Hadis
adalah sumber tasyri’ yang
kedua setelah Al-Qur’an, maka untuk sampai dalam bentuk yang
sempurna terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi
otentisitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit dalam setiap fase
perkembangannya. Para generasi periwayatan (tabaqat)
memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa
suatu hadis benar-benar otentik berasal dari Nabi dan dapat dijadikan dasar dan
rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara' dan metode istimbath
hukum, maka wajib mengetahui ilmu dan hukum yang
berkaitan dengan objek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya,
memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta'arud
(semisal satu dalil menetapkan adanya
hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan
ilmu atau metode untuk mengetahui cara-cara mengkompromikan pertentangan yang
tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara
dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Sebab pada hakikatnya, dalil-dalil syara' (Al-Qur’an dan
hadis) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan, karena dalil-dalil tersebut datangnya
dari Allah Swt. Sebagaimana
firman Allah Swt. yang berbunyi:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى[1]
Dilatarbelakangi hal yang
demikian, maka penulis mencoba mengetengahkan permasalahan tentang ilmu
Kontradiksi Hadis ini.
I. Pengertian Kontradiksi
Hadis
a. Menurut Bahasa
Kontradiksi Hadis adalah istilah dalam ilmu hadis atau musthalahul hadis yang dikenal dengan dua nama:
1.
Mukhtalif al-hadis, yang merupakan isim fā’il dari ikhtalafa dengan makna mukhtalif min al-hadis[3]. Ikhtalafa merupakan
lawan dari kata ittafaq yang berarti adanya ketidaksesuaian[4],sebagaimana
firman Allah Swt.
Maka lafaz mukhtalif berarti ghairu
muttafiq atau mutanaqid, seperti firman Allah Swt:
إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُّخْتَلِفٍ[6]
2. Mukhtalaful hadis merupakan masdar mimi dengan makna
al-ikhtilāf, maka disini maknanya adalah al-ikhtilāf fi al-hadis.
Namun kebanyakan ulama memakai mukhtalif[7],
walaupun demikian tidak menghalangi keduanya boleh digunakan.
- Secara Istilah
Kontradiksi
Hadis menurut beberapa ahli hadis sebagai berikut:
1.
Menurut Dr. M.‘Ajjaj al-Khatib: “sebuah
ilmu yang membahas tentang hadis-hadis Nabi yang secara zahirnya ta’arudh (bertentangan), lalu menghilangkan ta’arudh tersebut atau
menggabungkannya, sebagaimana juga membahas tentang hadis-hadis yang musykil (hadis-hadis yang bermasalah) lalu menjelaskan hakikat yang
sebenarnya”.[8]
2. Menurut Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy: “hadis yang maqbul (diterima periwayatannya) jika bertentangan dengan yang semisalnya dan
mungkin untuk digabungkan keduanya”.[9]
3.
Menurut Imam As-Suyūti: “adanya dua buah hadis
yang bertentangan maknanya secara zahir, lalu digabungkankan keduanya atau di-tarjih salah satu dari
keduanya.[10]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu hadis tidak
dikatakan kontradiktif jika tidak memenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Kedua hadis yang kontradiktif tersebut
merupakan hadis yang maqbul, jika salah satunya mardud maka tidak
dianggap sebagai kontradiktif.
2.
Terdapat hadis lain yang bertentangan maknanya
secara zahir. Maka tidaklah dianggap kontradiktif jika sebuah hadis bertentangan
maknanya dengan Alqur’an, atau dengan hukum alam, namun ini dikenal dengan nama
musykil hadis. Yang pasti pertentangan tersebut hanya secara zahir
sebagaimana ungakapan beberapa tokoh hadis diatas, mereka tidak lupa
menyebutkan “secara zahir” karena sangat mustahil sekali jika hadis Nabi
bertentangan secara hakiki, semetara hadis merupakan penjelas atau penguat
terhadap hukum-hukum yang ada di dalam
Al-Qur’an.
3.
Beberapa hadis yang kontradiktif tersebut
mempunyai kedudukan yang sama, apakah sama-sama shahih atau sama-sama hasan
yang pantas untuk dijadikan sebagai hujjah. Jika yang kontradiktif
adalah hadis yang dho’if maka tidak akan berpengaruh kepada hadis yang
shahih kecuali jika ada syahid[12]
dan mutabi’[13]dari
hadis dho’if tersebut .
4.
Kedua hadis atau beberapa hadis yang ta’arudh
tersebut mungkin untuk di -jam’u,
di-tarjih, atau di-nasakh.
- Nama-nama lain yang digunakan dalam istilah Kontradiksi Hadis
Sebagian ulama menggunakan beberapa istilah dalam
penggunaan Kontradiksi Hadis, diantaranya: Ikhtilāf
al-Hadīts,
Ta’wil al-Hadīts, Talfīq al-Hadīts, dan ada juga Musykil al-Hadīts.
Akan tetapi musykil al-hadits penggunaannya lebih umum
dari pada yang lain. Sebuah hadis dikatakan musykil apabila makna hadis
tersebut bertentangan dengan maksud Al-Qur’an secara zahir atau adanya ketidaksesuain
maknanya dengan hukum-hukum alam seperti ilmu kedokteran, ilmu falak dan
lain-lain. Misalnya hadis żubāb (hadis tentang lalat) yang salah satu
sayapnya mengandung unsur obat dan yang satunya lagi mengandung penyakit, atau
hadis ‘ajwah (korma Madinah) yang apabila memakannya akan terhindar dari
sihir, dan hadis tentang berobat dengan buang air kecil unta dan susunya dan
beberapa hadis lainnya. Jadi jelaslah bahwa musykil hadis lebih umum,
tidak hanya pertentangan hadis dengan hadis tapi juga dengan Al-Qur’an dan
hukum alam. Sehingga, seluruh hadis yang mukhtalif adalah musykil
dan seluruh musykil yang belum tentu mukhtalif, keduanya
merupakan umum dan khusus secara mutlak. Namun ada juga beberapa dari ulama
yang mengatakannya sama, hal ini karena dalam buku-buku musthalah al-hadis tidak dipisahkan
pembahasan tentang keduanya dan meletakannya dalam bab yang sama.[14]
- Urgensi Ilmu Kontradiksi Hadis
Ilmu Mukhtalaf Hadis atau Kontradiksi Hadis
merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang terpenting. Hal ini
didasarkan kepada tingginya kebutuhan para muhaddis, mufassir, fuqaha’
dan beberapa ulama lainnya terhadap ilmu ini. Sebagaimana Imam An-Nawawi
mengatakan ” ilmu ini (mukhtalaf hadis)” merupakan ilmu yang paling penting
sekali, yang harus diketahui
oleh seluruh ulama dari segala penjuru”[15].
Mengetahui ilmu ini merupakan salah satu langkah untuk menjaga kesahihan sunnah
Rasul dengan membantah syubhat-syubhat yang dilemparkan oleh para
orientalis, karena begitu banyak celaan yang diungkapkan orientalis terhadap
agama yang hanif ini melalui sunnah Rasul. Disamping itu, seseorang ahli hadis tidak
hanya cukup menghafal hadis saja dan mengumpulkan thuruq hadis saja
tanpa memahaminya dengan benar dan tidak mengetahui hukumnya. Maka menjadi
kewajiban bagi seorang muhaddis untuk mengetahui yang umum dan yang
khusus dari sebuah hadis, yang muthlaq dan muqayyad-nya.
- Sejarah Perkembangan Kontradiksi Hadis
A. Pada Masa Rasul[16]
Penggunaan ilmu Kontradiksi Hadis ini sudah ada semenjak masa Rasulullah Saw. namun pemakaiannya pada masa itu hanya secara praktek saja, belum
adanya penggunaan istilah tertentu tentang ilmu ini. Seperti beberapa sabda Nabi
kepada sahabat yang menimbulkan adanya kontradiktif dalam pendengaran sahabat.
