*Desri nengsih*
Hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al Qur’an, selalu menjadi kajian yang menarik untuk dibahas baik dalam hal otentisitas maupun kevaliditasannya, agar ia benar-benar terjaga dan murni berasal dari perkataan, perbuatan, maupun taqrir Rasul. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun muta’akhirin untuk mencari dan membuktikan otentisitas dan kevaliditasannya serta melakukan upaya untuk memahami serta menangkap maksud kandungan dari hadis tersebut
Dalam studi hadis, proses memahami hadis lebih dikenal dengan istilah fiqh al hadis, yakni proses memahami dan menyingkap kandungan suatu hadis dengan pemahaman yng benar, sehingga hasil pemahaman tersebut bisa menjawab masalah dari perkembangan zaman. Dalam proses memahami dan menyingkap makna hadis tersebut, diperlukan suatu cara dan teknik-teknik pemahaman dan eksplorasi maksud sebuah hadis agar menghasilkan pemahaman yang benar dan matang. Berdasarkan hal ini, para ulama syarh hadis menggunakan beberapa metode dalam memahami makna dan kandungan hadis. Metode tersebut dikelompokkan menjadi empat macam yaitu: Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’iy.
A. Metode Pemahaman Hadis
1. Makna metode
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos”, dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan “method” yang juga berarti cara[1], dan dikalangan ‘Arabiy dikenal dengan istilah “thariqah atau manhaj”. Adapun metode dalam bahasa Indonesia berarti cara sisitematis dan terpikir secara baik untuk mencapai sebuah tujuan. Dan metodologi adalah pengetahuan tentang metode yang dipakai dalam suatu bidang tertentu, atau suatu pengkajian dalam mempelajari aturan-aturan dalam metode tersebut[2].
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos”, dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan “method” yang juga berarti cara[1], dan dikalangan ‘Arabiy dikenal dengan istilah “thariqah atau manhaj”. Adapun metode dalam bahasa Indonesia berarti cara sisitematis dan terpikir secara baik untuk mencapai sebuah tujuan. Dan metodologi adalah pengetahuan tentang metode yang dipakai dalam suatu bidang tertentu, atau suatu pengkajian dalam mempelajari aturan-aturan dalam metode tersebut[2].
2. Makna pemahaman
Pemahaman dalam bahasa Arab disebut dengan قفه yang secara bahasa berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya”[3]. Kata fiqh sudah menjadi istilah yang eklusif dipakai untuk menunjukkan salah satu disiplin ilmu keislaman. Akan tetapi, kata fiqh yang dimaksud disini adalah kata fiqh dalam makna dasarnya.
Kata ini sebanding dengan kata فهم yang juga bermakna memahami. Tetapi kata yang lebih populer dipakai untuk menunjukkan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan dan ilmu agama tertentu adalah fiqh. Jadi, walaupun kedua kata ini memiliki makna yang sama, namun kata fiqh lebih menunjukkan kepada “memahami secara mendalam. Seperti kata Raghib al Ashfahani bahwa fiqh adalah pemahaman yang sampai pada sesuatu yang abstrak[4]. Imam Ibnu qayyim juga menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik daripada kata fahm, karena fiqh memahami maksud yang diinginkan pembicara. Oleh sebab itu, fiqh merupakan kemampuan lebih dari sekedar memahami pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan[5].
Berdasarkan penjelasan di atas dipahami bahwa metode pemahaman hadis adalah sebuah langkah atau cara yang ditempuh dalam memahami isi kandungan sebuah hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis tersebut menghasilkan sebuah jawaban yang bisa menjawab tantangan dan perkembangan zaman. Karena, istilah pemahaman dalam hadis meliputi: menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis, dan disiplin ilmu lain, setelah diketahui terlebih dahulu keberadaan hadis tersebut[6].
Pemahaman dalam bahasa Arab disebut dengan قفه yang secara bahasa berarti “mengetahui sesuatu dan memahaminya”[3]. Kata fiqh sudah menjadi istilah yang eklusif dipakai untuk menunjukkan salah satu disiplin ilmu keislaman. Akan tetapi, kata fiqh yang dimaksud disini adalah kata fiqh dalam makna dasarnya.
