Salah
satu ciri kemukjizatan Al-Qur’an adalah bagaimana Allah Swt. mengawali
surat-surat di dalamnya dengan huruf-huruf hijaiyah yang terpisah-pisah
atau terpotong-potong (al-ahruf
al-muqatha’ah). Huruf-huruf ini dalam studi ilmu-ilmu Al-Qur’an
biasa disebut dengan fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat). Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk menggali hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.
Mayoritas
ulama sepakat bahwa fawatih al-suwar termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih,
sebab yang dapat mengetahui makna huruf-huruf ini hanyalah Allah Swt. Namun di
lain pihak masih ada kelompok mufassir yang berpendirian di samping hanya
diketahui ta’wilnya oleh Allah Swt., juga dapat diketahui oleh manusia,
tentunya dengan pemahaman yang memadai untuk mengajukan solusi yang sangat variatif.
Hampir
menjadi kesepakatan umum bahwa Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an dengan aspek-aspek
kemukjizatannya yang antara lain adalah aspek kehalalan berbanding keharaman,
aspek keorisinalitasannya, aspek yang dapat dipahami bangsa Arab secara khusus,
dan aspek ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah Swt. semata. Adapun
pembahasan tentang fawatih al-suwar ini termasuk ke dalam aspek yang
disebutkan terakhir, yaitu bagian yang ta’wilnya hanya diketahui oleh Allah
Swt. semata, dan manusia tidak memiliki otoritas untuk menta’wilkannya.[1]
A. Pengertian Fawatih al-Suwar
Dari
segi bahasa, fawatih al-suwar terdiri dari dua kata, yaitu kata فـواتـح jamak dari فـاتـح yang berarti permulaan,
pembukaan, dan atau pendahuluan.[2] Dan kata السـوار jamak dari سـورةyang berarti المنـزلة
جمع سـور (surat atau
kumpulan surat),[3] maksudnya adalah kumpulan dari sejumlah ayat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan sudah ditentukan jumlahnya. Jadi yang
dimaksud dengan fawatih al-suwar adalah pembuka-pembuka
surat, dikarenakan posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat.
Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yang terputus, huruf tersebut
sering disebut dengan huruf muqaththa’ah (huruf yang terpisah-terpisah),
karena posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung ‘menyendiri’ dan tidak
bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun
tidaklah berbeda dari lafal yang diucapkan pada huruf hijaiyah.[4]
Menurut
Ibn Abi al-Isba’ dalam kitab Al-Khawathir al-Shawanih fi Asrar
al-Fawatih yang ditulisnya, dia menggunakan istilah ‘al-Fawatih’ dengan
arti jenis-jenis perkataan yang membuka surat-surat dalam Al-Qur’an. Jenis-jenis
perkataan itu dibagi menjadi sepuluh kelompok; salah satunya adalah huruf-huruf
tahajji (dibaca dengan cara dieja), atau yang biasa kita sebut
dengan al-fawatih. Sementara Sembilan jenis lainnya adalah pujian:
pujian kepada Allah, baik tahmid maupun tasbih; nida’
(seruan); jumlah khabariyah (kalimat berita); qasam
(sumpah); syarat, perintah, doa, dan ta’lil (alasan).[5]
Begitu pula dengan Ibn Akhdhar yang berpendapat bahwa fawatihu
al-suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan
teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah
dinamakan dengan al-ahruf al-muqaththa’ah (huruf-huruf terpisah), karena
posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat
secara kebahasaan.[6]
Mengenai
hal ini Al-Zarkasyi berpendapat :
“aspek
tersebut merupakan bagian dari sesuatu yang ghaib, seperti ayat-ayat yang
membicarakan tentang terjadinya hari kiamat, turunnya hujan, apa yang ada dalam
rahim, interpretasi tentang roh, dan huruf-huruf penggalan (al-huruf
al-muqaththa’ah). Semua ayat-ayat mutasyabih yang terdapat dalam
Al-Qur’an menurut ahlu al-haq tidak ada tempat bagi ijtihad untuk
menafsirkannya dan memang tidak ada jalan untuk menuju kesana kecuali dengan
cara mengikuti salah satu dari ketiga hal berikut, yaitu berdasarkan dari nash
Al-Qur’an, penjelasan dari Nabi Saw., atau berdasarkan kesepakatan (ijma’)
ummat atas ta’wilnya. Jika tidak terdapat penjelasan secara tauqifi
dari ketiganya, maka dapat kita ketahui bahwa yang mengetahui ta’wilnya hanyalah
Allah Swt. semata”.[7]
Sebagaimana
teks-teks mengenai hari kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim dan
tentang roh, kutipan di atas mengenai teks yang terkait dengan fawatih
al-suwar yang bebentuk huruf-huruf muqaththa’ah merupakan teks-teks yang
menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah Swt. sukar
dita’wilkan oleh manusia. Sehingga, atas dasar inilah kemudian para
sarjana Muslim awal menjadikan ayat-ayat yang semacam ini (fawatih al-suwar)
sebagai bagian dari ayat-ayat mutasyabihat, yang hanya dapat diketahui ta’wilnya
oleh Allah saja, sebagimana halnya pengetahuan tentang hari kiamat, turunnya
hujan, apa yang ada rahim, dan pengetahuan tentang roh.
