suku, dan
berbangsa-bangsa supaya mereka saling mengenal. Hal ini untuk saling mengisi
sehingga terciptakan manusia terbaik. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
surat al Mȃ’idah ayat 48:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Jadi, keadaan manusia yang berbeda-beda
tersebut bukan untuk menjadikan permusuhan, tapi justru untuk saling mengenal (ta’aruf),
karena pada dasarnya derjat manusia dihadapan Allah adalah sama, yang
membedakan adalah kadar taqwa kepada Allah Swt. Sebab, agama Islam di samping
mengatur hubungan antar manusia dengan Allah (hablum min Allah), juga
menitik beratkan kepada hubungan antar manusia (Hablum min an Nȃs).
Sebagaimana Allah Swt berfirman surat ‘Ali ‘Imrȃn ayat 112:
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللّهِ
وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ
“ mereka diliputi
kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali
(agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.....”.
B. Keanekaragaman sebagai Sunnatullah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
Allah telah menciptkan berbagai keanekaragaman dalam kehidupan manusia. Seperti
firman Allah Swt dalam surat ar Rȗm ayat 22:
ô وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Maka, hal ini sudah merupakan ketentuan Allah
yang berlaku terhadap makhluk-Nya yang tidak bisa dirubah oleh siapapun.
Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat al Ahzȃb ayat 62:
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
“Sebagai
sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.
Kehendak Allah akan tetap berjalan pada
jalurnya dan tak akan dapat disimpangkan. Jadi, adanya berbagai keanekaragaman
dalam kehidupan manusia agar manusia tersebut dapat meneguhkan perhubungan
dengan sesama dibalik segala perbedaan yang ada[2].
Oleh karena itu, dalam pergaulan kita harus memperhatikan petunjuk agama, agar tidak
menimbulkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
C. Landasan hubungan antar manusia dalam al Qur’an
Adapun ayat yang melandasi hubungan antar
manusia di dalam al Qur’an adalah:
1. Interaksi sosial secara umum. Hal ini terdapat dalam surat al Hujurȃt
ayat 13 sebagaimana telah disebutkan di atas.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
M. Qurais Shihab menyatakan bahwa ayat ini
memberikan uraian tentang prinsip dasar hubungan manusia, karena pada ayat ini
seruan tidak lagi ditujukan secara khusus kepada orang-orang beriman, akan
tetapi kepada seluruh jenis manusia yaitu “ Wahai sekalian manusia”[3].
Penggalan pertama ayat di atas “sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan” adalah
pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derjat kemanusiannya sama disisi
Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain dan tidak ada pula
perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan, karena semua
diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan.
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam.
Nabi meminta kepada Bani Bayadhoh agar menikahkah salah seorang putri mereka
dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka
menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak
mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh al Qur’an dengan menegaskan bahwa
kemulian disisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi
karena ketaqwaan[4].
Di samping itu, juga disebutkan bahwa ayat ini diturunkan pada saat penaklukkan
Kota Mekkah ketika Bilal menaiki permukaan Ka’bah lalu ia mengumandangkan azan,
sebagian orang ketika itu berkata ”apakah orang hitam ini yang azan di
Ka’bah”?, sebagian lagi berkata “Alhamdulillah ayahku telah wafat
sebelum melihat kejadian ini”. Ada lagi yang berkomentar “Apakah Muhammad tidak
menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”[5].
Kata "شعوب"syu’ȗb pada ayat di atas adalah bentuk jama’ dari
kata "شعب"sya’b yang digunakan untuk menunjukkan kumpulan
dari sekian qabȋlah yang bisa diterjemahkan suku yang merujuk
kepada satu kakek[6]. Imam
ibnu Kasir mengatakan bahwa kata-kata syu’ȗb ini lebih umum dari kata qabȋlah,
dibawah qabȋlah ini ada tingkatan lain yang disebut dengan ‘imȃrah
"عمارة" atau kumpulan dari qabȋlah, dan kumpulan dari ‘imȃrah
ini disebut bathn "بطن", kemudian dibawah bathn
ini ada fakhz "فخذ"atau kumpulan dari bathn[7]
. Imam az Zamaksyari menyebutkan
bahwa kata syu’ȗb merupakan tingkatan yang paling tinggi, contoh: Kinanah
merupakan kabilah, Quraisy merupakan ‘imarah, Qushay merupakan bathn,
dan hasyim merupakan fakhz[8].
