*Desri Nengsih*
1. Pemahaman Hadis secara Tekstual
a. Kata-kata asli dari pengarang
b. Kutipan dari kitab suci untuk pangkal
ajaran atau alasan
c. Bahan tertulis untuk dasar memberikan
pelajaran, berpidato, dan lain lain.
Berdasarkan asal kata tekstual di atas, dapat dirumuskan
bahwa yang dimaksud dengan pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami
hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada
redaksi (matan) hadis dipahami sesuai dengan makna lughawi-nya,
sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca. Cakupan makna dan kandungan
pesan yang ingin disampaikan oleh hadis dapat ditangkap oleh pembaca hanya
dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di dalamnya. Karena makna-makna
tersebut telah dikenal dan dipahami secara umum dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan cara seperti ini dapat dikategorikan
sebagai salah satu pendekatan pemahaman hadis yang paling sederhana dan
mendasar. Karena hanya dengan membaca lafaz hadis dan memahami makna lughawi-nya
pembaca dapat menarik pemahaman dan gagasan ide yang dimiliki hadis.
Bila diklasifikasikan menurut bentuk matan-nya,
maka hadis-hadis yang dapat dipahami dengan pendekatan ini adalah hadis-hadis
yang bersifat jawȃmi' al-kalȃm yaitu ungkapan yang singkat namun
mengandung makna yang padat. Di antara contoh hadis tersebut ialah hadis yang
menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”, seperti berikut:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَصْرَمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ
هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ سَمَّى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْحَرْبَ خُدْعَةً[2]
Artinya:"Abu Bakar bin Ashram telah
menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah mengkabarkan kepada kami, Ma’mar telah
mengkabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah
Saw. berkata:”Perang itu adalah siasat".
Pemahaman terhadap
petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang
pastilah memakai siasat. Ketentuan yang
demikian itu berlaku secara universal serta tidak terikat
oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa
saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan
menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat. [3]
2. Pemahaman Hadis secara Kontekstual
Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi
oleh suatu peristiwa (baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi
tertentu yang lazim disebut dengan asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya
dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Di antaranya ada yang muncul dengan dilatar-
belakangi oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut asbab
wurȗd al-hadȋs, yang dalam tulisan ini disebut dengan konteks.[4]
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual ternyata tak
selamanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di tengah
masyarakat, sehingga memunculkan kesan bahwa sebagian hadis Rasulullah Saw. terkesan
tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan dan tak mampu mewakili pesan
yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. [5]
Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual
yang dimaksud di sini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain,
dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.[6]
Dari
pengertian di atas, ada dua cara yang dapat digunakan dalam memahami hadis
dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
a.
Analisis
terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks
Dalam
kaitannya dengan hadis, maka konteks di sini berarti bagian kalimat hadis yang dapat
menambah dan mendukung kejelasan makna. Dengan
menganalisa dan memahami lebih dalam kata demi kata dalam matan hadis
tersebut akan membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
jelas.
b.
Situasi
yang ada hubungannya dengan kejadian
Dalam
istilah hadis, situasi yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis disebut
dengan asbab wurȗd al-hadȋs yang disebut juga dengan konteks. Dengan demikian, memahami hadis
Rasul yang muncul lebih kurang 14 abad yang silam tidak bisa dicukupkan hanya
dengan memahami teks atau redaksi hadis dari sudut gramatika bahasa saja. Akan
tetapi lebih jauh harus disertai dengan kajian tentang keterkaitannya dengan
situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut (asbab al-wurȗd) secara
khusus atau dengan memperhatikan konteksnya secara umum.