B. Bentuk-bentuk Fawatih al-Suwar
1.
Pembukaan
surat dengan lafalالثنـــاء
atau pujian.
Ada empat belas surat yang dimulai dengan puji-pujian kepada Allah. Lima surat
di antaranya dengan tahmid ( الحمـــدلله ) yaitu pada surat al-Fatihah, al-An’am,
al-Kahfi, Saba’, dan Fathir. Tujuh dengan tasbih dalam bentuk masdar,
fi’il madhi, dan fi’il mudhari’ yakni al-Isra, al-Hadid,
al-Hasyr, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-Tagahabun, dan al-A’la. Dua surat, al-Furqan
dan al-Mulk dengan ungkapan تبـــرك .
2.
Pembukaan
surat dengan lafal النــداء atau seruan. Ada
sepuluh surat yang dimulai dengan seruan seperti Ya ayyuhal Mudatstsir
(al-Mudatstsir), Ya ayyuhal Muzammil (al-Muzammil), Ya ayyuhan Nabiyu
(al-Ahzab, al-Tahrim, dan al-Thariq), dan Ya ayyuhal Ladzina Amanu
(al-Nisa, al-Hajj, al-Ma’idah, al-Hujarat, dan al-Mumtahanah).
3.
Pembukaan
surat dengan kalimat الخبــري (khabar
atau berita). Dua puluh tiga surat dimulai dengan kalimat berita, yaitu surat
al-Anfal, al-Taubah, al-Nahl, al-Anbiya’, al-Mukminun, al-Nur, al-Zumar,
Muhammad, al-Fath, al-Qamar, al-Rahman, al-Mujadilah, al-Haqqah, al-Ma’arij,
Nuh, al-Qiyamah, ‘Abasa, al-Balad, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Qari’ah,
al-Takatsur, dan al-Kautsar.
4.
Pembukaan
surat dengan kalimat القســـم atau sumpah. Ada
lima belas di antaranya surat al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najmu,
al-Mursalat, al-Nazi’at, al-Buruj, al-Thariq, al-Fajr, al-Syams, al-Lail,
al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, dan al-Ashr.
5.
Pembukaan
surat dengan hurufالشــرط (syarat). Surat
al-Waqi’ah, al-Munafiqun, al-Takwir, al-Infithar, al-Insyiqaq, al-Zalzalah, dan
al-Nashr adalah tujuh surat yang dimulai dengan huruf syarat.
6.
Pembukaan
surat dengan kalimat الأمـــر atau
perintah. Enam surat yaitu al-Jin, al-‘Alaq, al-Kafirun, al-Ikhlash, al-Falaq,
dan al-Nas.
7.
Pembukaan
surat dengan kalimat الاسثفهـــامatau pertanyaan.
Juga enam surat yaitu al-Jatsiyah, al-Naba’, al-Ghasiyah, Alam Nasyrah, al-Fil,
serta al-Ma’un.
8.
Pembukaan
surat dengan lafal الدعــاء (doa atau kutukan.
Dengan lafal ini terdapat di tiga tempat yaitu al-Muthaffifin, al-Humazah, juga
surat al-Lahab.
9.
Pembukaan
surat dengan kata التعليــل yang berarti karena.