Sedangkan kata ta’ȃrafȗ terambil dari
kata ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan pada ayat
ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti ia saling
mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin
terbuka peluang saling memberi manfaat. Karena itu, ayat ini menekankan
perlunya saling mengenal, karena kita tidak dapat menarik pelajaran dan tidak
dapat saling melengkapi dan menarik manfaat bahkan tidak dapat bekerjasama tanpa
adanya hubungan atau interaksi sesama kita sebagai manusia[9].
Jadi, ayat diatas (surat al Hujurȃt ayat 13)
merupakan dasar atas eksistensi interaksi sosial antar sesama manusia. Karena, perbedaan adalah sunnah
kehidupan. Jadi, jika ada yang menyatukan selera, warna, jenis, maka itu tidak
akan bisa bahkan itu merupakan usaha yang sia-sia. Akan tetapi, jalan keluarnya
adalah bagaimana supaya bisa memahami
perbedaan tersebut. Dan jalan agar saling memahami perbedan itu ialah dengan
berkomunikasi antara sesama, karena komunikasi merupakan sebuah konsep yang
membantu saling memahami antara satu dengan yang lainnya.
2. Interaksi sosial atau hubungan antar manusia dalam aktifitas keagamaan.
a.
Berbuat baik dan santun kepada orang-orang (non muslim) yang tidak menunjukkan
sikap permusuhan kepada kaum muslimin. Sebagaimana hal ini dijelaskan Allah dalam
surat surat al Mumtahanah ayat 8-9
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Perintah untuk memusuhi kaum kafir (non
muslim) pada beberapa ayat bisa jadi menimbulkan kesan bahwa semua non muslim
harus dimusuhi yang menyebabkan timbulnya kekeliruan dalam kehidupan sesama.
Maka, untuk mencegah kekeliruan tersebut ayat di atas menggarisbawahi prinsip
dasar hubungan interaksi kaum muslimin dengan non muslim. Dalam ayat ini, Allah
tidak melarang berbuat baik dalam bentuk apapun terhadap mereka. Jika dalam
interaksi sosial mereka (non muslim) berada pada pihak yang benar, sedangkan
salah seorang dari golongan kita berada pada pihak yang salah, maka haruslah
membela dan memenangkan mereka, karena berbuat baik kepada mereka merupakan
salah satu bentuk akhlak mulia[10].
Hal ini mesti untuk dilakukan selama mereka tidak memerangi, memusuhi atau
mengusir kita dari negeri yang kita tempati dan membiarkan kita hidup dengan
rasa aman dan ketenangan. Dengan demikian, menjadi sebuah kewajiban bagi kita
untuk bersikap adil dan berbuat baik terhadap mereka, sekalipun kita berbeda
dalam segi keyakinan dengan mereka.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab juga
menyebutkan bahwa kata تبروهم pada ayat di atas terambil dari
kata بر (bir), yang berarti kebajikan yang luas.
Salah satu nama Allah adalah al Bar, ini karena demikian luasnya
kebajikan Allah, dataran yang terhampar dipersada bumi dinamai bar
karena luasnya. Dengan demikian, penggunaan kata bir pada ayat tersebut,
tercermin atas izin untuk melakukan aneka kebajikan bagi non muslim.
Imam al Maraghi mengatakan bahwa maksud ayat
ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik terhadap non muslim (kafir) yang
tidak menyerang atau memusuhi orang islam, dan tidak mengusir orang mukmin dari
negeri yang ia tempati, dan juga tidak menolong atau membantu untuk
mengeluarkan orang mukmin dari negeri tersebut. Akan tetapi, Allah melarang
untuk berbuat baik tersebut terhadap orang-orang yang menimbulkan permusuhan
serta membunuh atau mengeluarkan orang mukmin dari negerinya, sebagaimana
halnya yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Mekkah terhadap orang muslim
pada masa Nabi Saw[11].
Adapun sebab
turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan peristiwa Asma binti Abu Bakar yang
didatangi olegh ibunya yang masih musyrik. Maka, ia bertanya kepada Rasulullah :
يا رسول الله قدمت علي أمي وهي راغبة أفأصل أمي؟ قال نعم صلي
أمك"
Wahai
Rasulullah ibuku telah datang kepadaku dan ia mengharapkanku, apakah aku harus
mendoakannya ? Rasulullah menjawab : Ya, doakanlah ia[12].