Kata ini sebanding dengan kata فهم yang juga bermakna memahami. Tetapi kata yang lebih populer dipakai untuk menunjukkan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan dan ilmu agama tertentu adalah fiqh. Jadi, walaupun kedua kata ini memiliki makna yang sama, namun kata fiqh lebih menunjukkan kepada “memahami secara mendalam. Seperti kata Raghib al Ashfahani bahwa fiqh adalah pemahaman yang sampai pada sesuatu yang abstrak[4]. Imam Ibnu qayyim juga menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik daripada kata fahm, karena fiqh memahami maksud yang diinginkan pembicara. Oleh sebab itu, fiqh merupakan kemampuan lebih dari sekedar memahami pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan[5].
Berdasarkan penjelasan di atas dipahami bahwa metode pemahaman hadis adalah sebuah langkah atau cara yang ditempuh dalam memahami isi kandungan sebuah hadis, sehingga pemahaman terhadap hadis tersebut menghasilkan sebuah jawaban yang bisa menjawab tantangan dan perkembangan zaman. Karena, istilah pemahaman dalam hadis meliputi: menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis, dan disiplin ilmu lain, setelah diketahui terlebih dahulu keberadaan hadis tersebut[6].
B. Corak Metode Pemahaman Hadis
1. Metode Tahlily (Analitis)
a.
Pengertian
Secara etimologi kata “tahlili” berasal dari kata حلل – يحلل -
تحليلا[7] yang berarti [8] فكحا ونقضها: menguraikan, menganalisis[9].
Adapun secara terminologi metode pemahaman hadis secara tahlily
adalah memahami hadis-hadis Rasul dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam hadis tersebut, serta menjelaskan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pen-syarh yang memahami
hadis-hadis tersebut.
Model pen-syarh-an hadis dengan metode ini biasanya seorang pen-syarh
dalam menyajikan penjelasan atau komentar mengikuti sistematika hadis sesuai
dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang di-syarh-nya.
Pen-syarh
memulai penjelasannya dari kalimat demi
kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut mengandung berbagai aspek yang terdapat dalam hadis, seperti kosakata, konotasi
kalimatnya, latarbelakang turunnya hadis, kaitannya dengan hadis lain, dan
pendapat-pendapat yang beredar sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang
berasal dari para sahabat, tabi’in,
maupun ulama hadis.
b.
Ciri-Ciri Metode Tahlily
Secara umum kitab-kitab syarh yang menggunakan metode tahlily biasanya
berbentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’yu (pemikiran rasional). Syarh yang
berbentuk ma’tsur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat
yang datang dari sahabat, tabi’in, atau ulama hadis dalam memberikan
penjelasan terhadap hadis yang di-syarh. Sementara syarh
yang berbentuk ra’yu banyak di dominasi oleh pemikiran rasional pen-syarh-nya.
Jika sebuah kitab syarh hadis menggunakan metode syarh tahlily,
dapat diketahui dengan melihat beberapa ciri-ciri khusus yang terdapat dalam
kitab tersebut, diantara ciri-ciri tersebut ialah:
1. alam pen-syarh-an, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi
kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan asbab
al-wurȗd dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki asbab al-wurȗd-nya.
2. Memaparkan dan menguraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh
para sahabat, tabi’in, dan para ahli syarh hadis lainnya dari
berbagai disiplin ilmu.
3. Menjelaskan munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis
lainnya.
4. Kadangkala pen-syarh-an diwarnai dengan kecenderungan pen-syarh
pada salah satu mazhab tertentu, sehingga menimbulkan adanya berbagai corak
pen-syarah-an, seperti corak fiqhy dan corak lainnya yang dikenal
dalam bidang pemikiran Islam.
Diantara kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode syarh
tahlily adalah:
1. Kitab Fath al Bȃrȋ bi Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Ibnu Hajaral
Atsqalany
2. Irsyȃd al-Sȃrȋ li Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Al-Abbas Syihab ad Din Ahmad bin Muhammad al Qastalani.
3. Al-Kawȃkib ad-Darȃr ri fi Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Syams ad Din
Muhammad bin Yusuf bin Ali al Kirmani.