Kata ini hanya terdapat setempat yaitu surat al-Quraisy.
10. Pembukaan surat dengan huruf المقطعــة (terpotong) atau التهجـــي (hijaiyah). Secara redaksional,
bentuk-bentuk fawatih al-suwar yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, di antaranya:[9]
a.
Fawatih
al-suwar
yang terdiri dari satu huruf. Untuk jenis yang pertama ini dapat dijumpai di
tiga tempat, yaitu surat Shad yang diawali dengan huruf ص ; Qaf yang diawali
dengan huruf ق
;
dan al-Qalam yang diawali dengan huruf ن.
b.
Fawatih
al-suwar yang terdiri dari dua huruf. Jenis yang
kedua ini dapat dijumpai pada sepuluh tempat. Tujuh di antaranya diawali dengan
dua huruf حـــم
,
sehingga biasa disebut juga dengan nama حَـــوَمٍ yang merupakan bentuk jamak dari حـــم .
Ketujuh surat dimaksud adalah al-Mukmin, Fushshiiat, al-Syuara’,[10]
Al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, serta al-Ahqaf. Sementara
itu, tiga tempat lain adalah surat Thaha yang diawali dengan huruf طـــه ; al-Naml yang diawali dengan طـــس ; dan Yasin yang diawali dengan يـــس .
c.
Fawatih
al-suwar yang terdiri dari tiga huruf, hal ini
dapat ditemukan pada 13 tempat, enam di antaranya diawali dengan huruf الـــم ,
yaitu pada surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan
al-Sajadah. Lima surat lainnya diawali dengan huruf-huruf الـــر , yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr.
Sedangkan dua surat lainnya lagi diawali dengan huruf-huruf طـســم , seperti yang terdapat pada surat al-Syu'ara dan al-Qashash.
d.
Fawatih
al-suwar yang terdiri dari empat huruf, di
antaranya terdapat pada dua tempat, surat al-A’raf yang diawali dengan المـــص dan al-Ra’d yang diawali dengan المـــر .
e.
Fawatih
al-suwar yang terdiri dari lima huruf. Untuk
jenis yang terakhir ini dapat ditemui hanya pada satu tempat, yaitu surat Maryam
yang diawali dengan كــهــيــســص .
Dari kelima
kategori fawatih al-suwar yang berbentuk huruf-huruf muqaththa’ah
pada 29 tempat atau surat dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas, jika
dihitung secara tidak berulang, maka terdiri dari empat belas bentuk, yaitu:
الم = pada permulaan
surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum,
Luqman, dan al-Sajadah
الر = pada permulaan surat Yunus, Hud,
Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr
الص = pada permulaan surat al-A’raf
المر = pada permulaan surat al-Ra’d
كهيعص = pada permulaan surat Maryam
طه = pada permulaan surat Thaha
طسم = pada permulaan surat al-Syu’ara’
طس = pada permulaan surat al-Naml
يس = pada permulaan surat Yasin
ص = pada permulaan surat Shad
حم = pada permulaan surat al-Mu’min,
Fushilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-
Jatsiyah, dan al-Ahqaf
حمعسق = pada permulaan surat al-Syura
ق = pada permulaan surat Qaf
ن = pada permulaan surat al-Qalam
Adapun huruf-huruf hijaiyah yang
paling banyak digunakan secara berurutan adalah huruf ,ك ,ق ,ع ,ي ,ص ,ط ,س ,ر ,ه ,م ,ل ,ا dan ن .
Dari sini dapat diketahui bahwa Al-Qur’an menggunakan huruf-huruf itu, hampir
separoh dari jumlah keseluruhan huruf-huruf hijaiyyah yang dikenal. Jika
dilakukan penelitian lebih lanjut maka akan ditemukan bahwa ayat-ayat setelah
huruf-huruf muqaththa’ah berbicara tentang tema Al-Qur’an, misalnya :
كهيعص ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا
Artinya: Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad. (Yang
dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hambanya,
Zakaria.[11]
طسم تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ
يس وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ
Artinya: Yaa Siin. Demi Al-Qur’an
yang penuh hikmah.[13]
Perbedaan karaktristik lain adalah dari
segi penempatannya yang berulang-ulang pada surat yang berlainan, misalnya ,الر ,الم dan
حم.