Dalam riwayat lain juga dikatakan bahwa Ibu Asma’ yang bernama Quthailah
berkunjung membawa hadiah untuk putrinya, tetapi ia enggan menerimanya dan
enggan juga menerima ibunya, dan ia bertanya kepada saudaranya (Aisyah), dan
turunlah ayat ini, Nabi pun memerintahkan untuk menyambut ibunya dan menerima
hadiah tersebut[13].
Dengan demikian, Kebhinekaan
agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agama-agama selain agama kita.
Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama yang bukan Islam.
Mengakui keanekaragaman agama tersebut dan
keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti juga membenarkan
agama-agama lain itu. Namun, di sini dituntut untuk saling menghargai dan menonjolkan sikap
toleransi dengan sesama. Seperti firman Allah dalam surat al Kȃfirȗn
ayat 1 sampai 6:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku."
Sayyid Quthub mengatakan bahwa agama Islam
adalah agama yang damai, dan penuh cinta. Ia merupakan sistim yang bertujuan
menaungi seluruh alam dengan naungan yang berupa kedamaian dan cinta, bahwa
manusia dihimpun dibawah panji Allah dengan kedudukan sebagai saudara-saudara
yang saling kenal mengenal dan cinta mencintai. Tidak ada yang menghalangi arah
tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuhNya dan musuh tindakan agama ini.
Adapun jika mereka bersikap damai, Islam sama sekali tidak berminat untuk
melakukan permusuhan[14].
Jadi, adanya agama yang bebeda-beda dalam
kehidupan, dituntut untuk saling menghargai pemeluk agama lain tersebut,
sekalipun agama yang diridhoi Allah adalah agama Islam, namun meskipun demikian
Allah tetap mengajarkan kepada hambaNya untuk tetap memberikan penghormatan dan
penghargaan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Seperti firman Allah dalam
surat al An’ȃm ayat 108:
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan”.
Ayat ini memberikan petunjuk kepada orang muslim agar tidak melakukan
cacian atau mencela sembahan-sembahan
non muslim. Karena, hal ini bisa jadi dilakukan oleh orang muslim karena
terdorong oleh emosi menghadapi ganguan kaum musyrik atau ketidaktahuan mereka.
Karena, makian atau cercaan tidak akan menghasilkan
kemaslahatan dalam agama. Larangan memaki Tuhan-Tuhan dan kepercayaan pihak
lain merupakan tuntutan agama, guna memelihara kesucian agama, dan guna
menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat agama[15].
b. Menjaga dan menepati isi perjanjian,
meskipun orang yang terikat dalam perjanjian tersebut adalah orang-orang
musyrik. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat at Taubah ayat 4
إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ
يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُواْ عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّواْ
إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“kecuali
orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa”.
Ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin yaitu dilarang
untuk membatalkan komitmen dan janji-janjinya secara pihak, kecuali jika pihak
lain terlebih dahulu membatalkannya, baik secara tegas maupun melalui
bukti-bukti yang menyakinkan. Itupun dengan menyampaikan pembatalan tersebut
secara tegas dan jelas dan dalam waktu yang cukup untuk diketahui benar-benar
pembatalannya oleh pihak lain[16].
Sebagian ulama berpendapat yang dimaksud kaum musyrikin yang dikecualikan ini
adalah Banu Dhamroh salah satu cabang suku Kinanah yang batas waktu perjanjian
Nabi Saw dengan mereka sembilan bulan. Ada juga yang berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah Banu Mudlij dan Khuza’ah[17].
c. Memberikan perlindungan kepada orang non
muslim. Hal ini sebagaimana terdapat al Qur’an surat at Taubah ayat 6:
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى
يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ
لاَّ يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”.
Kata استجارك (istajȃraka) terambil dari kata جوار (jiwȃr) yang berarti
kedekatan, dari sini tetangga dinamai جار (jȃr) karena rumahnya dekat dengan tetangganya.
Ayat ini melahirkan kesan bahwa betapa tingginya kedudukan tetangga dan betapa
pentingnya mereka sehingga ia harus dilindungi walau agamanya berbeda dengan
kita[18].
