Al-Qur’an merupakan sumber utama
ajaran Islam yang berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang
benar untuk kebahagiaan manusia di dunia dan
akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’ :
إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ
الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا
كَبِيرًا[1]
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)
Petunjuk-petunjuk
yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global sehingga
memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan
al-Qur’an dan cara-cara pelaksanaannya dibebankan Allah kepada Rasulullah
melalui hadis-hadis atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili
mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an
tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”. [2]
Atas
dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum
ajaran Islam yang kedua setelah
al-Qur’an yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.
Disadari
bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadis dan al-Qur’an baik
dari segi redaksi maupun dari cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi
diyakini bahwa al-Qur’an disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian disampaikan Nabi kepada umatnya
dan selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat al-Qur`an
dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul,
al-Qur`an ditulis dan dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara
mutawatir. Dengan demikian, kehujjahan
al-Quran menjadi qath’iy al-wurud.
Sedangkan hadis kehujjahannya zhanny
al-wurud, hal ini disebabkan hadis tidak semuanya persis sama dengan
redaksi yang diucapkan oleh Nabi kecuali hadis mutawatir tetapi ada juga yang
periwayatannya secara maknawi.[3]
Meskipun
dari segi otensitasnya hadis bersifat zhanny al-wurud kecuali hadis
mutawatir tidak berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung
keabsahannya dan tidak mungkin para ulama sepakat untuk berdusta.
Dalam
perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an
mendapat tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas
sunnah sebagai sumber hukum Islam baik secara total, sebahagian, maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini disebut
dengan inkar al- sunnah.
A. Pengertian Inkar Sunnah
A. Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari
dua kata yaitu inkar dan sunnah. Menurut bahasa inkar berasal
dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak
mengakui dan orangnya disebut dengan munkir”.[4]
Sunnah secara bahasa adalah jalan atau
tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara terminology
berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan pengertian sunnah
dan hadis serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah di kalangan para
ulama hadis pada umumnya menyamakan hadis dengan sunnah. Sedangkan di kalangan
para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadis dan sunnah.[5]
Dalam tulisan ini istilah sunnah dan hadis tidak dibedakan sesuai dengan pandangan para
ahli hadis. Jadi inkar al-sunnah disebut juga dengan inkar al-hadis,
namun karena istilah ini tidak populer maka cenderung yang dipakai adalah
istilah inkar al-sunnah.
Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah
secara terminology antara lain disebutkan dalam Ensiklopedi
Islam yaitu “orang-orang yang menolak
sunnah atau hadis Rasulullah Saw. sebagai hujjah dan
sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”[6]
Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah
adalah paham yang menolak sunnah atau hadis sebagai ajaran Islam.[7] Pendapat lain, dikemukakan oleh Dr. Edi Safri
bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak
otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib
ditaati dan diamalkan”.[8]
Menurut Mustafa al-Siba`i juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud denan inkar al-sunnah ialah
pengingkaran karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah
yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau
kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.[9]
Sementara itu Lukmanul Hakim mendefenisikan bahwa inkar al-sunnah
adalah gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas
sunnah sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan
diamalkan.[10]
Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan paham yang menolak eksistensi
sunnah sebagai sumber hukum Islam atau hujjah
yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.
Maksudnya keraguan yang lahir
menjadi penolakan terhadap keberadaan
sunnah atau hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.
B. Sejarah dan Perkembangan Inkar al-Sunnah
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa
awal munculnya paham inkar al- sunnah dibedakan kepada dua yaitu inkar
al-sunnah tempo dulu atau zaman
klasik (munkir al-sunnah qadim) dan inkar al-sunnah periode abad modern (munkir
as-sunnah hadits).[11]
Namun dalam tulisan ini penulis hanya memaparkan
periode awal saja atau inkar sunnah pada periode klasik, untuk periode
Modern pembaca bisa melihat pada postingan tulisan berikutnya.