Misal:
Hadis yang pertama:
قوله صلى الله عليه
وسلم : لا يصلين أحدكم العصر الا في بني قريظة ...[17]
Hadis yang
kedua:
أبا عمر الشيباني
يقول حدثنا صاحب هذه الدار- و أشار الى دار عبد الله –: سألت النبى صلى الله عليه
وسلم: أى العمل أحب الى الله؟ قال : الصلاة لوقتها[18] ...
Bentuk ta’arudh: Pada kedua hadis
ini jelas terdapat perbedaan. Pada hadis pertama Rasul melarang sahabat
melakukan shalat Asar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah, kemudian pada
hadis yang kedua Rasul mengatakan bahwa amalan yang paling utama adalah shalat
pada waktunya.
Bentuk penyelesaian: Maka pada saat itu, diantara sahabat
ada yang me-rajih-kan hadis yang pertama dengan
menunda shalat Asar hingga mereka sampai di Bani Quraizhah. Dan ada juga sahabat
yang me-rajih-kan hadis yang kedua dengan
melaksanakan shalat Asar diperjalanan. Ketika ditanyakan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau tidak
menyalahkan pihak mana pun.
B. Pada Masa Sahabat[19]
Pada masa sahabat juga sama dengan masa Rasulullah, belum adanya
penggunaan istilah baru dalam ilmu ini, contoh:
Hadis pertama:
رويت
عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذا جلس بين شعبها
الأربع و مس الختان الختان , فقد وجب لغسل[20]
Hadis yang
kedua:
عن أبي سعيد الخدري
عن النبي الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: انما المأ من المأ[21]
Bentuk ta’arudh: Pada hadis Aisyah Ra. terdapat perintah wajibnya mandi apabila bertemunya dua khitan, sedangkan pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri dinyatakan tidak wajib mandi jika tidak keluar mani.
Bentuk penyelesaian: para sahabat men-tarjih hadis yang pertama karena
Aisyah lebih tahu mengingat kebersamaannya dengan Rasulullah.
C. Pada masa Tabi’in[22]
Pada masa tabi’in, juga
belum ada nama yang jelas tentang ilmu
ini.
Contoh: Imam Au zā’i ketika
berada di Mekah dia bertemu dengan Abu Hanifah, lalu Imam Auzā’i berkata kepada
Abu Hanifah ”ya Aba hanifah kenapa engkau tidak mengangkat kedua tanganmu
ketika hendak ruku’dan bangkit darinya? Abu Hanifah berkata: ”perbuatan itu tidak sah dari Rasulullah saw”, lalu Auzā’i berkata: ”kenapa tidak sah?” lalu dia membacakan hadis Nabi:
عن الزهري أخبرني سالم بن عبد الله عن عبدالله بن عمر رضي
الله عنهما قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه
وسل اذا قام فى الصلاة
رفع يديه حتى يكونا حذومنكبيه و كان يفعل ذلك حين يكبر للركوع و يفعل ذلك اذا رفع
رأسه من الركوع[23]
...
Abu Hanifah
berkata:
حدثنا
حماد عن ابرهيم عن علقمة والأسواد عن بن مسعود كان لا يرفع يديه الا عند افتتاح
الصلاة ثم لا يعود لشئ من ذالك[24]
Lalu Auzā’i berkata:”aku
menceritakan kepadamu dari Zuhri dari Salim dari bapaknya dan engkau mencerikan
kepadaku dari Hamad dari Ibrahim? lalu Abu Hanifah berkata” Hamad lebih faqih
dari Zuhri,dan Ibrahim lebih faqih dari Salim, maka Abu Hanifah lebih me-rajih-kan
fiqh ar-rawi sedangkan Au’zā’i me-rajih-kan ketinggian sanad.
Dari beberapa contoh diatas jelaslah bahwa manhaj taufiq
atau tarjih diantara hadis yang kontradiktif sudah ada semenjak
Rasulullah, kemudian berlanjut sampai masa sahabat dan tabi’in. Namun pada masa
itu ilmu ini belum dibukukan dan ditulis sampai datangnya masa Imam Syaf’i dan
berlanjut sampai saat sekarang ini. Imam Syafi’i adalah ulama yang pertama kali
menuliskan tentang ilmu ini, karena pada masa itu banyak terjadi kesalahpahaman
ulama terhadap hadis-hadis yang kontradiktif, apabila datang terhadap mereka
sebuah hadis yang berbeda dari yang lainnya baik itu dari segi umum dan
khususnya, atau muthlak
dan muqayyad-nya,
mereka langsung menasakh-nya
tanpa membahasnya terlebih dahulu.
Diantara
buku-buku tentang ilmu ini adalah:
- اختلاف الحديثoleh Imam Syafi’i, merupakan buku yang pertama kali tentang ilmu Kontradiksi Hadis yang mencakup penjelasan serta bentuk penggabungan diantara beberapa hadis yang kontradiktif secara zahir. Namun buku ini tidak mencakup seluruh hadis yang kontradiktif tapi hanya beberapa hadis saja yang terletak dalam kitabnya “al-Um” dan tidak mengkhususkannya dalam satu buku. Dia memulai bukunya ini dengan mukaddimah yang panjang serta penjelasan ke-hujjah-an sunnah dan kedudukannya dari Al-Qur’an, dan dia juga menyebutkan tentang ke-hujjah-an Khabar Ahad serta wajibnya beramal dengan Khabar Ahad jika tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, serta pemaparan tentang pembagian sunnah kepada “am dan khas, mutawatir dan ahad, dan juga tentang nasakh dan mansukh didalam Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian dia menutup mukaddimahnya ini dengan penjelasan yang singkat tentang metode beliau dalam penggabungan hadis yang kontradiktif. Setelah itu Imam Syafi’i mulai menjelaskan tentang hadis-hadis yang ta’arudh dalam masalah fiqh serta penggabungannya, namun Imam Syafi’i tidak menyusun letak bab-bab fiqh ini secara berurutan berdasarkan tartib fiqhiyyah. Dan buku ini mempunyai keistimewaan karena dia hanya mencakup tentang ilmu mukhtalaf al-hadis saja tanpa adanya ilmu musykil hadis.
- تأويل مختلف الحديث oleh Imam Ibnu Qutaibah Ad Dainūri. Buku ini merupakan buku kedua tentang ilmu Kontradiksi Hadis setelah Imam Syafi’i yang berisi tentang bantahan orang-orang yang mengada-adakan tentang hadis tanaqudh sebagaimana dijelaskannya tujuan penulisannya: “dan kami tidaklah menjelaskan dalam buku ini bantahan terhadap orang-orang zindik atau orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, akan tetapi tujuan kami adalah membantah orang-orang yang mengada-adakan tentang adanya tanaqudh dan ikhtilaf antara hadis-hadis Nabi yang disandarkan kepada orang Islam[25]”. Akan tetapi buku ini mempunyai sisi positif dan negatif sebagaimana dikatakan oleh Abu Syahbah. Dan sisi positif dari buku ini karena dia merupakan yang pertama kali membantah terhadap orang-orang yang mengada-adakan tanaqudh dalam hadis Nabi, dan sisi negatifnya karena dia tidak khusus tentang mukhtalif hadis saja tetapi juga tentang musykil hadis serta penjelasannya juga tidak begitu mendalam[26].
- مشكل الأثار[27]oleh Abu Ja’far Ahmad Bin Muhammad At-Thahawi yang merupakan buku yang paling bagus dan bermanfaat karena buku ini tidak hanya berisi tentang mukhtalaf hadis saja tetapi juga tentang musykil hadis. Hadis-hadis yang terdapat didalam ini tidak hanya berkaitan dengan masalah fiqh saja sebagaimana halnya Imam Syafi’i tetapi juga tentang akidah, adab, mu’amalat, farāidh, jinayah, tafsir, asbab an-nuzul dan lain-lain.
- مشكل الحديث و بيانه oleh Abu Bakar Muhammad Bin Hasan (Ibnu Fauraq), dan setelah mereka telah banyak dari para muhaddisin yang menyusun buku-buku tentang ilmu mukhtalaf hadis sebagaimana banyak didapati pada syarah-syarah buku hadis seperi syarah Shahih Bukhari yang dikenal dengan “Fath al-Bari”oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, syarah Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi dan beberapa kitab lainnya yang telah berkembang.