Mengkaji asbȃb al-wurȗd dalam memahami hadis
sangat membantu untuk memperoleh makna yang lebih representative, sehingga
kesalahpahaman terhadap hadis Nabi Saw. dapat dihindarkan. Sekaligus dapat
dijadikan pisau analisis untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat umum
atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansȗkh dan
lain sebagainya.[7]
Dengan demikian, jelaslah bahwa menggunakan asbȃb
al-wurȗd sebagai pisau analisis dalam memahami hadis Rasulullah Saw. mampu
menyibak tabir rahasia dari makna sebuah hadis, sehingga kekhawatiran terhadap
penilaian bahwa adanya hadis Nabi Saw. yang tidak up to date dapat
dihindari. Inilah di antara pentingnya fungsi asbȃb al-wurȗd dalam
kajian hadis ini.
Akan tetapi fakta yang tak dapat dipungkiri adalah di
samping banyaknya hadis yang memiliki asbȃb al-wurȗd yang jelas, juga
terdapat hadis yang tidak memiliki latar historis yang khusus. Oleh karena itu,
untuk memahami hadis kategori kedua ini Said Agil Husin al-Munawar menawarkan
untuk menganalisis pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan historis,
sosiologis, antropologis bahkan pendekatan psikologis.[8]
Pendekatan
historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan
antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan
determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang
mengitarinya. Adapun pendekatan sosiologis adalah memahami hadis
Rasulullah Saw. dengan mengkaji kondisi dan situasi masyarakat saat munculnya
hadis tersebut.[9] Sedangkan
pendekatan antropologis yaitu dengan
memperhatikan terbentuknya hadis pada tataran nilai yang dianut dalam kehidupan
masyarakat manusia. Pedekatan selanjutnya adalah pendekatan psikologis, dimana
dengan pendekatan ini memahami hadis Rasulullah Saw.
dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan psikis Nabi Saw. dan
masyarakat, khususnya sahabat yang dihadapi Nabi Saw. yang
turut melatarbelakangi munculnya hadis. [10]
Aplikasi
pemahaman hadis dengan pendekatan historis-sosiologis-antropologis adalah
seperti hadis berikut:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ
سَهْلِ أَبِي الْأَسَدِ عَنْ بُكَيْرٍ الْجَزَرِيِّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا فِي
بَيْتِ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ بِعِضَادَةِ الْبَابِ فَقَالَ الْأَئِمَّةُ مِنْ
قُرَيْشٍ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ مَا إِذَا
اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا
فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ .[11]
Artinya:" Waki’ telah menceritakan
kepada kami, A'masy telah menceritakan kepada kami dari Sahl Abi al-Asad dari
Bukair al-Jazariy dari Anas berkata:”kami berada di rumah salah seorang Anshar,
lalu Nabi Saw. datang, kemudian berdiri membelakangi pintu lalu bersabda:"Pemimpin
itu dari suku Quraisy, dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu
juga mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk
berlaku santun, maka mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka
tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang
itu akan memperoleh laknat dari Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya".
Ibnu Hajar al-'Asqalaniy telah membahas hadis tersebut
secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali dari
kalangan Mu'tazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara
diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dalam sejarah memang
telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal
mereka bukanlah dari suku Quraisy. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah
tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imȃmah al-'uzhma). [12]
Menurut al-Qurthubiy, kepala negara disyaratkan harus
dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal
satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[13]
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan
semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan
karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama
berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi
Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan berlaku secara universal.
Apabila kandungan di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi
Saw., maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu dinyatakan, Nabi Saw.
berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang
menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial.
Yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal ini tidak sejalan dengan
petunjuk al-Qur'an misalnya yang menyatakan bahwa orang yang paling utama
dihadapan Allah Swt. adalah orang yang paling bertaqwa[14].
Jadi, hadis ini dikemukakan Nabi Saw. sebagai ajaran yang bersifat temporal.