Ayat ini seakan-akan berkata bahwa jika ada orang musyrik yang telah diizinkan
Allah untuk dibunuh, ditawan, atau tidak diperkenankan masuk kewilayah muslim,
tetapi ia secara tulus bermaksud menemui Nabi Saw, atau mendengar ayat-ayat al
Qur’an, maka berilah ia perlindungan, dengan demikian ia akan mengenal Islam
lebih dekat dan mengetahui betapa indahnya tuntunannya[19].
d. Memakan sembelihan ahli kitab dan menikahi
perempuan-perempuan mereka. Sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al
Mȃ’idah ayat 5:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang
baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa
dibolehkannya memakan makanan sembelihan ahli kitab, dan begitu juga dengan
sembelihan orang Islam dibolehkan bagi mereka untuk memakannya. Al Maraghi
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan طعام (tha’am) atau makanan pada ayat di atas
adalah sembelihan, adapan yang dimaksud
dengan الذين أوتوا الكتاب adalah Yahudi dan Nashrani, yakni sembelihan Ahlul
Kitab yang diberikan kitab suci Injil dan Taurat dan bukan sembelihan
orang-orang musyrik yang tidak mempunyai kitab suci yang menyembah berhala dan
patung-patung[20].
Sebagian lagi ada yang memahami bahwa yang dimaksud dengan makanan adalah
buah-buahan, biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat lemah[21]. Kendatipun
demikian, perlu untuk diingat bahwa tidak otomatis semua makanan Ahlul Kitab
selain sembelihannya menjadi halal, karena boleh jadi makanan yang mereka
hidangkan telah bercampur dengan bahan-bahan haram, atau boleh jadi adanya
bahan yang bernajis[22].
Adapun adanya penegasan kata طعامكم yang sebelumnya ditegaskan kata طعامهم adalah untuk menggarisbawahi bahwa
dalam soal makanan dibenarkan hukum timbal balik. Adapun dalam soal pernikahan
tidak ada hukum timbal balik, dalam arti pria muslim dapat menikahi wanita Ahlul
Kitab, tetapi pria Ahlul Kitab tidak dibenarkan menikahi wanita
muslimah. Bisa jadi hal ini disebabkan karena wanita tersebut harus patuh dan
tunduk kepada suaminya, sehingga bisa menjadikan mereka akan berpindah kepada
keyakinan yang dianut oleh suaminya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa
ditutupnya ayat di atas dengan ancaman “ barang siapa yang kafir setelah
beriman, maka putuslah amalannya dan seterusnya...”merupakan peringatan
kepada setiap orang yang makan, dan atau merencanakan pernikahan dengan mereka,
agar berhati-hati jangan sampai hal tersebut mengantarkan mereka kepada
kekufuran, karena akibatnya adalah siksa di akhirat kelak[23].
Maka, berdasarkan prinsip ta’ȃruf antara
pemeluk agama di atas, sudah seharusnya kaum muslimin bersikap terbuka kepada
pemeluk agama lain. Karena, dengan sikap keterbukaan tersebut, mereka akan
dapat mengambil manfaat dari berbagai kemajuan umat lain dan berbagai macam
bentuk peradaban mereka.
3.
Hubungan antar
manusia dalam wacana perubahan sosial.
Setelah terbentuknya hubungan antar manusia dengan saling
mengenal dan menghagai serta menolong antara pemeluk agama yang berbeda, maka
hal ini akan dapat mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis yang akan merubah aktivitas kesosialan dengan
persatuan diatas segala perbedaan. Dalam al Qur’an ada dua ayat yang sering
diungkapkan dalam konteks perubahan sosial.
a. Surat ar Ra’du ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ
يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ
يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ
اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.
b. Surat al Anfȃl ayat 53
ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ
مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا
بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak
akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Dalam dua ayat
di atas ada beberapa hal penting untuk digaris bawahi yang berkaitan dengan
kehidupan antar sesama manusia, yaitu[24]:
Pertama, ayat-ayat
tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Hal ini
dipahami dari penggunaan kata “qaum”pada ayat tersebut yang bermakna
masyarakat. Sehingga, dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan sosial
tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja.