Ada juga yang hanya ditempatkan dalam satu surat, semisal huruf ن . Juga akan ditemukan bahwa surat-surat yang dimulai dengan
huruf yang sama, isi dan ciri-cirinya juga hampir sama dan hal itu tidak
dijumpai pada surat-surat yang lain.
C. Sikap Para Ulama terhadap Fawatih
al-Suwar
Dari kesepuluh bentuk fawatih al-suwar,
yang sering menimbulkan kontroversi di antara para ulama adalah pembuka surat
yang berbentuk huruf-huruf muqaththa’ah, ini terbukti dari berbagai
pembahasan yang dilakukan oleh para ulama. Sepanjang sejarah, para ulama telah
berusaha untuk memahami dan menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam
huruf-huruf penggalan (huruf muqaththa’ah) tersebut. Dari usaha-usaha
yang telah dilakukan itu, setidaknya terdapat dua kubu ulama dengan sudut
pandang yang berbeda, yaitu:
1.
Penafsiran
yang memandang huruf-huruf tersebut termasuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat
yang maknanya hanya diketahui oleh Allah Swt. semata.
Kelompok
yang disebutkan pertama ini, lebih banyak dianut oleh ulama salafi,
menghadapi permasalahan demikian, mereka lebih bersikap hati-hati. Kelompok ini
dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki solusi yang jelas dan bahkan
tidak mengajukan solusi apapun mengenai makna fawatih al-suwar ini. Hal
ini disebabkan karena mereka berpendapat bahwa huruf-huruf yang mengawali surat
Al-Qur’an itu sudah dikehendaki Allah Swt. sejak zaman azaly, dan
berfungsi sebagai argumen untuk mematahkan kesanggupan manusia dalam membuat
yang semisal dengan Al-Qur’an.[14]
Menurut mereka bahwa fawatih al-suwar itu merupakan kelompok ayat-ayat mutasyabih
yang tidak dapat diketahui ta'wilnya kecuali hanya Allah Swt. semata.
Di
antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Ali bin Abi Thalib, yang
mengatakan: “Sesungguhnya setiap Kitab Suci mempunyai keistimewaan (shafwah),
dan keistimewaan Kitab Suci ini (Al-Qur’an) adalah huruf-huruf tahajji (hijaiyah)”.
Juga ucapan Abu Bakar al-Shiddiq: “Setiap Kitab Suci mempunyai rahasia, dan
rahasia Kitab Al-Qur’an adalah huruf-huruf yang mengawali surat-surat (awailu
al-suwar)”. Demikian juga para ahli hadis yang mengetengahkan sebuah
riwayat yang datangnya dari Ibn Mas’ud bahwa Khulafa al-Rasyidin berkata:
‘Sesungguhnya huruf-huruf ini (fawatih al-suwar) merupakan ilmu yang tertutup
dan mengandung rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Swt. semata”.[15]
Pendapat lain dikemukakan oleh Imam
Al-Syafi bahwa huruf-huruf awal surat merupakan rahasia Al-Qur’an. Sehingga
banyak para mufassir yang hanya memperkirakan maknanya. Hal ini disibabkan
keterbatasan pemahaman dan latar belakang pengetahuan mereka, untuk makna
hakiki ayat-ayat itu dikembalikan kepada Allah Swt. Menurut Al-Suyuthi,
pembukaan-pembukaan surat (awailu al-suwar) atau huruf-huruf potongan (al-huruf
al-muqatta’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai
ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami
dan menafsirkannya. Pendapat ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya
diketahui oleh Allah Swt., menurut Al-Suyuti, adalah pendapat yang mukhtar
(terpilih).[16]
2.
Penafsiran
yang memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan kata atau
kalimat tertentu yang mempunyai kemungkinan untuk dita’wilkan maknanya.
Kelompok
yang disebutkan terakhir ini berpendapat bahwa “huruf-huruf misterius” atau fawatih
al-suwar atau huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat dalam Al-Qur’an
disamping hanya diketahui ta’wilnya oleh Allah Swt., juga dapat
diketahui oleh manusia. Mereka memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai
singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Mereka mengajukan solusi
yang sangat bervariasi tentang pemaknaan huruf-huruf tersebut.