C. Periode Klasik
Berdasarkan fakta sejarah bahwa di zaman Rasulullah Saw. tidak ada umat Islam yang
menolak sunnah Nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam. Demkian pula di zaman al-khulafa’ al-rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah (661 – 750 M) belum
ada tampak secara nyata kelompok yang menginkari sunnah Nabi sebagai sumber
hukum Islam setelah al-Qur`an.[12]
Menurut
Imam Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua
atau awal abad ketiga Hijriyah pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah (750 – 932
M). Pada masa ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan
melengkapi diri dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak
eksistensi dan otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam
yang wajib ditaati dan diamalkan.[13]
Pada
zaman itu, paham yang menginkari sunnah belum dapat diidentifikasi berasal dari
kelompok mana karena Imam Syafi’i tidak menjelaskan namanya akan tetapi ia mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan
berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah yang ditentang Imam Syafi’i dengan
gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia dijuluki Nȃshir al-Sunnah (pembela sunnah). Karena kesungguhan Imam
Syafi’i memperjuangkan sunnah dengan berbagai argument akhirnya ia berhasil
menyadarkan para penginkar sunnah dan membendung gerakan inkar al-sunnah
dalam waktu yang sangat panjang. [14]
Bahkan
menurut Musthafa ‘Azami paham inkar al- sunnah telah muncul pada masa
shahabat. Ia membuktikan dengan adanya dialog antara shahabat Imran bin Husain
dengan seseorang yang hanya meminta diajarkan al-Qur`an saja. Namun bila dicermati hal ini tidak bisa
dikategorikan dengan inkar al- sunnah tetapi menurut sebahagian ulama
bisa dikategorikan sebagai benih- benih inkar al-sunnah. Kemudian ada
lagi dialog Umayyah bin Khalid dengan Abdullah bin Umar tentang ketentuan
shalat yang ditemukan dalam al- Qur`an hanya di rumah dan waktu perang saja, semenjak itu tidak ada lagi yang tidak meyakini sunnah sebagai hujjah
hingga sebelas abad kemudian.[15]
Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat bahwa orang-orang yang dihadapi oleh Imam Syafi’i dari
kalangan teolog Mu’tazilah karena diketahui dalam sejarah Basrah saat itu
merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan yang menyangkut ilmu kalam. Di
kota inilah
berkembang paham dan
tokoh - tokoh Mu’tazilah yang
dikenal aliran rasional dalam
Islam dan banyak mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar
al-sunnah menurut pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.[16]
Abu
Zahrah menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar al-sunnah yang
dimotori oleh Mu’tazilah karena mereka tetap mengakui dan menerima hadis-hadis Rasulullah sebagai sumber hukum
Islam. Tetapi menurut Abu Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah
orang-orang zindik yang lahirnya meyakini Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan
Islam.[17]
D. Klasifikasi Inkar
al-Sunnah dan Argumennya
1. Menolak sunnah secara umum
Yaitu kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. sebagai hujjah dalam ajaran Islam
secara keseluruhan, baik hadits mutawȃtir maupun hadis ahȃd,
menurut mereka hanya al- Qur`an satu- satunya sebagai sumber ajaran Islam.
Menurut Imam Syafi’i,[18]
sebagaimana dikutip oleh Dr. Edi Safri ada tiga bentuk argumentasi yang
diajukan penginkar sunnah untuk mendukung pendirian mereka yaitu :
1. Al-Qur’an diturunkan
Allah Swt. dalam bahasa Arab yang jelas. Sebagaimana firma Allah dalam al-Qur'an surat al- `Asyu`ara:
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ [19]
”Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas”
Dengan
penguasaan bahasa Arab yang baik maka al-Qur`an dapat dipahami dengan baik pula
tanpa memerlukan dalil-dalil. Atas argument ini maka menurut mereka tidak
diperlukan lagi hadis Rasulullah untuk menjelaskan al-Qur`an.