Munculnya Kontradiksi Hadis ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
a.
Sudut pandang yang berbeda dalam nasikh dan
mansukh hadis.
Contohnya: hadis pertama:
روت
عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذا جلس بين شعبها
الأربع و مس الختان الختان , فقد وجب لغسل[29]
Hadis kedua:
عن
أبي سعيد الخدري عن النبي الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: انما المأ من المأ[30]
Penjelasan: pada hadis Aisyah adanya perintah tentang wajib
mandi apabila telah bertemu dua khitan walaupun tidak keluar mani, lalu pada
hadis Abu Sa’id Al-Khudry tidak mestinya mandi jika tidak keluarnya mani. Yang
pada hakikatnya hadis Aisyah merupakan nasakh terhadap hadis Abu Sa’id
Al-Khudri, namun diantara para sahabat pada waktu itu ada yang tidak
mengetahuinya dan tetap beramal dengan hadis yang mansukh, dan sebagian
mereka ada juga yang mengetahuinya lalu beramal dengan hadis yang nasakh
dan meninggalkan yang mansukh. Maka dari sini timbullah kontradiktif
dalam hadis dan ini berlanjut sampai pada masa Imam Syafi’i.
b.
Sudut pandang yang berbeda pada dua hadis
yang shahih yang disebabkan terlupa dan tersalahnya shahabat.
Semua sahabat adalah ‘adil,
ke-tsiqqah-an serta ke-dhabitan-nya tidak diragukan
lagi, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari sunah bahkan ijma’ ulama
banyak menceritakan tentang keutamaan dan keistimewaan para sahabat, namun
bukan berarti mereka itu ma’shum yang terbebas dari kesalahan dan
kekhilafan serta pemahaman. Ke-tafaqquh-an dan pengetahuan mereka
terhadap sunah tidaklah sama, diantara mereka ada yang lebih faqih dan yang
lebih mengetahui, bahkan lebih hafal dari pada yang lain. Maka karena itu ada
diantara hadis-hadis yang mereka riwayatkan terjadinya kesalahan dan keraguan,
lalu terciptalah hadis-hadis yang kontradiktif yang sanad-nya shahih
dalam suatu permasalahan.
Contoh: hadis tentang ”seorang mayat akan
di azab karna tangisan keluaganya
terhadapnya”
عن عبد الله
بن عمر قال :سمعت رسول الله يقول :ان الميت يعذب ببكاء اهله عليه[31]
و
في رواية أخرى عن عبدالله بن عمرعن عمر عن
النبي صل الله عليه وسلم قال :الميت يعذب في قبره بما نيح عليه[32]
Lalu Aisyah
mengingkari hadis tersebut dan menganggapnya sebagai keraguan atau ke-wahm-an Abdullah
Bin Umar dan Umar. Aisyah ber-hujjah dengan firman Allah Swt:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى[33]
Lalu dia
juga mengatakan “semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman yang mendengar
sesuatu tetapi tidak menghafalnya, sesungguhnya Nabi mengatakan hal ini kepada
orang Yahudi”.
Maka diantara ulama juga
berbeda pendapat dalam men-ta’wil-kan hadis ini sebagaimana jumhur ment-a’wil-kannya jika orang tersebut berwasiat kepada keluarganya
untuk meratapi dan menangisinya, lalu mereka melaksanakan wasiat tersebut,
adapun orang yang meratapinya bukan karna wasiat maka itu tidak akan di azab
berdasarkan firman Allah surat Al-An’am ayat 164 diatas.
c. Sudut pandang
yang berbeda terhadap susunan bahasa
dan kondisi hadis
Bahasa arab merupakan bahasa
yang syamil dan kamil yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
sekaligus sebagai bahasa Al-Qur’an.
Susunan redaksi dan tata bahasa serta kaedah majaznya yang begitu tinggi dan
indah membuat orang-orang
kafir tidak mampu menandingi dan menentangnya. Keterbatasan pemahaman dalam
mendalaminya merupakan latar belakang sebab timbulnya kontradiksi dalam sebuah
hadis nabawi, karna hadis nabawi disampaikan dengan bahasa arab. Begitu juga
kondisi sebuah hadis. Rasulullah Saw. yang merupakan khoirul basyar fi al-‘ālam yang dalam kesehariannya berbicara dan melakukan
sesuatu berdasarkan situasi dan kondisi
keadan, maka bisa jadi Nabi
mengatakan melarang sesuatu pada satu waktu dan membolehkannya pada lain waktu
atau lain tempat, hal ini dikarenakan situasi dan kondisi keadaan pada waktu
itu. Maka dengan demikian akan timbullah
hadis-hadis yang seolah-olah bertentangan, padahal pada kenyataannya bukanlah
demikian. Orang-orang yang tidak mengetahui keadaan dan sebab
hadis tersebut disabdakan akan
menganggapnya saling bertentantangan.
Seperti yang terjadi pada Abu Ayyub
Al Anshari dan Abdullah bin
Umar tentang ”menghadap kiblat ketika buang hajat dan pipis”.
Hadis
pertama:
عن ابي ايوب الأنصارى قال :قال رسول اللله صلى الله عليه و
سلم اذا اتى احدكم الغائط فلا يستقبل
القبلة ولا يبولها ظهره , شرقو أو غربوا [34].
Hadis
kedua:
أنه كان يقول
:أنه اذا قعدت على حاجتك فلا تستقبل القبلة و لا بيت المقد س ,فقال عبد الله بن
عمر لقد ارتقيت يوما على ظهر بيت لنا , فرايت رسول الله على لبنتين مستقبلا بيت
المقدس لحاجته[35]
Dari hadis
diatas dapat diketahui adanya ikhtilaf antara hadis Abu Ayyub dengan
Ibnu Umar. Imam Syafi’i menjelaskan perbedaan ini bahwa
larangan yang terdapat pada hadis Abu Ayyub itu ketika berada di zahra’(tanah
lapang atau gurun pasir) dan pada hadis
Ibnu Umar dia melihat Nabi buang hajat menghadap Baitul Maqdis itu ketika
berada dalam bagunan, adapun kalau di zahro’ itu tidak dibolehkan. Maka
Abu Ayyub mendengar ini dari Rasulullah dan tidak mengetahui apa yang dilihat
Ibnu Umar terhadap Rasul. Maka dari sini timbullah ikhtilaf dalam hadis dikalangan
sahabat.
d.
Perbedaan dua hadis yang
bersatu maknanya dalam hal mubah
Rasulullah saw dalam menjelaskan sesuatu
berdasarkan kemampuan para pendengar untuk mengetahui dan memahaminya, maka
bisa jadi beliau menjelaskan sesuatu dalam bentuk yang panjang dan sempurna,
dan pada lain waktu dan tempat bisa jadi juga dia menjelaskannya secara singkat
saja. Setiap hari para
sahabat selalu bertanya kepada Nabi tentang masalah urusan agama dan dunia,
lalu Rasul menjawab sesuai dengan kemampuan penanya untuk memahaminya. Maka diantara mereka ada
yang menyampaikan kembali pada orang lain dengan sempurna dan ada juga yang hanya
sebagian saja. Kedua cara tersebut maknanya sama dan
hukumnya juga sama, maka dari sini timbullah adanya ikhtilaf didalam
hadis. Contohnya hadis Umar Bin Khatab, Ibnu Abbas dan Abu Musa Al-As’ary
tentang lafaz tasyahud di dalam shalat[36].