Penafsiran
yang berkembang mengenai huruf-huruf ini dapat dilihat pada kitab Al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Zarkasyi dan Al-Itqan fi ‘Ulum al- Qur’an
karya Al-Suyuthi. sebagai berikut:[17]
الم = al-rahman,
ana Allah a’lam, atau Allah lathif majid
الر = al-rahman, atau ana Allah
ara
الص = Allah al-rahman al-shamad, al-mushawwir,
ana Allah afdhal, ana Allah
al-shadiq, dan alam nashrah laka shadrak’
المر = ana Allah a’lam wa ara
كهيعص = kafin hadin amin aziz shadiq, karim
hadin hakim ‘alim shadiq, al-malik
Allah al-aziz al-mushawwir, al-kafi al-hadi al-alim al-shadiq, kafin ha-
din amin ‘alim
shadiq, atau ana al-kabir al-hadi aliyyun amin shadiq
طه = dzu al-thawl
طسم = dzu al-thawl al-quddus al-rahman
طس = dzu al-thawl al-quddus
يس = Ya sayyid al-mursalin
ص = shadaqallah, uqsimu bi
al-shamad al-shani’ al-shadiq, shadi ya Muham-
mad ‘amalaka bi al-qur'an, atau shadi muhammad qulub al-ibad
حم = al-rahman al-rahim
حمعسق = al-rahman al-‘alim al-quddus al-qahir
ق = qadir, qahir, qudli
al-amr, atau uqsimu bi quwatin qalb muhammad
ن = al-rahman, nur, nashir,
atau al-hut
Pandangan
tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan kata atau kalimat tertentu,
seperti terlihat di atas, sebagian besarnya bersumber dari Ibn Abbas, salah
seorang sepupu Nabi, yang dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar
dalam tafsir Al-Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius
tersebut telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak terbatas.
Seseorang bisa saja mengartikan huruf-huruf itu selaras dengan gagasan yang
dikehendakinya, baik dengan pijakan artifisial ataupun tanpa pijakan yang masuk
akal. Satu-satunya pemaknaan yang agak logik adalah pemaknaan huruf ن
di awal surat al-Qalam sebagai al-hut
(ikan). Huruf ن
yang dialihkan ke dalam bahasa Arab dari
bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan”, dan dalam ayat 48 surat yang sama,
Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shahib al-hut juga bernama dzu al-nun.[18]
Pendapat
kelompok kedua ini juga diperkuat dengan pendapat Imam Mujahid berkenaan dengan
firman Allah Swt.tentang ayat-ayat mutasyabihat:
... وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ
الألْبَابِ
Artinya:
... padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[19]
Seandainya
orang-orang yang mendalami ilmunya tidak dapat mengetahui ayat-ayat mutasyabihat,
dan hanya mengatakan “kami beriman kepadanya”, ini artinya bahwa mereka tidak
ada bedanya dengan orang-orang yang bodoh (al-jahil), sebab kesemuanya
-baik yang pandai maupun yang bodoh- akan mengatakan hal yang sama. Sampai saat
ini, kami belum melihat para mufassir yang berusaha menahan diri dalam
menghadapi Al-Qur’an. Mereka mengatakan: “Ini termasuk ayat-ayat mutasyabih
yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah semata”, tetapi mereka tetap
menafsirkannya, bahkan mereka menafsirkan huruf-huruf penggalan (muqaththa’ah)”.[20]
Sama halnya dengan pendapat Ibnu Qatadah, menurut beliau bahwa
tidak mungkin Allah Swt. menurunkan sesuatu yang ada di dalam Al-Qur’an kecuali
akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi hamba-Nya, dan tentu ada sesuatu
yang bisa menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki-Nya.[21]
Senada
dengan pendapat ulama-ulama di atas, untuk melegitimasi doktrin-doktrinnya kelompok
Theologi biasanya juga menafsirkan Al-Qur’an pada tema fawatih al-suwar,
kelompok golongan Syi’ah misalnya, yang mengatakan bahwa jika pengulangan
dalam kelompok huruf itu dibuang, akan terbentuklah sebuah
pernyataan صراط
علي علي حق (jalan
yang ditempuh Ali adalah kebenaran). Sebagaimana Syi’ah, ulama golongan Sunni
juga tidak ketinggalan membuat pernyataan sebagai bantahan terhadap Syi’ah
bahwa yang benar menurut mereka adalah مع السنة طريقك صح (telah
benar jalanmu dengan mengikuti sunnah).[22]
Tidak
hanya dari kalangan Islam, orang-orang Yahudi juga tertarik mencoba menta’wilkan