Kedua, penggunaan
kata “qaum”, juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya
berlaku bagi kaum muslimin saja, atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi
ia berlaku umum kapan dan dimanapun mereka berada.
Ketiga, kedua ayat
tersebut berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku pertama adalah Allah
Swt yang mengubah nikmatnya yang diberikannya kepada suatu masyarakat atau apa
saja yang dialami oleh masyarakat. Sedang pelaku kedua adalah manusia, dalam
hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam
istilah kedua ayat ini ما بأنفسهم.
Perubahan yang terjadi karena campur tangan Allah atau yang diistilahkan pada ayat di atas ما بقوم menyangkut
banyak hal, seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan
dan kehinaan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan masyarkat secara umum.
Keempat, kedua ayat
ini menekankan bahwa perubahan yang dilakukan Allah haruslah didahului oleh
perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa
perubahan ini, mustahil akan terjadi perubahan sosial.
Berdasarkan penjelasan
dari ayat di atas, bahwa hubungan interaksi antara manusia akan mempengaruhi
kehidupan mereka. Karena manusia hidup dalam sebuah masyarakat yang dituntut
untuk mewujudkan sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Maka untuk
mewujudkan hal ini diperlukan adanya hubungan yang baik antar manusia agar bisa
hidup dalam suasana yang harmonis dengan segala latar belakang dan perbedaan
yang ada dalam diri mereka.
D.
Etika hubungan
antar manusia dalam al Qur’an
1.
Surat al
Hujurȃt ayat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ
وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا
أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok olok kaum
yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan
pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang
direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Kata “qaum” biasa digunakan untuk
sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki
saja, karena ayat tersebut menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita
dapat saja masuk dalam pengertian kaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak
kata yang menunjuk kepada laki-laki, misalnya kata al mu’minȗn dapat
saja tercakup di dalamnya al mu’minȃt. Namun, ayat di atas mempertegas
penyebutan kata النساء karena ejekan dan merumpi lebih banyak dari kalangan
perempuan dibanding kalangan laki-laki[25].
Dalam ayat ini ada tiga hal pokok yang harus
diperhatikan agar terwujudnya hubungan yang harmonis antar sesama manusia,
yaitu:
a. Larangan untuk mengolok-olokan
Adapun yang dimaksud dengan kata “يسخر”atau mengolok-olokkan pada ayat ini adalah
menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan,
baik dengan ucapan, perbuatan, maupun tingkah laku atau dengan melalui isyarat[26]. Pernyataan
dari Allah agar tidak saling mengejek ini sebenarnya mengandung suatu makna
yang sangat halus (tersirat), bahwa pada umumnya penilain seseorang manusia
pada dirinya sendiri pada umumnya tidak tepat. Orang yang mengolok-olok orang
lain biasanya menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, karena itu Allah
Swt mengingatkan barangkali orang yang diejek itu bisa jadi lebih baik dari
pada orang yang mengejek.
b. Larangan saling mencela
Kata تلمزو (talmizȗ) terambil dari kata اللمز (al lamz). Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini,
Ibnu Asyur misalnya memahaminya dalam arti ejekan yang langsung dihadapkan
kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang
dipahami sebagai ancaman atau ejekan[27].
Pada ayat di atas dilarang untuk melakukan al lamz terhadap diri sendiri,
sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk
mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya sesorang merasakan
bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain juga menimpa dirinya
sendiri.
c. Larangan untuk menggelar dengan gelar yang buruk
Kata تنابزو (tanȃbuz) terambil dari kata النبز (an Nabz) yakni gelar buruk.
At Tanȃbuz adalah saling memberi gelar yang buruk. Larangan ini
menggunakan kata makna timbal balik, berbeda denagan panggilan al lamz
pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja karena at tanȃbuz lebih banyak
terjadi dari pada al lamz, tetapi karena biasanya gelar buruk biasanya
disampaikan secara terang-terangan dengan yang memanggil dengan yang
bersangkutan. Hal ini mengundang siapa saja yang tersinggung dengan panggilan
buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk,
sehingga terjadilah tanȃbuz. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
an nabz khusus digandengkan dengan laqab atau gelar yang buruk, seperti
mengatakan ya Fasiq, ya Kafir, dan lain sebagainya[28].