4. Syarh al-Zarqȃni ‘ala Muwatta’ al Imam Malik oleh Muhammad bin Abd
al Baqi’ bin Yusuf al-Zarqani.
d.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode Tahlily
1. Kelebihan Metode Tahlily
Metode Syarh
Tahlili memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan
yang dimiliki metode ini antara lain:
a. Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, karena metode ini mencakup
berbagai aspek pembahasan, seperti pembahasan makna kata, kalimat, asbab
wurud hadis, serta munasabah hadis dengan hadis lainnya.
b. Memuat berbagai ide dan gagasan. Syarh dengan metode tahliliy ini memberikan
kesempatan yang luas kepada pen-syarh untuk
mencurahkan ide-ide dan gagasan dalam syarh hadis. Ini menunjukkan bahwa pola pen-syarh-an metode ini
dapat menampung berbagai ide pen-syarah. Dengan dibukanya pintu bagi pen-syarh untuk mengemukakan pemikiran-pemikiranya dalam
mensyarh hadis, maka lahirlah kitab syarh yang berjilid-jilid.
2. Kekurangan Metode Tahlily
Selain memiliki
kelebihan dibanding metode lain, ternyata metode ini juga memiliki beberapa kekurangan. Adapun kekuarangan metode ini
adalah:
a. Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga
terasa seakan-akan hadis memberikaan pedoman secara tidak utuh dan tidak
konsisten, karena syarh yang di berikan pada suatu hadis berbeda dari syarh
yang diberikan pada hadis-hadis lain yag sama, karena kurang memperhatikan
hadis-hadis lain yang mirip atau sama dengannya[10].
b. Melahirkan syarh yang subyektif. Konsekuensi logis dari metode tahlily
adalah terbuka lebarnya faktor subjektifitas, karena metode ini tidak
memberikan arahan ataupun batasan yang jelas supaya tidak terjerumus kepada pensyarhan
yang keliru. Terlebih pada pen-syarh yang cendrung pada ra’yi,
subjektifitas akan kelihatan amat kentara. Pen-syarh-annya begitu kental
diwarnai oleh aliran theology, mazhab tertentu, dan latar belakang pen-syarh.
Seperti pen-syarh-an yang dilakukan Ibnu Hajar di atas, terkesan
dipengaruhi oleh sikap subyektifnya sebagai ulama hadis tanpa memberikan
pendapat yang harus dipegang sesuai dengan data yang terdapat dalam kitab yang
di-syarh.
2. Metode Ijmali (Global)
a. Pengertian
Ijmaliy secara
etimologis berarti global. Sehingga syarh ijmali diartikan syarh
global. Secara terminologis metode syarh ijmali adalah menjelaskan atau menerangkan
hadis-hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam kitab
hadis yang akan di-syarh secara ringkas, tetapi dapat
merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan
gampang dipahami[11]. Jika dibandingkan
dengan metode tahliliy. metode
ini tidak berbeda dalam menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab
hadis, namun dalam memberikan penjelasan,
metode ini sangat mudah dipahami oleh pembaca, baik dari kalangan intelek
maupun orang awam, karena uraian penjelasanya ringkas dan tidak berbelit-belit.
b. Ciri-ciri Metode Ijmali
Adapun ciri-ciri kitab syarh hadis yang menggunakan metode ijmali
adalah:
1. Pen-syarh langsung melakukan penjelasan hadis dari awal
sampai akhir secara global tanpa
perbandingan.
2. Penjelasan yang diberikan bersifat umum dan sangat ringkas.
3. Pada hadis
tetentu diberikan penjelasan yang luas,
tapi tidak seluas penjelasan dengan metode tahliiy.
Diantara kitab-kitab syarh
hadis yang menggunakan metode syarh ijmali adalah:
a. Syarh as-Suyȗhiy li as Sunan an Nasȃ’i oleh Jalal ad Din
as Suyuthi.
b. Qut al -Mughtazi ‘Ala Jami’ at Turmuzi oleh Jalal ad Din
as Suyuthi.
c. ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud oleh Muhammad bin Asyraf bin
Ali Haidar as Siddiqi al ‘Azim
al Abadi.
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Metode ijmali juga
mempunyai kelebihan dan kekurangan, sebagaimana halnya metode tahlili.