makna huruf-huruf tersebut. Bagi mereka bahwa huruf-huruf penggalan (huruf al-muqatha’ah)
tersebut penafsirannya berhubungan dengan angka-angka, sehingga dapat diketahui
berapa lama dominasi Islam secara politis. Hal ini bisa ditunjukkan oleh
riwayat Ibn Ishaq dari Ibn Abbas tentang seorang Yahudi Abu Yasar bin Akhthab dan
saudaranya Hayy bin Akhthab serta beberapa orang lainnya pernah menjumpai Rasulullah
Saw. kemudian berdialog tentang ramalan keberlangsungan agama yang dibawa oleh
nabi-nabi sebelumnya mengacu pada isi kitabnya masing-masing. Mereka meramalkan
lama waktu atau masa keberlangsungan agama Islam dengan berpedoman kepada
jumlah huruf-huruf muqaththa’ah, namun pada akhirnya mereka menemui
kesulitan.[23]
Model
penta’wilan seperti di atas, dijadikan landasan bagi kebanyakan
orang-orang salaf untuk menyingkap masa dan keberlangsungan dunia dan
alam semesta. Al-Suhailiy merupakan salah seorang yang berpendapat demikian.
Mengenai hal ini Ibn Khaldun mengatakan, bahwa Al-Suhailiy mengumpulkan
huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) pada awal surat setelah
membuang huruf-huruf yang diulang-ulang. Ia mengatakan jumlahnya ada 14 huruf
yang dikumpulkan dalam suatu perkataan Alam Yasti’ Nashshu Haqqi Karihin.
Kemudian ia menghitungnya dengan perhitungan jumal (bi hisab
al-jumali), sehingga jumlahnya ada 703 yang dihubungkan dengan jumlah tahun
sebelum diutusnya Nabi. Ini merupakan masa kelangsungan agama Islam. Lebih
lanjut ia mengatakan: Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa yang demikian
itulah yang dimaksudkan oleh huruf-huruf tersebut.[24]
Menurut
Ibn Khaldun bahwa penta’wilan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
Yahudi terhadap huruf-huruf yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai dalil
untuk memperkirakan usia suatu agama. Menurutnya, ada dua alasan kenapa penta’wilan
yang demikian harus ditolak, yaitu pertama, bahwa dalalah
(petunjuk) huruf-huruf tersebut pada angka (al-arqam) bukanlah makna
yang bersifat alamiyah (thabi’iyah) atau rasional (‘aqliyah),
tetapi merupakan dalalah urfiyah (makna konvensional); kedua,
bahwa orang-orang Yahudi menjadikan makna yang demikian lebih dekat kepada ke-baduwi-annya
dan ke-ummy-annya dalam pengertian kultural (al-tsaqafiy wa
al-hadhariy). Oleh karenanya pendapat dan ijtihad mereka tidak dapat
dijadikan kesimpulan dalam persoalan seperti ini.[25]
Kaum
Orientalis juga tidak ketinggalan berusaha memaknai lafal-lafal tersebut. W.
Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Quran memaparkan
bahwa Noldeke -orientalis asal Jerman- adalah orang yang pertama kali
mengemukkan dugaan bahwa huruf-huruf itu menunjukkan nama-nama para pengumpul
ayat pada surat tersebut. Seperti huruf س sebagai
kependekan nama dari Sa’id bin Waqash, م nama Mughirah, ن kependekan dari Utsman bin Affan, dan ه untuk Abu Hurairah. Cara ini diikuti
oleh Hircfeld dengan hasil pemikirannya yang sedikit berbeda. Beda halnya
dengan Alan Jones berdasarkan beberapa hadits, ia berpendapat bahwa pada
beberapa kesempatan, kaum muslimin meneriakkan semboyan perang Hamim
(artinya mereka akan dibantu). Selanjutnya Ia menekankan bahwa huruf-huruf itu
merupakan simbol mistik yang memberikan kesan bahwa kaum muslimin mendapat
bantuan dari Allah. Namun akhirnya Watt mengakui bahwa dalam kasus-kasus ini,
pemecahan masalah oleh Noldeke, Hircfeld dan Jones tidak masuk akal.[26]
Gagasan-gagasan tentang makna
huruf-huruf misterius yang diajukan kelompok terakhir ini juga telah terjerat ke
dalam wilayah spekulasi yang tidak terbatas. Sekalipun demikian, kedua
pandangan telah meletakkan preseden yang cukup solid untuk spekulasi tafsir
sarjana-sarjana Muslim belakangan tentang makna fawatih al-suwar. Meskipun
penafsiran-penafsiran yang muncul belakangan mengenai masalah ini dapat
dikatakan masih belum dapat keluar dari gagasan-gagasan klasik tersebut,
sekalipun beberapa di antaranya telah dilengkapi dengan improvisasi atau varian
lainnya.