Dalam beberapa riwayat tersebut ada yang lafaz
tasyhudnya panjang dan ada juga yang pendek,
maka di sana timbullah adnya
perbedaan didalam hadis yang di alami para sahabat, yang pada
hakikatnya bukanlah ikhtilaf tetapi di sana adanya takhyir dalam memakai lafaz tersebut, karna
semua maknanya adalah sama
dan hukumnya juga sama.
e. Tidak mengetahui adanya dua hadis dalam satu permasalahan
Ini juga merupakan salah satu faktor munculnya ikhtilaf di dalam
hadis. Dimana pada hakikat sebenarnya terdapat dua hadis atau lebih tentang
satu permasalahan. Tetapi seorang ulama hanya berpedoman pada satu hadis saja,
sedangkan riwayat lain belum sampai ke dia, tetapi dia tidak mengetahuinya, dan
tidak berusaha untuk lebih menelitinya lagi. Inilah kebanyakan terjadi pada
ulama salaf.
f. Perbedaan dua hadis dari segi umum dan khusus
Rasulullah Saw. dalam mensabdakan sesuatu ada
yang secara umum sedangkan di lain waktu beliau mensabdakan hal yang lebih
khusus dan lebih terperinci dalam masalah yang sama, maka pada saat itu para
pendengar akan mengira kalau hadis tersebuut ikhtilaf. Sebagaimana Imam
Syafi’i mengatakan dalam bukunya Arrisalah Assyafi’i” Rasulullah Saw. lisannya Arab dan berasal dari Arab, maka
jika dia mengatakan perkataan yang umum maka yang dia inginkan juga umum, dan
juga mengatakan yang umum tetapi yang di inginkan adalah khusus… dan
jika dia mengatakan sesuatu secara umum tentang masalah halal atau haram, di lain
waktu dia juga mengatakannya secara khusus, maka apa yang dia katakan
itu tidaklah menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal”[37]
Contohnya:
عن ابى هريرة قال نهى رسول الله عن صلاتين :بعد القجر حتى
تطلع الشمس و بعد العصر حتى تغرب الشمس[38]
عن انس بن مالك رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها لا كفارة لها الا ذلك[39]
Pada hadis diatas jelas adanya ikhtilaf, dimana riwayat Abu Hurairah menyatakan tidak boleh shalat setelah fajar sampai terbitnya matahari dan setelah asar sampai terbenamnya matahari, lalu riwayat Anas bin Malik mengatakan bahwa boleh mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang karahah (yang disebutkan pada hadis Abu Hurairah). Maka Imam Syafi’i menjelaskan bahwa larangan yang terdapat pada hadis Abu Hurairah yaitu seluruh shalat yang tidak mempunyai sebab. Adapun pembolehan yang dikatakan Nabi pada hadis Anas yang membolehkan shalat pada setiap waktu itu mencakup seluruh shalat yang ada sebabnya, misalnya shalat tahiyat masjid, shalat kusuf, shalat jenazah, atau shalat wajib yang terlupa dan lain-lain.
g. Perbedaan dilalah amr pada hadis dari segi wajib
dan mubah
Jumhur ulama mengatakan bahwa “al-Aslu fi al-Amri Lilwujub” selama tidak adanya
dalil yang menunjukkannya terhadap yang mubah. Terkadang dalil penunjuk
tersebut, didapati dari hadis lain yang terpisah dari hadis pertama. Sehingga
ketika seseorang mendengar kedua hadis tersebut akan merasa terdapat kontradiktif
dalam permasalahan ini.
Misalnya:
hadis pertama:
أن ألنبي صلى الله
عليه وسلم قال : من جاء منكم الجمعة فليغتسل[40]
Pada hadis di atas adanya
perintah untuk mandi pada hari Jum’at, lalu diantara sahabat ada yang berbeda
dalam memahaminya, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan mubah.
Sedangkan
pada hadis kedua:
أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال : من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت, ومن اغتسل فالغسل أفضل.[41]
Maka dari
sini jelaslah bahwasannya mandi pada hari jum’at hanya sekedar mandub, bukan
wajib, sehingga meninggalkannya tidaklah berdosa dan mengerjakannya akan
berpahala.
h. Berbedanya hadis dengan perkataan shahabat
Allah Swt. sangat memuliakan sahabat, dan
begitu juga Rasulullah Saw.
juga menjelaskan tentang manzilah dan keutamaan mereka yang begitu
tinggi dan mulia. Walaupun demikian bukanlah seluruh perkataan mereka bisa
dijadikan hujjah. Itulah yang
terjadi pada sebagian fuqaha’ mengangap bahwa perkataan sahabat adalah hujjah lāzimah, dan sebagian
mereka juga meyakini bahwa seluruh perkataan mereka adalah hadis mauquf,
lalu mereka berpegang pada sebagian masalah fiqhiyah dengan menyandarkannya
hanya kepada perkataan sahabat saja yang pada hakikat sebenarnya ada hadis shahih
yang bertentangan dengan masalah ini, maka ini juga merupakan salah satu faktor
munculnya kontradiktif dalam hadis
Nabawi.
i.
Berbedanya hadis dengan perbuatan
ahli Madinah
Imam Malik mengangap bahwa ijma’-nya ahli madinah dan amalnya ahli Madinah yang diwariskannya dari
sahabat adalah hujjah dan wajib menolak hadis Ahad yang
menyalahinnya, maka para pengikut Imam Malik lebih mendahulukan dan
mengutamakan perbuatan ahli madinah baik itu hanya penukilan saja maupun ijtihad
mereka dari pada hadis ahad.
j.
Adanya faqih yang mengambil hadis
dhaif dan menyalahi hadis yang shahih
Hadis dha’if merupakan hadis yang mardud, dan tidak dibenarkan
untuk beramal dengan hadis dha’if dalam masalah hukum dan akidah, adapun pada masalah targhib
wat tarhib itu dibolehkan dengan adanya beberapa syarat pada hadis dha’if. Namun kadang-kadang ada
hadis yang sampai kepada fuqaha’ hadis yang dha’if, lalu dia mengeluarkan fatwa dengan
hadis dha’if
tersebut, dan dia tidak mengetahui ke-dha’ifan-nya dan tidak mengetahui hadis
yang shahihnya, seperti hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat yang
mana hadis dalam permasalahan ini sebenarnya ada hadis yang shahihnya.
k. Adanya faqih yang melemahkan hadis shahih jika
bertentangan satu sama lain
Ada diantara fuqaha’ yang mendapatkan dua buah atau lebih hadis shahih
yang mungkin untuk di jam’u tetapi dia melemahkan salah satu dari
hadis tersebut dengan alasan karena hadis tersebut bertentangan satu sama lain.
Ini juga menyebabkan timbulnya kontradiktif dalam sebuah hadis.
Semua faktor-faktor diatas adalah sebab munculnya kontradiksi hadis
secara umum.
III. Manhaj ulama
dalam menyelesaikan kontradiksi hadis
Dalam menyelesaikan Kontradiksi
Hadis ini, para ulama berbeda
pendapat dalam mendahulukan nasikh-mansukh atau men-tarjih antara dua hadis atau
mengumpulkan dan menggabungkan dua hadis yang berbeda[42]
a. Menurut jumhur
fuqaha’ (Malikiah,
Syafi’iah, Hanbaliah, dan Zhahiriah) apabila terjadinya kontradiktif dalam dua
hadis maka cara penyelesaian melalui tahap-tahap berikut ini:
1.menggabungkan dua makna hadis yang
berbeda (jam’u),
2.
jika tidak bisa digabungkan maka
dua hadis tersebut dipilih (tarjih) mana yang lebih kuat,
3.
apabila tidak bisa juga digabung
dan dipilih maka dilihat sejarah hadis tersebut dengan kemungkinan terjadinya nasikh,
4.
jika tidak bisa juga semuanya maka
dua hadis yang kontradiktif tersebut di-tawaquf-kan.
b. Menurut Hanafiah, bila
terjadi kontradiktif dalam dua hadis maka cara yang ditempuh adalah:
i.
dilihat terlebih dahulu sejarah
hadis dengan kemungkinan adanya nasikh,
ii.
apabila tidak diketehui sejarah
hadisnya maka memilih yang lebih kuat (tarjih),
iii.
jika tidak bisa di-tarjih maka digabungkan dua hadis
yang berbeda tersebut,
iv.
apabila tahap-tahap sebelumnya
tidak bisa maka hadis tersebut diberhentikan dulu (tawaquf) dan istidlal
dengan hadis yang lain.
c.
Menurut ulama hadis[43]
i.