1. Kelebihan Metode Ijmali
Adapun kelebihan kitab hadis yang menggunakan syarh secara ijmali
adalah:
a. Paraktis dan padat. Metode ini terasa lebih praktis dan singkat, sehingga
dengan mudah dapat diserap oleh pembacanya.
b. Bahasa mudah
dipahami. Pensyarh
langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau
pendapatnya , secara pribadi.
c. Bebas dari israiliyyat. Karena singkatnya
penjelasan yang diberikan, metode ijmaliy relatif lebih murni dan
terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyyat. Metode ini juga
dapat membendung pemikiran-pemikiran yang terlalu jauh dari pemahaman hadis.
d. Akrab dengan
bahasa hadis. Uraian yang dimuat dalam metode ini singkat dan padat.
2. Kekurangan Metode Ijmali
Diantara kekurangan pen-syarh-an
hadis yang dilakukan dengan metode ijmali ini adalah:
a. Menjadikan
petunjuk hadis parsial. Metode ini
tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat dijadikan petunjuk hadis
bersifat parsial, tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang
bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya
rinci.
b. Tidak ada ruang
untuk menggunakan analisis yang memadai. Metode
ini tidak menyediakan ruang yang memuaskan berkenaan dengan wacana
pluralitas pemahaman suatu hadis. Oleh karena itu,
metode ijmali tidak bisa diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara
detail.
3. Metode Muqaran (Komparatif)
a.
Pengertian
Kata muqaran merupakan masdar dari kata قارن – يقارن – مقارنة[12] yang berarti perbandingan atau komparatif[13]. Jadi, syarh muqaran secara etimologis berarti syarh perbandingan atau pen-syarh-an yang dilakukan dengan membandingkan dua hal. Adapun pengertian syarh muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadis dengan cara:
Kata muqaran merupakan masdar dari kata قارن – يقارن – مقارنة[12] yang berarti perbandingan atau komparatif[13]. Jadi, syarh muqaran secara etimologis berarti syarh perbandingan atau pen-syarh-an yang dilakukan dengan membandingkan dua hal. Adapun pengertian syarh muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadis dengan cara:
- Membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama, dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
- Membandingkan berbagai pendapat ulama syarh dalam men-syarh hadis.
Jadi, metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ahli syarh dalam men-syarh hadis.
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan
b. Memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang
membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu
redaksi yang sama.
c. Menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip,
baik perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda
dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya.
d. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para pen-syarh tentang hadis
yang dijadikan objek bahasan.
Diantara kitab-kitab syarh
hadis yang menggunakan metode muqaran adalah:
1. Shahȋh Muslim bi Syarh an-Nawȃwiy oleh Imam Nawawi
2. ‘Umdah al Qȃrȋ’ Syarh Shahȋh al-Bukhȃri oleh Badr ad Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad .
b.
Ciri-Ciri Metode Muqaran
Metode ini mempunyai beberapa ciri-ciri yang membedakannya dengan metode
lainnya. Adapun ciri-ciri dari metode ini adalah:
1. Pen-syarh menggunakan perbandingan analisis
redaksional
2. Pen-syarh menggunakan perbandingan penilaian
perawi.
3. Pen-syarh membandingkan kandungan makna dari
masing-masing hadis yang dibandingkan.
4. membandingkan berbagai hal yang yang
dibicarakan oleh hadis tersebut.
5. Pen-syarh harus meninjau berbagai aspek yang
menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti asbab al wurud, pemakaian kata, dan susunannya, konteks
masing-masing hadis tersebut muncul dan sebagainya. Meskipun yang dibandingakan
hadis dengan hadis, pensyarh perlu pula meninjau pendapat yang
dikemukakannya berkenaan dengan hadis itu.
Ciri utama dari metode ini adalah perbandingan,
yakni membandingkan hadis dengan hadis,
dan pendapat ulama syarh dalam mensyarh hadis.
d.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode Muqaran
1. Kelebihan Metode Muqaran
Di antara keungulan metode muqaran ini dari metode-metode lainnya
adalah:
a. Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada pembaca.
Dengan melakukan pen-syarhan
melalui metode ini akan terlihat bahwa suatu hadis dapat ditinjau dari berbagai
disiplin ilmu, sesuai dengan keahlian pen-syarh-nya. Dengan demikian,
terasa bahwa hadis itu tidaklah sempit, melainkan sangat luas dan dapat
menampung berbagai ide dan pendapat.
b. Membuka pintu untuk bersikap toleran.