D. Hikmah Fawatih al-Suwar
Al-Qur’an
yang diturunkan di tengah masyarakat Quraisy notabene ahli dalam
kebahasaan, tentunya mempunyai keistimewaan dalam aspek kebahasaan
mengingat eksistensinya sebagai mukjizat. Dengan pembahasan fawatih al-suwar ini
akan terungkaplah mukjizat yang terkandung di dalamnya serta menyadari keterbatasan
akal manusia dalam memahami sesuatu yang sifatnya ghaib. Selanjutnya niscaya
akan memberikan pemahaman ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi
yang biasa digunakan.[27]
Berkaitan
dengan hal di atas, Al-Sya’by pernah berkata:
إن لكل كتاب سر او سر هذا القرأن فواتح السور
Artinya:
Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab memilki rahasia, dan sesungguhnya rahasia
Al-Qur’an ini adalah pembukaan-pembukaan surat.[28]
Menurut
sebagian mufassir, bentuk fawatih al-suwar ini berfungsi untuk menunjukkan
kepada bangsa Arab akan kelemahan akal mereka. Meskipun Al-Qur’an tersusun dari
huruf-huruf ejaan yang mereka kenal, datang dalam bentuk tersusun dari beberapa
huruf, bahkan ada yang hanya satu huruf tunggal, namun mereka tidak mampu
membuat kitab yang setanding dengan Al-Qur’an. Pendapat lain, mengenai fawatih
al-suwar dapat digunakan sebagai tanbih (peringatan) sebelum melontarkan
uraian Al-Qur’an, dalam arti menyadarkan perhatian pendengar, dikarenakan
setelah adanya huruf-huruf tersebut pada umumnya Allah Swt. menerankan perihal al-Kitab
dan kenabian. Ini berbanding terbalik dengan kata-kata peringatan yang biasa
digunakan dalam bahasa Arab.[29]
Tentang
siapa yang diperingatkan oleh Allah Swt. sebagian ulama sepert Al-Khuwaibi,
berpendapat bahwa Nabi Muhammad-lah yang diperingatkan agar di tengah-tengah
kesibukan dunianya, beliau berpaling kepada Jibril untuk mendengarkan ayat-ayat
yang disampaikan kepadanya. Klarifikasi dilakukan oleh Rasyid Ridha, menurutnya
tanbih tersebut ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekah, di saat
mereka mengajurkan untuk tidak mendengarkan Al-Qur’an di waktu Nabi membacanya,
ketika mendengar huruf-huruf muqaththa’ah ini mereka heran dan merasa
penasaran untuk mendengarkan bacaan Nabi, hal ini juga dapat ditujukan pada Ahli
Kitab Madinah.[30]
Fungsi
lain fawatih al-suwar adalah untuk menyempurnakan dan memperindah
bentuk-bentuk penyampaiannya, dengan sarana pujian melalui huruf-huruf. Selain
itu, ia dipandang merangkum segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata
awal. Dalam hal ini, surat al-Fatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari
suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di
dalam Al-Qur’an.[31]
Pernyataan
bahwa Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum bagi umat Islam memiliki keistimewaan
baik dari segi makna maupun dari bahasa tidaklah merupakan sebuah pernyataan
yang tidak berdalil. Allah Swt. telah beberapa kali menyampaikan perihal keistimewaan
Al-Qur’an. Satu lagi keistimewaan Al-Qur’an yang terungkap dengan adanya
pembahasan fawatih al-suwar yang dalam Al-Qur’an biasa disebut juga dengan awa’ilu
al-suwar, al-ahruf al-muqaththa’ah atau yang dalam terminologi
sarjana Barat dijustifikasi sebagai huruf-huruf misterius (the mystical
letters of the Qur’an).