Pemahaman hadis seperti ini lebih kontekstual,
akomodatif dan dinilai lebih komunikatif dengan perkembangan zaman. Karena
memahami hadis Rasulullah Saw. dengan pendekatan sosiologis, antropologis dan
psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan tetapi, tentu dengan
tujuan tetap mempertahankan ruh, semangat, dan nilai yang terkandung di dalam
hadis tersebut. Seluruh ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan
yaitu untuk menjaga keorisinilan hadis Nabi Saw. terutama dari sudut
pemahamannya dan agar tujuan syari'at (maqȃshid al-syarȋ'ah) sebagai rahmatan
lil 'ȃlamȋn dapat dicapai.
Pendekatan pemahaman hadis secara kontekstual seperti ini
sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Imam al-Syafi'iy dalam menjelaskan
hadis-hadis mukhtalif. Menurutnya faktor penyebab timbulnya penilaian
suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak mengetahui asbȃb
al-wurȗd suatu hadis, atau dengan kata lain karena tidak memperhatikan
konteksnya.[15]
Dengan demikian, jelaslah bahwa memahami hadis dengan memperhatikan konteksnya
tidak saja dapat mengantarkan penemuan maksud hadis yang lebih representatif
melainkan juga menemukan pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai
kontradiksi, sehingga hadis dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagai seorang pemerhati dan juga termasuk salah seorang
ahli hadis, Yusuf al-Qaradhawiy turut menawarkan cara untuk memahami hadis
selain yang telah dipaparkan di atas. Menurutnya, untuk memahami hadis dengan
baik adalah dengan cara:[16]
a. Memahami sunnah dengan isyarat atau petunjuk al-Quran
b. Mengimpun hadis-hadis setema
c. Kompromi atau tarjih terhadap hadis-hadis kontradiktif
d. Memahami hadis dengan situasi dan kondisi serta tujuannya
e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f. Membedakan hakikat dan majazi
g.
Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib
h. Memastikan makna kata-kata dalam hadis
Langkah-langkah dalam memahami hadis yang diterapkan oleh
Yusuf al-Qaradhawiy ini juga dipakai oleh ulama lain seperti Muhammad
al-Gazaliy yang beliau tuangkan dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi
Saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Judul asli: al-Sunnah
al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadȋs, penerjemah: Muhammad
al-Baqir).
Adapun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya dalam
memahami hadis, terutama hadis-hadis ahkam (hadis-hadis yang berkaitan
dengan hukum syari'at) adalah pendekatan kaidah ushul, yaitu memahami
hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau
kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama. Hal
ini perlu mendapat perhatian, karena untuk memahami maksud suatu hadis atau
untuk dapat meng-istinbath-kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan
baik, erat kaitannya dengan kajian ilmu ushul.[17]
Pendekatan dengan memperhatikan kaidah ushul ini telah dipraktekkan oleh
Imam al-Syafi'iy dalam menyelesaikan permasalahan pemahaman hadis-hadis mukhtalif.
Usaha memahami hadis Nabi Saw. ternyata menghembuskan
angin segar di kalangan ulama, karena mereka laksana mendapatkan ilham dan
sekaligus telah membuka wacana pemikiran bagi intelektual muslim hingga abad
ini. Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk memahami hadis dengan
baik dan menghasilkan pemahaman yang benar. Semua usaha tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk menjaga keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran
Islam dan panduan dalam kehidupan.
[1]Tim Penyusun
kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2001M), h.916
[2] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579.
Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-Harb Khad’ah, Hadis no. 3029
[4]Istilah konteks
mengandung arti: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna, 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu
kejadian. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Besar, Op.Cit., h. 458
[5]Maizudin, Kajian
Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang,
2001), h. 115
[7]Said Agil
Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001M),
h.9
[11]Ahmad bin Hanbal, Op. Cit., juz. 20, h. 249. Hadis no. 12900
[12]Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalȃniy, Op. Cit., h. 526-536
[14]Lihat al-Qur'an surat al-Hujarat ayat 13
[15]Edi Safri, Op. Cit., h. 104
[16]Yȗsuf al-Qaradhȃwiy, Op. Cit.,
[17]Edi Safri, Op Cit., h. 98
0 komentar:
Posting Komentar