Menggabungkan dua hadis yang
kontradiktif (jam’u).
1.
Defenisi Jam’u
Bahasa:
b.
Menyusun sesuatu yang berbeda-beda[45]
Istilah:
penyelesaian Kontradiksi Hadis dengan menggabungkan makna hadis sehingga
kedua hadis tersebut dapat diamalkan atau tidak dihilangkan salah satunya.[46]
1.
kedua hadis tersebut dijadikan hujjah
serta matan dan sanad-nya shahih
2.
kedua hadis tersebut pada kualitas
yang sama, yakni keduanya shahih atau hasan, namun sebagian ulama
tidak memasukkan syarat ini
3.
kedua hadis tersebut bukan nasikh
dan mansukh (bagi yang mendahulukan nasikh)
4.
kedua hadis tersebut menerima ta’wil
baik secara zahir dan nash sesuai
dengan bahasa, kebiasaan ’uruf, dan istilah syar’i
5.
yang menggabungkan hadis tersebut
adalah ahli dalam hadis, bahasa, ushul, fiqh dan syarat-syarat sebagai mujtahid
lainnya.
6. dalam menggabungkan hadis tersebut tidak bertentangan dengan
dalil syar’i lainnya.
c. Sebab-sebab didahulukannya penggabungan hadis[48]
1. karena hadis yang disampaikan Rasulullah Saw. asalnya adalah untuk diamalkan dan terjadinya kontradiktif itu
hanya pada lahiriahnya saja
2. karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam tarjih
dan nasikh lebih besar dari jam’u
3.
karena dengan jam’u berarti menghilangkan makna
kontradiktif dalam hadis dan menyatukan dua hadis tersebut dan ini lebih utama
d. Contoh Jam’u
Contoh pertama:
Hadis pertama:
عن
زيد بن خالد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :ألا أخبركم بخير الشهداء الذي يأتي بشهادته قبل أن يسألها [49]
Hadis kedua:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم خير أمتي
القرن الذين بعثت فيهم ثم الذين يلونهم والله أعلم أذكر الثالث أم لا قال
ثم يخلف قوم يحبون السمانة يشهدون قبل أن يستشهدوا[50]
Secara lahiriah kedua hadis
tersebut kontradiktif, karena pada hadis yang pertama Rasulullah sebutkan bahwa
saksi terbaik adalah yang diberikan tanpa diminta, sedangkan hadis kedua
menyatakan bahwa terdapat kaum diakhir zaman yang menyukai hidup yang
berlebih-lebihan tapi mereka memberikan kesaksian tanpa diminta.
Sehingga ulama
menggabungkannya bahwa yang dimaksud hadis pertama adalah kesaksian yang
berkaitan dengan hak-hak Allah sedangkan pada hadis kedua adalah hak-hak manusia. Pada hadis pertama
apabila seorang saksi memberikan kesaksian yang benar dan pelaku tidak
mengetahui kesaksian tersebut sebelumnya atau ia (pelaku) meninggal sebelum
sampai kesaksian tersebut, sedangkan hadis kedua apabila seorang telah memiliki
saksi pertama maka ia tidak boleh mengajukan saksi yang kedua. Maka
hadis ini diamalkan kedua-duanya[51]
Contoh kedua[52]
Hadis pertama:
Hadis kedua:
أبا
هريرة يقول قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم ثم لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا بنو وفر من المجذوم
كما تفر من الأسد[54]
Kedua hadis
shahih ini secara zahir bertentangan karena hadis pertama meniadakan
penyakit menular sementara hadis kedua ada penyakit menular. Para ulama
menggabungkan kedua hadis ini dengan menyatakan, bahwa tidak ada penyakit
menular akan tetapi Allah lah yang memberikan penyakit pada manusia tetapi manusia dituntut berhati-hati dengan menjauhi
orang yang berpenyakit kusta sehingga aqidah kita tidak rusak dengan menganggap
awal penyakit itu berasal dari orang yang berpenyakit menular tersebut bukan
dari Allah Swt.
ii.
Apabila tidak mungkin digabungkan maka diteliti
sejarah hadisnya apakah ada kemungkinan terjadinya mansukh. Apabila ada, maka beramal dengan nasikh dan
meninggalkan mansukh.
1.
Defenisi
Bahasa:
1. Menghilangkan sesuatu[55]
sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّا
كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ[58]
Istilah:
2.
Syarat-syarat Nasikh[60]
a.
nasikh dengan khitab syar’i yakni
Al-Quran dan hadis pada masa risalah Rasulullah Saw.
2. nasikh dan mansukh memiliki
kedudukan dan kualitas yang sama dari segi kuatnya dilalah
3. adanya dalil yang menunjukkan
tentang nasikh mana yang dahulu dan terakhir
4. mansukh itu adalah hukum amaliah yang juz’i bukan tentang aqidah seperti
mandi wajib bagi yang jima’
5. mansukh bukan sebagai
hukum penguat
6. antara nasikh dan mansukh secara lahir saling bertentangan
c. Contoh
Nasikh:
Hadis
pertama:
Hadis kedua:
Hadis pertama tidak boleh berpuasa bagi yang berbekam sedangkan hadis kedua dibolehkan dan setelah diteliti hadis pertama diriwayatkan ketika penaklukkan Mekkah tahun ke-8 H, sedangkan hadis kedua ketika haji wada’ tahun ke10 H, maka hadis pertama hukumnya mansukh dan beramal dengan hadis yang nasikh.[63]
III. Apabila tidak mungkin digabungkan dan tidak
ditemukan pula dilalah nasikh-nya, maka dipilih yang lebih
kuat (tarjih).
1. Defenisi
Bahasa[64]:
Condong kepada sesuatu, lebih berat, lebih kuat, lebih utama dari sesuatu.
Istilah[65]:
Mujtahid menjelaskan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil kontradiktif, sehingga beramal dengan
dalil yang kuat tersebut.
2. Syarat-syarat dalam men-tarjih hadis[66]
1. dua hadis tersebut memiliki kekuatan yang sama
dalam hujjah bukannya hadis yang pertama shahih dan yang lain munkar.
2. kedua hadis tersebut tidak bisa digabungkan
3. Salah satu dari hadis tersebut bukan dalil yang mansukh
4.
kedua hadis tersebut tidak mutawatir, karena hadis mutawatir
adalah qath’i
iv.
Apabila cara ketiga diatas tidak bisa juga dalam menyelesaikan Kontradiksi Hadis
ini, maka kedua hadis tersebut di-tawaquf-kan (diberhentikan) dahulu, namun
biasanya ulama sampai ketahap ketiga telah bisa menyelesaikan permasalahan Kontradiksi
Hadis ini.[67]
d.
Bentuk –Bentuk Tarjih
Ulama berbeda pendapat dalam mengklafikasikan konsep tarjih[68]
dalam Kontradiksi Hadis ini, ada yang membagi menjadi 50 sampai 100 bagian
sedangkan Imam Suyuthi[69]
mengelompokkan tarjih dalam 7 kelompok besar kemudian tiap kelompok
dibagi pula atas bagian-bagian kecil, sedangkan wahbah az-zuhaili[70]
menjadikan tarjih ini dalam dua bagian besar yaitu:
a.Tarjih
Isnad
1.
Dengan banyaknya periwayatan
Menurut Imam Asnawi[71] apabila ada dua hadis bertentangan
sedangkan pada riwayat pertama banyak perawinya maka hadis inilah yang dipegang
karena kemungkinan salah atau berdusta lebih ringan dari pada periwayatan yang
sedikit.
Contoh: Hadis pertama:
عن عمر بن الخطاب رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا افتتح
الصلاة رفع يديه حتى يحاذي منكبيه وإذا أراد أن يركع وبعد ما يرفع رأسه من الركوع
ولا يرفع بين السجدتين[72]
Hadis kedua:
عن البراء بن عازب قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا
افتتح الصلاة يرفع يديه.[73]
Pada hadis
pertama Rasulullah saw mengangkat tangan ketika iftitah, ruku dan i’tidal, sedangkan hadis kedua hanya ketika iftitah
saja. Setelah diteliti ternyata hadis pertama diriwayatkan oleh 10 sahabat,
sedangkan hadis kedua hanya satu periwayatan saja, maka hadis yang diterima adalah hadis pertama[74].