Tanpa
menafikan bentuk yang lainnya, pembahasan yang dilakukan para ulama terhadap bentuk
huruf muqatta’ah sebagai pembuka surat-surat Al-Qur’an mendapatkan
perhatian lebih dan tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sehingga tidak mengherankan
jika huruf-huruf tersebut sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat,
hanya Allah Swt. yang dapat mengetahui maknanya, meskipun masih ada pihak yang
berpendapat boleh mencoba menta’wilkannya dengan kedalaman ilmu.[32]
Penting
untuk diketahui bahwa dengan membahas fawatih al-suwar yang berbentuk huruf-huruf
mistis dalam Al-Qur’an, setiap orang akan selalu berusaha untuk menafsirkan makna
apa yang terkandung di dalamnya. Hal yang demikian memberikan udara pemikiran
yang berbeda dan bersifat kontinuitas karena penggalian makna yang tidak
bersifat dogmatis, pemahaman yang berbeda ini disebabkan perbedaan
setiap orang dalam menanggapi sebuah gambaran inderawi.
Inilah
kemungkinan salah satu rahasia mengenai kebenaran hakiki yang terdapat dalam
Al-Qur’an serta hanya berada pada sisi Allah Swt. secara mutlak. Allah A’lam
bi al-Shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Shalih, Subhi, Mabahits fi
‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.)
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)
Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr,
1972)
Amal,
Taufiq Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta; FkBA, 2001)
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
Boullata, Issa J., Al-Qur’an yang Menakjubkan,
(Tangerang: Lentera Hati, 2008)
Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999)
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Hidayat,
Rahmad Taufiq, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989)
Ichwan, Mohammad Nor, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008)
Mandzur,
Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-haya’at Turas al-Arabi, 1992), juz
VI
Ridha,
Rasyid, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1978)
Wahid,
H. Ramli Abdul, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Watt,
W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburg University
Cress)
Yunus,
Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), cet.
VIII
Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum
al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy
al-Arabi, 1998)
Zaini, Hasan & Hasnah, Radhiatul
‘Ulum Al-Qur’an, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2010)
[1]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail Media
Group, 2008), h. 167
[2] Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), cet.
VIII, h. 307
[3] Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-haya’at Turas al-Arabi, 1992),
juz VI, h. 427
[4] Muhammad
Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1999) h. 62. Lihat juga Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum
Al-Qur’an, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2010), h. 165
[7] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur'an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972), h. 166
[8] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 206-207. Lihat juga Rahmad
Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), h.
176-178. Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum..., h. 166
[9] Subhi
al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama,
t.th.), h. 234-235. Lihat juga Rosihon
Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 135-136.
Mohammad Nor Ichwan, Studi..., h. 171-173. Hasan Zaini & Radhiatul
Hasnah, ‘Ulum..., h. 169-169.
[10] Surat
al-Syuara’ ini secara khusus termasuk dalam kategori surat-surat yang diawali
dengan dua huruf, sekalipun setelah huruf حــم dilanjutkan dengan tiga huruf عســق
[17] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan..., h. 166.
Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h. 206-207. Subhi
al-Shalih, Mabahits..., h. 174
[18] Surat
al-Qalam ayat 1 dengan arti “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Salah satu tafsiran terhadap huruf ن, -dikalangan
ulama yang memaksakan untuk mencari ta’wil fawatih al-suwar- adalah al-Hut
atau ikan. Hal ini dapat dimunasabahkan pada ayat 48 “Maka
Bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu
seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam
keadaan marah (kepada kaumnya)”. Lihat Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta; FkBA, 2001), h. 218
[22] Term sunnah
yang terdapat pada pernyataan tersebut merujuk kepada aliran theologi Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Lihat Subhi al-Shalih, Mabahits..., h.237
[23] Nashr
Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut:
Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabi, 1998), h. 189-190
[30] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h.207.
lihat juga Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1978), h. 330
0 komentar:
Posting Komentar