Metode ini membimbing kita
untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh
berbeda atau bahkan kontradiktif dari pendapat kita. Dengan demikian, dapat
mengurangi fanatisme yang berlebihan pada suatu mazhab atau aliran tertentu,
sehingga pembaca akan terhindar dari sikap eksrim yang dapat merusak persatuan
dan kesatuan umat. Hal ini dimungkinkan karena pen-syarh-an dengan metode muqaran
ini memberikan berbagai alternatif pemikran.
c. Pemahaman
dengan metode muqaran sangat berguna
bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
d. Pen-syarah didorong untuk
mengkaji berbagai hadis serta pendapat-pendapat para pen-syarah lainnya.
2. Kekurangan Metode Muqaran
Di antara kekurangan atau kelemahan
metode muqaran adalah:
a. Metode ini
tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan
terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b. Metode muqaran ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab
problema-problema sosial yang sedang tumbuh di tengah masyarakat. Hal ini
disebabkan karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada
pemecahan masalah.
c. Metode muqaran ini terkesan lebih banyak menelusuri
pemahaman-pemahaman yang pernah
diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan pendapatnya sendiri atau
pendapat-pendapat baru, sehingga akan menghasilkan sintesis baru yang belum ada
sebelumnya.
e. Prosedur Penerapan Metode
Muqaran
Dalam menerapkan metode
pemahaman muqaran, ada beberapa langkah sisitematis yang dapat dilakukan
sesuai dengan obek perbandingan. Di antara langkah-langkah tersebut adalah:
a. Menginventarisir hadis-hadis yang memiliki kemiripan redaksi dan kesamaan
masalah. Langkah ini dapat dilakukan dengan meneliti langsung ke dalam teks
hadis. Di samping itu, muhaddis juga bisa merujuk kepada kitab-kitab
hadis seperti: Mu’jam al Mufahrasy li-Alfȃzh al-Ahad-s an Nabawiyah, kitab
Athrȃf al-Ahadȋs an-Nabawiyah, kitab Kunȗz as-Sunnah, dan lain-lain.
b. Mengklasifikasikan hadis-hadis yang memiliki kemiripan redaksi atau kesamaan masalah. Pada tahapan kedua ini
muhaddis melakukan pengelompokan hadis-hadis yang memiliki kemiripan
redaksi dalam kasus yang berbeda atau yang memiliki kesamaan masalah, kasus
atau redaksi yang berbeda, atau hanya dari perbedaan aspek susunan (uslub)
saja. Tahapan ini juga dapat dibantu dengan melacak asbab al wurud hadis
atau meneleti korelasi (munasabah) antara hadis tersebut.
c. Membandingkan atau menganalisa hadis-hadis yang memiliki redaksi yang sama
dalam kasus yang berbeda, atau kasus yang sama dengan redaksi yang berbeda, dan
perbedaan dari segi susunan, serta membandingkan pemahaman-pemaham ulama
terhadap hadis tersebut.
4. Metode Maudhȗ’î (tematik)
a.
Pengertian
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع
yan merupakan isim fail dari kata wadha’a yang artinya masalah
atau pokok permasalahan.[15] Secara etimologi, kata maudhu’i
yang terdiri dari huruf و ض ع berarti meletakkan sesuatu atau
merendahkannya, sehingga kata maudhu’i merupakan lawan kata dari al-raf’u
(mengangkat).[16] Mustafa Muslim berkata bahwa yang dimaksud maudhu’i adalah
meletakkan sesuatu pada suatu tempat. Maka, yang dimaksud dengan metode maudhu’i
adalah mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam al-Qur’an atau
hadis-hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik
tertentu atau tujuan tertentu kemudian disusun sesuai dengan sebab-sebab
munculnya dan pemahamannya dengan penjelasan, pengkajian dan penafsiran dalam
masalah tertentu tersebut.
Menurut al-Farmawi, Metode maudhȗ’iy
adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan
kemudian disusun sesuai dengan asbȃb al-wurȗd dan pemahamannya
yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah
tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman hadis pendekatakan tematik (maudhȗ’iy)
adalah memahami makna dan menangkap maksud yang terkandung di dalam hadis
dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang terkait dalam tema pembicaraan
yang sama dan memperhatikan korelasi masing-masingnya sehingga didapatkan
pemahaman yang utuh.[17]
Sedangkan Arifuddin Ahmad mengatakan
bahwa metode maudhȗ’i adalah pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan
tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek
epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu
aspeknya”.[18] Metode maudhu’î sebagai salah salah
satu metode tidak hanya berlaku dalam pemahaman al-Qur’an melainkan juga dapat
diterapkan dalam pemahaman hadis.