2.
Dengan sedikitnya perantara hadis
antara Rasulullah Saw dan
rawi.
Apabila perantara antara Rasulullah Saw dan rawi sedikit maka kemungkinan tersalah dan lupa akan lebih
kecil.
Contoh: Hadis pertama:
عن أبي محذورة أن
النبي صلى الله عليه وسلم علمه الأذان والإقامة وذكر فيه الإقامة مثنى مثنى[75]
Hadis kedua:
عن أنس قال: أمر بلال
أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة[76]
Pada hadis pertama lafaz iqamah seperti azan yaitu dua
kali sedangkan hadis kedua hanya satu kali saja. Maka diteliti hadis pertama
perantara rawinya tiga orang sedangkan hadis kedua diriwayatkan dua orang maka
hadis yang diterima adalah hadis kedua[77]
3.
Dengan periwayatan yang mana sahabat
langsung ikut dalam kejadian atau pelaku kisah tersebut, karena pelaku lebih
mengetahui kejadian secara langsung.
Contoh: Hadis pertama:
أن أبا هريرة يقول من
أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم[78]
Hadis kedua:
قالت عائشة: فأشهد على رسول الله صلى
الله عليه وسلم أن كان يصبح جنبا من جماع عير احتلام ثم يصوم ذلك اليوم[79]
Pada hadis pertama apabila
dalam keadaan junub pada waktu pagi hari maka tidak boleh berpuasa sedangkan
hadis kedua dibolehkan berpuasa, maka ulama menyimpulkan bahwa hadis yang
diriwayatkan dari Aisyah lebih kuat karena beliau lebih mengetahui tentang
masalah tersebut dan dalam masalah rumah tangga tentu Aisyah lebih tahu dari
pada Abi Hurairah. Maka hadis kedua yang diterima[80]
b.
Tarjih matan
i.
Dengan periwayatan yang ada i’lat hukumnya.
Karena adanya sebab hukum dalam hadis yang menguatkan dan menjelaskan
hadis yang lebih umum.
Contoh: Hadis pertama:
عن ابن عباس من بدل
دينه فاقتلوه. [81]
Hadis kedua:
وجدت
امرأة مقتولة في بعض مغازي رسول الله صلى الله عليه وسلم فنهى رسول الله صلى الله
عليه وسلم عن قتل النساء والصبيان.[82]
Hadis pertama Rasulullah Saw. melarang membunuh perempuan dan
anak-anak. Sedangkan hadis kedua, siapa saja yang menukar agamanya baik
perempuan atau anak-anak maka dibunuh. Maka hadis yang kedua diterima karena
adanya ilat yaitu murtad.[83]
ii.
Adanya ta’kid (penguat)
dalam hadis karena dengan adanya lafaz penguat maka kemungkinan mengandung
makna majas dan kiasan lebih kecil.
Contoh
hadis pertama:
Hadis
kedua:
عن ابن عباس الأيّم
بنفسها من وليّها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها.[85]
Hadis pertama kemestian nikah dengan izin wali
sedangkan hadis kedua cukup persetujuan dari perempuan saja. Maka hadis yang
diterima adalah hadis yang pertama karena adanya penguatan lafaz sampai tiga
kali[86].
iii.
Adanya pengulangan keterangan
makna hadis
Contoh: Hadis
pertama:
عن
جابر: قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالشفعة في كل ما لم يقسم فإذا وقعت
الحدود وصرفت الطرق فلا شفعة[87]
Hadis kedua:
عن أبي مولى النبي
صلى الله عليه وسلم: الجار أحق بسقبه.[88]
Hadis kedua membolehkan syuf”ah walaupun sudah
dibagi sedangkan hadis pertama tidak membolehkan syuf’ah apabila
bangunan itu sudah dibagi maka hadis yang pertama diterima karena adanya
pengulangan keterangan makna hadis yang dimaksud[89].
Sedangkan Imam Nawawi[90]
membagi konsep tarjih ini kedalam 7 bagian besar:
1.
Tarjih dengan melihat keadaan perawi hadis
a.
banyaknya perawi yang meriwayatkan
hadis tersebut
b.
sedikitnya perantara hadis antara
rasulullah dan rawi
c.
tarjih berdasarkan kefaqihan rawi
d.
tarjih berdasarkan pengetahuan
rawi dengan bahasa arab
e.
tarjih berdasarkan kesempurnaan
aqidah rawi
f.
tarjih berdasarkan rawi sebagai
pelaku peristiwa
g.
tarjih berdasarkan senioritas rawi
h.
tarjih berdasarkan kedhabitan rawi
i.
tarjih berdasarkan kemasyhuran
sifat adil dan tsiqah rawi
j.
tarjih berdasarkan cara penerimaan
hadis
2.
Tarjih dengan melihat bagaimana cara
mendapatkan hadis
3.
tarjih berdasarkan metode
periwayatan
4.
tarjih berdasarkan waktu
periwayatan
5.
tarjih berdasarkan redaksi hadis
6.
tarjih berdasarkan kandungan hukum
hadis
7.
tarjih berdasarkan unsur-unsur
eksternal.
Kesimpulan:
Dari paparan di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan:
- Ilmu kontadiksi hadis adalah cabang ilmu dalam mushtalah hadis dan ilmu ini sangat urgen sekali, karena dengan ilmu ini kita dapat melihat bahwa hadis sebagi sumber kedua hukum syar’i terbukti keotentikannya dan syubhat-syubhat yang dilemparkan kepadanya hanyalah dugaan-dugaan dalam menyudutkan Islam.
- Hadis kontradiktif yang ada bukanlah hadis yang bertentangan secara hakiki tapi hanya lahiriah saja, bisa jadi penyebabnya karena adanya sudut pandang yang berbeda tentang nasikh dan mansukh, tersalah dan terlupanya sahabat, tidak mengetahui adanya hadis yang lain dan sebagainya.
- Maka dalam menyelesaikan hadis kontradiktif ini ulama berupaya dalam mencari solusinya, di antara solusi yang dipaparkan adalah:
- menggabungkan hadis yang kontradiktif tersebut,
- apabila tidak bisa digabungkan maka diteliti sejarah hadisnya kemungkinan terjadinya nasikh dan mansukh,
- jika tidak ada bukti untuk di-mansukh-kan maka hadis tersebut dipilih yang lebih kuat (tarjih).
- apabila tidak bisa ketiga-tiganya maka hadis tersebut di-tawaquf-kan (diberhentikan) dan beramal dengan hadis yang lain, namun hal ini jarang sekali terjadi.
- Perbedaan dikalangan ulama dalam memahami suatu hadis adalah hasil ijtihad yang apabila hasil ijtihad-nya benar maka diberi dua ganjaran dan apabila salah maka mendapatkan satu ganjaran, dan perbedaan ini bukanlah suatu permasalahan yang dibesar-besarkan tapi menambah dinamika dalam syariat Islam selama sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Semoga dengan mempelajari kontradiksi hadis ini menambah ghirah
kita dalam mempelajari Islam
terutama dalam hadis. Wallahul Musta’an wa Huwa A’lam
bi al-Shawab. Enjoy reading!!!
*Tulisan ini pernah dipresentasikan oleh Desri Nengsih, Lc dan Fadhilah Is, Lc
pada Kajian Tafsir Hadis
Almakkiyat, 11 Maret 2009 di Mutsallas H-10 Cairo*
[1]Al-Quran, surah An-Najm:
3-4. Artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)".
[2]Al- Qur’an surat an-Nisa’ayat 82 "........Kalau kiranya al-Qur'an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya"
[3]Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Wasītt Fī Ulūmi Wa Musthalah al-Hadīts,( Cairo:
Maktabah Assunnah, 2006 M), hal. 456
[4]Jumhuriyah Misr Al-Arabiyah, Mu’jamaul-Wajíz, (Cairo: Tab’ah Khasah Bi Wizarah At-Tarbiyah Wa
Ta’lim, 2003 M), hal. 208
[5]Al-Quran, surah Maryam: 37 dan az-Zukhruf:
65, Artinya: "maka berselisihlah golongan-golongan yang ada di antara mereka".
dan Az zukhruf: 65.