Beberapa sifat di atas merupakan
perbuatan-perbuatan yang akan merusak huibungan antar manusia dengan sesamanya
dalam sebuah lingkungan. Oleh sebab itu, Allah Swt mewanti-wanti untuk menjauhi
beberapa perbuatan ini agar terciptanya sebuah hubungan yang harmonis dan penuh
dengan kedamaian dan kenyamanan dalam sebuah kehidupan dengan sesama.
2. Surat al Hujurȃt ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat
sebelumnya, namun di sini lebih menceritakan tentang beberapa hal buruk yang
sifatnya tersembunyi. Maka, pada ayat ini juga terdapat tiga hal yang mesti
diperhatikan dalam kehidupan sesama manusia, yaitu:
a. Menjauhi zhon atau prasangka
Zhon diartikan dengan pikiran, pendapat atau buruk sangka,
dugaan, perkiraan, dan tuduhan. Dan menurut istilah, zhon atau prasangka
adalah hal yang menunjukkan gejala kurang yakin untuk mendapatkan sesuatu yang
diharapkan dan berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny
atau dugaan, dan tentu apa saja apa yang berdasar dugaan hasilnya pun adalah dugaan.
Maka, dalam ayat ini ditegaskan bahwa sebagian dari prasangka tersebut adalah
dosa. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan
buruk terhadap pihak lain. Maka, dengan menghindari dugaan buruk tersebut,
masyarakat akan hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak
kan ragu terhadap pihak lain dan juga tidak akan tersalurkan energinya kepada
hal yang sia-sia. Ayat ini membentengi masyarakat dari tuntutan bterhadap
hal-hal baru yang bersifat prasangka.
b. Larangan bertajassus
Kata تجسسو termbil dari kata جسّ (jassa) yakni upaya mencari tahu tentang aib, dan ‘aurat serta
menyebarkan atau membukakan apa yang sengaja ditutup oleh orang tersebut[29].
Dari sini mata-mata dinamai جسوس (jasȗs). Imam al Ghazali
memahami larangan ini dalam arti setiap orang berhak menyembunyikan rahasianya
apa yang enggan diketahui oleh orang lain. Jika demikian, jangan berusaha
menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari cari kesalahan orang lain
biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya. Upaya melakukan tajassus ini
dapat menimbulkan kerenggangan hubungan antar sesama, karena itu pada
prinsipnya dilarang[30].
c. Larangan berghibah
kata يغتب (yaghtab) terambil dari kata غيبة (ghibah) yang berasal dri
kata غيب (ghaib) yakni tidak hadir. Ghibah
adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutannya dengan sesuatu yang tidak
disenangi oleh yang bersangkutan sekalipun itu adalah aib dirinya[31].
Dengan demikian, ghibah merupakan sebuah penyakit yang dapat merusak hubungan masyarakat,
sehingga wujud yang diharapkan dari sebuah masyarakat menjadi gagal dan
berantakan. Karena, yang diharapkan dari hubungan masyarakat adalah hubungan
harmonis antar angota-anggotanya, di mana setiap orang dapat bergaul dengan
penuh rasa aman dan damai, masing-masing saling mengenal anggota masyarakat
lainnya sebagai seorang manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari.
Itu beberapa
etika yang harus diperhatikan bagi setiap orang dalam pergaulan antar sesama
agar terwujudnya rasa perdamaian dan ketenangan dalam kehidupan bersama dan
terhindari dari permusuhan dan pertikain. Hal ini tidak hanya dikhususkan untuk
orang muslim saja, tetapi juga untuk manusia secara umum. Oleh sebab itu,
antara manusia harus saling mengenal satu sama lainnya agar terwujud sebuah
kehidupan yang penuh dengan kedamain yang menjadi impian hidup bagi seluruh
orang.