2. Al-Qur’an
adalah sebagai penjelas atas segala sesuatu dan menyelasaikan permasalahan yang
diperselisihkan. Mereka
mengutip beberapa ayat antara lain:
...وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ[20]
…dan
Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.16:89)
…Tiadalah
Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS:6:38)
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ لِمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللّهُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ[22]
manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka
kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Kelompok inkar
al-sunnah berasumsi bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa segala
sesuatu tentang ajaran agama sudah termuat dalam al-Qur’an dan telah merincinya
sehingga tidak perlu hadis atau sunnah. Apabila sunnah diperlukan untuk
menjelaskan dan merinci maka al-Qur’an telah meninggalkan sesuatu yang tidak
menjadi keterangan Allah sendiri, hal ini mustahil terjadi.
3. Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang sampai kepada kita melalui proses yang tidak terjamin
keauntentikannya dan tidak ada yang menjamin keterpeliharaan hadits Nabi. Oleh
karena itu, mereka
berpendapat bahwa sesuatu yang tidak autentik tidak layak dijadikan sebagai
sumber ajaran agama .[23] Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah
dalam surat al-Hijr :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[24]
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh Kami benar-benar
memelirakannya. (QS. 15:9)
4. Rasul sendiri melarang
ummatnya menjadikkan hadis-hadis beliau sebagai sumber ajaran agama di samping
Al-Qur’an. Hal ini seiring
dengan larangan Rasul terhadap sahabat mencatat dan menuliskan hadis-hadis
beliau. Sebagaimana diriwayatkan oleh muslim:
” Janganlah
kamu tuliskan apa-apa yang daripadaku, dan siapa yang menulisnya daripadaku
selain Al-Qur’an, hendaklah ia hapus...”(lihat postingan hadis masa pra kodifikasi).
Mereka
beranggapan bahwa Rasulullah sendiri sebenarnya melarang ummatnya untuk menjadikan
hadis beliau sebagai sumber ajaran agama selain Al-Qur’an.
Berdasarkan
beberapa argument yang mereka ajukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka
menolak otoritas hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
al-Qur’an. Jadi bagi paham inkar al-sunnah, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. (sunnah) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan tidak perlu
ditaati dan diamalkan. Paham ini jelas mengakibatkan runtuhnya ajaran- ajaran pokok
Islam yang merupakan sendi agama seperti shalat dan zakat, karena butuh pedoman
kepada hadts Nabi dalam pelaksanaannya.
Yaitu mereka yang tidak
mengakui otoritas hadis- hadis untuk menentukan hukum baru selain yang
ditentukan oleh al- Qur`an. Mereka juga memakai dalil yang pertama untuk
mendukung argumen mereka, sehingga menurut penulis kelompok satu dan dua
termasuk golongan yang ekstrim.
3. Menolak hadis ahȃd dan menerima hadis mutawȃtir
3. Menolak hadis ahȃd dan menerima hadis mutawȃtir
Hadis ahȃd adalah hadis yang
berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi kepada satu
atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya.
Sedangkan hadis mutawȃtir adalah hadis yang berasal dari Nabi yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada sejumlah rawi yang adil dan tepercaya
dan demikian seterusnya.[25]
Mereka hanya
menerima hadis- hadis yang mutawȃtir sebagai hujjah dan menolak hadis-
hadis ahȃd, walaupun hadis- hadis tersebut memenuhi persyaratan sebagai
hadis sahih. Sebagai argumennya mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra`
:
”
Janganlah kamu mengikuti apa- apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...”.
Surat an- Nisa` :
” Janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar”
Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan
menyesatkan umat. Tujuan mereka adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam.
Oleh karena itu para ulama
dengan gencar menolak argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Salah
seorang ulama yang paling gigih mempertahankan otentitas kehujjahan
sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur`an adalah Imam Syafi’i
sehingga ia dikenal sebagai Pembela Sunnah.