[6]Al-Quran, surat: aż-Żārīyāt: 8 artinya: "Sungguh, kamu
benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat".
[7] Muhammad
bin Muhammad Abu Syahbah, Op.cit.
hal 456.
[8] M.‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahu, (Beirut: Darul Fikr, 2008 M) , hal 183.
[9] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarhu An
Nukhbah Nuzhhatun Nazhor Fī Taudhih Nukhbatil (
Cairo: Dar al-Bashāir, 2000 M ), hal 76.
[10] As-Suyūti, Tadrībur Rāwī Fī Syarhi
Taqrībun Nawawī, (Tt: Mu’assasah ar-Rayyan, 2005M), hal 471.
[12] Syahid adalah Hadis yang datang
dengan thariq atau jalur lain dengan sahabat yang berbeda, akan tetapi lafaz dan maknanya sama
atau serupa dengan makna saja.
[13] Mutabi’
adalah ada rawi lain dengan rawi yang kita kaji tadi dengan thariq atau jalur sahabat yang sama.
[14] Ali Na’if Baqa’i, Al Ijtihad Fi Ulumil Hadis Wa
Atsaruhu Fil Fiqhil Islami, Darūl Basyār Al-Islamiyah, 2009,hal 340.
[15]Dr. Dalal, et.al. Al-Jama’ Baina
Mukhtalaf Al-Hadis Wa Musykiluhu; Universitas Al Azhar, Kairo hal 5.
[16]Abdul
Majid Muhammad Ismail, Manhaj Taufiq Wat Tarjih Baina Mukhtalafil Hadis,
(Tt: Dar an- Nafāis, tth), hal 22-24.
[17] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bāri Bi Syarh Shhhih al- Bukhariy, juz 7, (Cairo: Dar al-Hadis, 2004 M),
hal 469. Artinya” …janganlah seseorang diantara kamu shalat asar kecuali di bani Quraizhah…
[18] Ibid.
juz 2, hal 12. artinya: " Aba Amr As Syaibani berkata: telah
menceritakan kepada kami pemilik rumah ini(dan dia mengisyaratkan kepada rumah
Abdullah), dia berkata:saya bertanya kepada Rasulullah amalan apa yang paling
dicintai Allah?Rasul menjawab: shalat pada waktunya…
[20] Imam An-Nawawi, Syarhu Shohih Muslim, (Cairo:
Dar at-Taqwa, tth), kitab: haid, bab: naskhul ma' min al-ma' , juz
4, hal 606. artinnya: "jika seseorang duduk diantara dua kaki dan dua paha,
dan bertemu khitan dengan khitan, maka wajib mandi.
[21] Ibid. hal
602 Artinya: … dari Abi Sa’id Alkhudri r.a dari Nabi Saw.
berkata: sesungguhnya air dari air (mani).
[23]Ibnu Hajar Al-Asqalani.Op.cit. juz 2, hal 258, Imam An-Nawawi. Op.cit. juz 4 hal 650. Artinya: ”dari
Zuhri dari Salim bin Abdillah dari Abdullah bin Umar ra. Berkata: saya melihat Rasulullah saw.
Mengangkat kedua tangan apabila shalat sampai sejajar kedua bahunya, dan dia
mengerjakan itu ketika hendak takbir untuk ruku’dan ketika bangkit dari ruku’
[24]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Bab Lam
Yazkur Ar-Raf’a ‘Inda Ar-ruku’, juz 1, hal 197. Artinya: “ dari Hamad, dari
Ibrahim, dari Al Qamah dan Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Ibnu Mas’ud tidak
pernah mengangkat kedua tangannya kecuali ketika permulaan shalat,
kemudian tidak mengulanginya lagi setelah itu”.
[25] Dalal, et.al. Op.cit. Kairo
Hal: 25.
[27] At-Thahawy, Syarah Musykil Atsar,
Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1994.
[28] Abdul Latif As-Sayyid Ali Syam, Al
Manhaj Al Islami Fi Ilmi Mikhtalafil Hadis, Manhaj Al Imam As Syafi’i,
Darud da’wah, Iskandaria, 1992 M, hal 101-121.
[29] Imam An-Nawawi, Op.cit. juz 4, hal
606. Artinya": " jika
seseorang duduk diantara dua kaki dan dipaha, dan bertemu khitan dengan khitan,
maka wajib mandi".
[30] Ibid. hal 602. Artinya: "dari Abi Sa’id Al-khudry dari
Nabi saw. Bahwasannya dia berkata” sesungguhnya air dari air(mani)…
[31] An-Nawawi, Op.cit, juz 7,
hal 1141-1144. artinya” dari Abdullah bin Umar berkata” saya mendengar Rasulullah Saw
berkata”sesungguhnya mayat akan diazab dikuburnya karena tangisan keluarganya.
[32] Ibid. Artinya: dari Abdullah bin Umar dari Nabi Saw. berkata ”seorang mayat akan di azab dikuburnya
karena ratapan keluarganya terhadapnya”.
[33] Al-Quran, surat Al-An’am ayat 164. Artinya: dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
[34]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul bārī bi syarhi shohihil bulkhori, (Cairo: Dar al-hadis, 2004 M) , kitab:4,bab:11,no
hadis:144 juz 1 hal 297, dan Abu ‘ulā Muhammad Abdirrahman Ibnu Abdirrahim Al Mubārokfūriy,
Tuhfatul Ahwazyi Bi Syarhi Jāmi’ut Turmuziy, Darul Hadis Kairo,
2001 juz 1, hal 45. Artinya;
dari Abu Ayyub Al-Anshory
berkata” berkata Rasulullah Saw” apabila
salah seorang kamu buang air besar maka janganlah menghadap kiblat dan
jangan pula membelakanginya, menghadaplah ketimur atau kebarat.
[35]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.cit, hal
298. Artinya: "Nabi Saw berkata: "apabila engkau duduk untuk buang
hajat maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula menghadap Baitul Maqdis,
lalu Abdullah bin umar berkata" pada suatu hari saya naik ke atap
rumah,lalu saya melihat Rasulullah saw d uduk diantara dua batu bata untuk
buang hajat menghadap Baitul Maqdis.
[36] Dalal, et.al. Op.cit. Kairo
Hal:17.
[37] Ibid,
hal 10.
[38] Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Op.cit, Juz 2, Hal 74. Artinya”
dari Abu hurairah Ra. berkata” Rasulullah Saw.
Melarang dua shalat yaitu shalat setelah fajar sampai terbitnya matahari, dan setelah shalat
asar sampai terbenamnya matahari”.
[39] Bukhari, Shahih al-Bukhori,
Kitab: Masajid Wa Mawadi’us Shalat, Bab: Qodho’us Shalat Al Fa’itahwas Tihbab
Ta’jil Qodho’iha, no 684, hal 477. Artinya: “siapa yang
lupa melaksanakan shalat maka hendaklah mengerjakannya ketika dia ingat,
tidak ada kifarat shalat kecuali waktu itu”.
[40] Muslim, Shahih al-Muslim, kitab
Al- Jum’ah, no 844,( Beirut: Dar
Ihya’ Turats, tth) , Juz 2, hal 579. Artinya: ” bahwasannya Nabi Saw.
bersabda “apabila datang hari jum’at maka hendaklah kamu mandi (untuk
menunaikan sholat jum’at)”..
[41]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab
Thaharah, Bab Rukhshah Fi Tarki’l Ghasli Yaumu’l Jum’ah, (Beirut: Dar
al-Fikr, tth), hadis no 254, juz 1, hal 92. Artinya: siapa yang berwudhuk
pada hari jum’at maka itu cukup baginya, dan siapa yang mandi maka itu lebih
afdhal”.
[42]Ali
Nayif Al-Baqa’i, Al-ijtihad fi Ilmil Hadis, (Beirut: Dar al-Basyar
al-Islamiyyah, tth), cet II, hal. 350.