Dilihat dari sisi metodologis, metode maudhȗ’îy hadis merupakan pengembangan dari penyelesaian ikhtilȃf
al-hadȋts. Hanya saja dalam metode maudhȗ’î ini dalam
proses pemahaman kasus atau tema tertentu melibatkan semua hadis yang setema
atau berhubungan dengan hadis. Kemudian penyelesaian ikhtilȃf hadis sesuai dengan namanya, hanya pada
kasus-kasus yang memperlihatkannya perbedaan makna hadis. Sementara metode
hadis maudhȗ’î lebih luas lagi,
mencakup semua kasus yang tidak terlihat adanya ikhtilaf didalamnya.ini
dilakukan untuk menemukan makna subtansial dari setiap kasus hadis yang dibahas
dan dianalisis. Jadi metode maudhu’î hadis yaitu suatu metode menghimpun
hadis-hadis shahih yang topik pembahasanya sama. Dengan demikian, hal-hal yang syubhat dapat di
jelaskan dengan hal-hal yang muhkam. Hal-hal yang mutlaq dapat di
batasi dengan hal yang muqqayad (terikat) dan hal-hal yang bermakna umum
dapat ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus , sehingga makna yang di
maksud oleh subjek tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan.
Dengan demikian, dalam metode tematik ini diperlukan usaha mencari
hadis-hadis lain yang terkait, semakin banyak hadis yang terkait ditemukan ,
maka peluang untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif penjelasan Rasul
tentang suatu persoalan akan semakin tinggi.[19]
b.Ciri-ciri metode maudhȗ’iy
a. Menghimpun hadis-hadis yang membicarakan satu topik
tertentu atau permasalahan tertentu
b. Memahami makna dari masing-masing hadis
c. Memahami hadis secara komprehensif dengan menggunakan
pendekatan tematik.
Berdasarkan
penjelasan di atas, metode tematik
ini harus
memenuhi beberapa unsur yaitu:
1. Menentukan
topik atau judul yang akan dikaji
2. Mengumpulkan
hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan
3. Melakukan
pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema
4. Memilih
salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang
terkait dengan tema.
Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode tematik ini antara lain dapat dilakukan dengan:
Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode tematik ini antara lain dapat dilakukan dengan:
1. Menentukan
tema atau masalah yang akan dibahas
2 2. Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang
terkait dalam satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna melalui kegiatan
takhrȋj al-hadȋts
3. Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan
memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurud-nya hadis (tanawwu’)
dan perbedaan periwayatan hadis.
4. Melakukan
kegiatan i’tibar dengan melengkapi seluruh sanad
5. Melakukan
penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi,
kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan.
6 6. Melakukan
penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya ‘illat
(cacat) dan syȃdz
(kejanggalan).
7. Mempelajari
term-term yang mengandung arti serupa
8. Membandingkan
berbagai syarah hadis
9 9. Melengkapi
pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
10. Menyusun hasil penelitian
menurut kerangka besar konsep.
c.Kelebihan metode maudhȗ’îy
a. Sebagai di maklumi, hadis-hadis
yang banyak dalam setiap kasus,sebagai dampak riwayat dengan makna atau cara
rekam sahabat yang berbeda ataupun boleh jadi akibat penyampaian hadis yang
berulang oleh Rasulullah. Memperlihatkan
keragaman lafal atau redaksi-redaksi yang beragam, meskipun dari satu sisi
merupakan pencetus kerumitan pemahaman,tetapi pada sisi lain merupakan kekayaan
informasi yang memungkinkan para analisis untuk dapat melihat hadis dari segala
sisi yang dimungkinkan oleh varian data. Ada hadis
tertentu dalam kasus tertentu dan dalam riwayat tertentu memperlihatkan teks
yang pendek. Sementara dalam riwayat lain dan kasus yang sama menampakan teks
yang panjang. Kadangkala satu hadis oleh periwayatnya ikut merekam
latarbelakang sejarah atau asbȃb wurȗd al-hadȋts, sementara pada hadis yang lain tidak di temukan
tambahan informasi seperti itu. Dengan mempertimbangkan semua hadis yang ada
dalam satu kasus, antara satu dan hadis lain dapat mendukung, tidak saja dalam penguatan sumber (kesahihan hadis) melainkan juga dalam kejelasan makna.