Menurut Imam
Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa
al-Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah Saw. Mengikuti Rasulullah sama halnya dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk
mendukung argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil al-Qur`an surat al-Jum`ah:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ [28]
”Dia-lah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran Rasul diantara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”
Di samping ayat diatas juga dikemukakan
surat al-Ahzab :
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا[29]
“ Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah
adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.”
Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di
atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan al-
Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran
yang disampaikan oleh Rasulullah Saw..
Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah Allah kepada dan isteri- isteri Rasulullah agar mereka menyampaikan dua hal yang diajarkan Rasulullah
ketika berada di rumah mereka. Ke dua
hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam al-Qur`an dan al- Hikmah yakni Hadis Rasulullah.[30]
Berdasarkan pendapat imam Syafi`i tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah
tidak pintar dalam memahami bahasa Arab , dan tidak dapat membedakan makna-
makna yang terdapat dalam al- Qur`an. Nampaknya mereka menafsirkan ayat al-
Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu semata. Alasan mereka bahwa al-
Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadis, karena al- Qur`an sudah memuat
segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran Islam. Pendapat mereka ini
sangat bertentangan dengan pendapat imam Syafi`i. Dimana menurut imam
Syafi`i al- Qur`an hanya mengandung
ajaran yang bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an yang bersifat umum
yang tata cara pelaksanaannya dibutuhkan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk
Allah.
Menurut Argumen yang dikemukakan
oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadis- hadis Nabi tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam
Syafi`i memberikan penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat
karena kata “Azzikru” dalam surat
al- Hijjr ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik
al- Qur`an maupun sunnah untuk menjelaskan al- Qur`an.[31]
Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak
diragukan lagi bahwa Allah menjamin
sunnah Rasulullah sebagaimana Allah menjamin kitab-Nya. Bukti sejarah juga menunjukkan dari
perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya untuk mempelajari dan meneliti
serta menghafal dan menuliskan al-
Qur`an dan sunnah.
Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan
dan menolak autentitas penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah
disebabkan karena menurut mereka bahwa hadis- hadis ditulis pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz ( 99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak terpelihara.
Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis
yang secara resmi dan penulisan hadis di zaman Rasulullah atas prakarsa
perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan yang ditulis pada zaman Rasulullah
adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadis- hadis
Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al-
Shahifah al- shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir
bin Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub, Shahifah Jabir bin Abdullah yang berisikan masalah ibadah, haji, dan
khutbah Rasulullah.[32]
Memperhatikan penemuan-penemuan
ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan bahwa hadis- hadis Rasulullah telah ditulis atas prakarsa sahabat dan tabi`in
jauh sebelum penulisan hadis secara resmi. Atas dasar penjelaan dari al- Qur`an
dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas diragukan kehujjahan
sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al- Qur`an. Pada
dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap kedudukan dan
fungsi sunnah sebagai hujjah dalam Islam timbul akibat dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya
untuk menghancurkan Islam.
[5] Ulama
hadits mendefenisikan sunnah sebagai semua yang muncul dari Rasulullah baik itu
perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemanusiaan atau akhlak atau jalan baik
sebelum menjadi rasul atau sesudahnya. Lihat: Muhammad `A`jaj al- Khatib, Ushul
al- Hadits, Beirut: Dar al- Fikr, 1989, hal.19
dan 26, dan Musthafa al- Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al-
Islami, Beirut:
Maktabah al- Islamiyat, 1978, hal. 47
[25]
Musthafa al- Shiba`i, Op.Cit., hal.245
[26] Qur`an Surat Al- Isra` Ayat. 36
[27] Qur`an Surat, an-Nisa` Ayat.71
[28] Qur`an
Surat Al- Jum`ah Ayat 2
[29] Qur`an
Surat al- Ahzab Ayat.34
[30] Imam Syafi`i, Op.Cit., Hal. 228
[31] Ibid.
[32] M.
Quraish Shihab, Op.Cit., Hal. 129
0 komentar:
Posting Komentar