[43]Abdurrahman
as-Syahrazury, Muqaddimah Ibnu as-Shalah, (Lebanon:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Cet II. 2006), hal: 297.
[45] Majma’
al-Lughah al-Arabiyah, Al-Mu’jam a-Wasith, (Cairo: Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah, cet IV, 2005), hal 135.
[46] Abdul
Majid Muhammad Ismail, Manhaj at-Taufiq at-Tarjih Baina Mukhtalaf al-Hadis , (Cairo: Dar an-Nafais, tth), hal 134.
[47]
Ibid. hal 137.
[48]
Ibid. hal 125.
[49] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Ihya’ Turast Al-A’rabi,
tth), juz:3, Kitab: Al-Aqdiyah, Bab:Khairu Syuhud , no hadis: 1719, hal 1344.
Artinya: dari Zaid bin Khalid ra ;apakah aku tidak memberitau kamu sekalian
tentang sebaik-baik saksi yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum
diminta.
[50] Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut:
Dar Ibnu Kastir), juz:3, Kitab : Fadhail Sahabat, Bab:Fadhail An-Naby,
no :3450 hal:1335. Artinya: (sebaik-baik
umatku adalah golonganku, kemudian orang-orang sesudahnya , kemudian
orang-orang sesudah mereka.wallahua’lam apakah rasulullah menyebutkan tiga
kali atau tidak. Kemudian setelah mereka terdapat kaum yang menyukai
kegemukan (karena banyak makan dan minun dan mengumpulkan harta). Mereka
memberikan kesaksian tanpa dimintai.
[51] Ali
Nayif al-Baqa’i Op.cit,
hal 347.
[52] Mahmud Thahan, Taisir Mushtalah
Al-Hadis, (Alexandria: Markas Al-Huda Lil Hidayah, tth), hal 46-47.
[53] Muslim.
Op.cit, Kitab
As.Salam, Bab La Adwa Wala Thirah, juz 4, hal 1743 hadis no:2220.
Artinya: tidak ada penyakit menular dan pertanda buruk dari burung.
[54]
Bukhari, Op.cit, Bab Al-Jazam, Juz 5, Hal 2158 Hadis No:5380.
Artinya: tidak ada penyakit menular dan pertanda buruk dari burung, maka
larilah kamu dari penyakit menular sebagaimana engkau lari dari singa.
[55] Ibnu
Manzhur, Op.cit, hal 200.
[56] Al-Qur’an, surat Al-Hajj: 52, Artinya: Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu.
[57] Majma’
al-Lughah al-Arabiyah. Op.cit.hal 917.
[58] Al-Qur’an, surat Al-Jasiah : 29.
Artinya: Sesungguhnya
kami Telah menyuruh mencatat apa yang Telah kamu kerjakan
[60] Abdul
Madjid Muhammad Ismail , Op.cit, hal 285.
[61] As-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, cet 1, 1986), hal
142-144. Artinya: Dari al-Hasan: (Rasulullah saw bersabda: bukalah
puasa bagi yang dibekam dan membekam.
[62] Ibid, hal 144. Artinya: Dari Ibnu
Abbas ra: Rasulullah saw berbekam sedangkan dia dalam keadaan berpuasa.
[63] Ali
Nayif Baqa’, Op.cit, hal 348.
[64] Ibnu
Manzhur, Op.cit, hal 70.
[66] Abdul
Majdid Muhammad Ismail, Op.cit, hal 341.
[67] Ibnu
Hajar al –Asqalani Nuzhati an-Nazdri Taudhih Nukhbah al-Fikr, (Damaskus: Mathba’ ad-Dhabah, cetII, 2000), hal 79.
[68]
Abdurrahman as-Syahrazury, Op.cit, Hal 297.
[71] Imam Baidhawi, Op.cit, hal:548.
[72] As-Syafi’i, Op.cit, hal
126-128. dari Umar bin Khatab ra berkata: aku melihat Rasulullah saw apabila
memulai shalat maka dia mengangkat tangan hingga kebahunya, kemudian ketika
akan ruku’,bangkit dari ruku’, dan tidak mengangkat tangan diantara dua sujud.
[73] Ibid, 128. Artinya: Dari
Bara’ bin Azib ra berkata: aku melihat Rasulullah saw apabila akan memulai
shalat maka mengangkat tangan.
[74]Ali
Nayif Al-Baqa’i, Op-cit, hal 354.
[75] Abu Daud, Op.cit, Kitab Shalat,
Bab Kaif al-Azan, hadis no. 502, juz 1, hal 432. Artinya: dari
Abu Mahzurah ra berkata: (Rasulullah saw mengajarkan azan dan iqamah dan
iqamah disebutkan dua kali-dua kali)
[76] Bukhari, Op.cit, Kitab
al-Azan, bab Bada’ul Azan, hadis no:1 juz 1 hal 249. Artinya: dari Anas bin
Malik ra berkata: (Rasulullah saw memerintahkan Bilal bahwa azan genap
sedangkan iqamah ganjil.)
[77]Ali
Nayif Al-Baqa’i, Op.cit hal 355
[78] As-syafi’i, Op.cit, hal 141. Dari
Abi Hurairah ra : siapa yang mendapatkan paginya dalam keadaan junub maka
hendaklah dia berbuka puasa pada hari itu.
[79] Ibid, hal 142. Dari Aisyah ra :aku melihat
Rasulullah saw pada paginya dalam keadaan junub kemudian beliau berpuasa pada
hari itu.
[80] Ali
Nayif Al-Baqa’i. op-cit, hal 356.
[81] Bukhari, Op.cit, Kitab: Jihad Wa Siyar, Bab: La
Yuazhab Bi ‘Azabillah, no: 220 juz 4 hal 147. Dari Ibnu Umar ra
berkata: aku menemukan perempuan terbunuh pada sebagian peperangan, kemudian
Rasulullah saw memerintahkan untuk tidak membunuh perempuan dan anak-anak.
[82] Bukhari, op. cit, Kitab Jihad
Wa Siyar, Bab Qatlu An-Nisa’ Fi Al-Harbi, no 218, juz 4, hal
147. Dari
Ibnu Abbas ra berkata: Siapa yang murtad dari agamanya maka bunuhlah.
[83] Ali
Nayif Baqa’i,Op.cit, hal 357
[84] Abu Dawud, Sunan Abi Daud, (Cairo:
Dar Al-Hadis, 1969), Kitab: An-Nikah, Bab: Fi Walli,
No Hadis :2083, Juz:2, Hal:566-567, dari Aisyah ra berkata: perempuan yang
menikah tanpa izin suaminya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya bati).
[85] Muslim,Op.cit, Kitab : An-Nikah,
Bab: Isti’zdhan Astaibi Fi An-Nikah Bi An-Nutqi Wa Al Bikri Bi As-Sukut,
No:64, Juz:2, hal:1036, artinya:Dari Ibnu Abbas ra berkata: janda lebih berhak dirinya dari pada walinya
sedangkan gadis hendaklah adanya persetujuan dari dirinya, dan tanda setujunya
adalah diamnya.
[86] Ali
Nayif Baqa’i ,Op.cit, hal 358
[87] Bukhari,Op.cit, Kitab:
Syu’fah, Bab: Syu’ah Ma Lam Yuqassam Faizda Waqiat Al-Hudud Fihi Syuf’ah,
juz: 3, no hadis:1, hal 179, dari Jabir bin Abdullah ra : Rasulullah saw
menetapkan syuf’ah pada setiap yang
belum dibagi, apabila telah ada pembagian maka
berubahlah sistemnya dan syuf’ah tidak ada lagi.
[88] Bukhari, Op.cit, Kitab
Syuf’ah, Bab: A’radha As-Syuf’ah ‘La Shahibiha Qabla Ba’i, hadis no :2,
juz:3 hal 179, dari Abi Rafi’ ra: sewa menyewa itu lebih berhak orang yang
lebih dekat.
[90]
As-suyuthi.Op.cit, hal
469
0 komentar:
Posting Komentar