III. Penutup
Dalam kehidupan antar sesama manusia
diperlukan adanya sikap untuk saling mengenal satu sama lain, karena kehidupan
manusia terdiri dari berbagai macam keanekaragaman dan perbedaan, baik dari
segi keyakinan atau agama, suku, ras, bahasa yang beraneka ragam, bahkan jenis
kulit yang berbeda-beda, dan bangsa. Karena itu, diperlukannya unsur ta’ȃruf
agar perbedaan tersebut bukan dijadikan sebagai tempat permusuhan akan tetapi
untuk saling menghargai dan menghormati segala perbedaan yang telah Allah
tetapkan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan harmonis antara manusia. Karena,
seluruh manusia disisi Allah adalah sama, namun yang membedakan mereka adalah
tingkat ketaqwaan masing-masing individu kepada sang khaliq. Dengan
demikian, dalam al Qur’an telah dijelaskan prinsip-prinsip ta’ȃruf dan
etika-etika yang mesti diperhatikan, baik antar hubungan berbangsa maupun
antar kelompok manusia yang hidup dalam suatu masyarakat, agar dapat
bersama-sama menuju perbubahan yang baik dalam kehidupan bersama.Wallâhul musta’ân, wa huwa ‘A’lam bi as Shawâb.
Marapalam, 24 Juni 2014
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Al Qur’ȃn al Karȋm
Ad Dimasyqy, Abu al Fida’ Ismail bin Katsir. Tafsir al
Qur’ȃn al ‘Azhȋm. Cairo: Maktabah Qurthubah dan Maktabah Aulad as Syaik li
at Turast. 2000 M.
Al Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsȋr al Marȃghȋ.
Beirut: Dar al Fikr. TTh.
As Suyuti. Asbab an Nuzȗl. Cairo: Dar al Fajr at Turast. 2002 M.
Az Zamaksary, Abu al Qashim Mahmud bin Umar. Al
Kassyȃf ‘an Ghawȃmidh at Tanzȋl
wa ‘uyun al Aqawȋl fȋ Wujȗh at Ta’wȋl. Riyadh: Maktabah ‘Ibkan. 1998 M
Hamka. Lembaga Hidup.
Jakarta: Pustaka Panjimas. 2001 M.
Ibnu Asyur, Muhammad Thahir. Tafsȋr
at Tahrȋr wa at Tanwȋr. Tunis: Dar at Tauzȋ’ li an Nasyr.1984 M
Quthb, Sayyid. Tafsȋr fȋ Zhilȃl al Qur’an. Cairo: Dar as Syuruq.
1992 M.
Shihab, Quraish. Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian al Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2004 M.
Zuhaili, Wahbah. At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa
as Syarȋ’ah wa al Manhaj. Beirut: Dar al Fikr al Mu’ashir. 1998 M.
Zulheldi. Tafsir II
Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II. Padang: Hayfa Press. 2009 M.
[1]
Zulheldi, Tafsir II Buku Ajar Mata Kuliah Tafsir II, (Padang:
Hayfa Press, 2009), h. 85
[2]
Hamka, Lembaga Hidup.
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 137
[3]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati. 2004), juz.
13, h. 260
[5]
Ibid
[6]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, h. 261
[7]
Abu al Fida’ Ismail bin Katsir ad
Dimasyq, Tafsȋr al Qur’ȃn al ‘Azhȋm, (Cairo: Maktabah
Qurthubah dan Maktabah Aulad as Syaik li at Turast, 2000 M), juz. 13, h. 168
[8]
Abu al Qashim Mahmud bin Umar az
Zamakhsary, al Kassyȃf ‘an Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘uyȗn al Aqawȋl fȋ Wujȗh at Ta’wȋl, (Riyadh: Maktabah
“Ibkan, 1998 M), juz. 5, h. 585
[10]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.14 h. 168
[13]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, juz. 14, h. 169
[15]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an, juz. 14, h. 168
[16]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.5 h. 528-529
[17]
Ibid
[18]
Ibid
[19]
Abu al Fida’ Ismail bin Katsir ad
Dimasyq, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, juz. 7, h. 151
[21]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.3 h. 28
[22]
Ibid
[23]
Ibid
[24]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz.6 h. 572
[25]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz. 13, h. 251
[26]
Wahbah Zuhaili, At Tafsȋr al Munȋr fȋ al ‘Aqȋdah wa as Syarȋ’ah wa al Manhaj. (Beirut: Dar al Fikr al Mu’ashir, 1998 M), juz.
25-26, h. 246
[27]
Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsȋr at Tahrȋr wa at Tanwȋr. ( Tunis: Dar at Tauzȋ’ li an Nasyr, 1984 M), juz. 26, h. 248
[29]
Ibid
[30]
Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah
Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an,juz. 13, h. 254