b. Dengan pelibatan semua hadis dalam kasus tertentu, para analisis dengan pendekatan induktif dapat menemukan
makna jami’ atau kully dari sejumlah hadis. Dalam pembahasan
hadis jami’ di jelaskan bahwa dalam hadis tertentu terdapat lafal yang
bermakna jami’. Lafal yang benuansa jami’ dapat menjadi
primis mayor dan dengan pendekatan deduktif di kembangkan kepada kasus-kasus
yang berhubungan, seperti yang terlihat pada hadis khamar.
c. Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkannya
judul-judul pembahasan yang akan dibahas, membuat pembahasan itu sempurna dan
utuh, maksudnya penampilan tema suatu masalah serara utuh tidak terpisah-pisah
bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui pandangan-pandangan hadis tentang
suatu masalah.
d. Kekurangan metode maudhȗ’iy
a. Memenggal hadis, maksudnya adalah metode ini
mengambil satu kasus di dalam satu hadis atau lebih yang mengandung berbagai
permasalahan.
b. Membatasi pembahasan hadis, dengan adanya penetapan judul di dalam pemahaman hadis, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topiknya).
b. Membatasi pembahasan hadis, dengan adanya penetapan judul di dalam pemahaman hadis, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topiknya).
Demikianlah empat corak metode pemahaman hadis yang telah
dipersembahkan ulama kepada kita, meskipun demikian hal tersebut bukanlah sesuatu yang
final, karena kajian dan telaah hadis tetap sangat diperlukan dalam upaya
memahami dan menangkap makna kandungan hadis secara komprehensif, sehingga
hadis selalu terbuka untuk dapat dikaji dengan berbagai pendekatan dan metode
baru sehingga nilai ruhiyah hadis Rasulullah
selalu menjadi pencerah dan pedoman bagi umat manusia. Jadi, tidak
menutup kemungkinan akan terlahirnya beberapa metode baru setelah ini seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, karena hadis merupakan sumber pokok
kedua hukum Islam setelah al Qur’an yang tak lepas dari berbagai kajian dan
penelitian. Wallâhul
musta’ân, wa huwa ‘A’lam bi as Shawâb..
Padang, 05 April 2014
[1] William Kahelay, Kamus
Lengkap Praktis 100 Juta. (Surabaya: Fajar Mulya, tth), h. 160
[3] Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis.
(Padang: hayfa Press, 2008), h. 13
[4] Ibid, h. 14
[5] Ibid
[6] Maksudnya adalah setelah diketahui hadis tersebut maqbul
atau tidaknya, karena pembahasan mengenai pemahaman hadis ini adalah lanjutan
dari kajian sanad hadis. jika hadis tersebut maqbul ,maka
dilanjutkan dengan pembahasan bagaimana memahami isi kandungan hadis tersebut.
[7] Ibnu Manzhur, Lisȃn al ‘Arab. (Cairo: Dar al
Ma’arif, 1119), h. 978
[8] Ibid, lihat juga, Mu’jam al Wajȋz.
(Kairo: Jumhuriyah Mishr al ‘Arabiyah, 2003), h. 168
[9] Rusydi AM, ‘Ulum al Qur’an II. (Yayasan Azka
Padang: IAIN IB Press, 2004), h. 74
[10] Rusydi AM. Op. Cit., h. 80
[11] Pengertian diambil dari metode pemahaman tafsir ijmali.
[14] Langkah-langkah ini diambil dari pemahaman terhadap
metode tafsir muqaran, dan disesuaikan dengan metode pemahaman hadis muqaran.
[15] Ahmad
Warson Munawwir,al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,(Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997), h. 1565
[16] Abu al-Husain Ahmad ibn Fahris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis
al-Lugah , (Bairut: Dar
al-Fikr, tth.), juz. 2 h. 218.
[18] Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis , (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin
Makassar) h. 4.
[20]
Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis, ( Yogyakarta: Sukses
Offset, 2008), h. 27-29
0 komentar:
Posting Komentar