*Desri nengsih*
Setelah imam Bukhari, Muslim, dan Abu Daud, saatnya
imam Tirmizi yang menjadi objek pembahasan. Dia merupakan tokoh, serta penghimpun
hadis yang terkenal. Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok imam Tirmizi
sebagai salah satu periwayat dan ahli hadis utama, selain Bukhari, Muslim, Abu
Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya
Kitab Al Jami', yang dikenal dengan Jami' at-Tirmizi atau Sunan At- Tirmizi, menjadi salah
satu rujukan penting yang berkaitan dengan masalah hadis dan ilmu hadis, serta
termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang hadis) dan
ensiklopedia hadis terkenal.
Kitab Jami’ at-Tirmizi ini mempunyai
ciri khas tersendiri yang tidak didapati pada kitab-kitab lainnya. Hal ini dikarenakan kitab ini membawa banyak hal baru dalam khazanah
keilmuan hadis. Seperti; Pertama, penyajian hadis dalam kitab ini yang
diikuti dengan penjelasan tentang kualitas hadis tersebut. Kedua, adanya
istilah “hasan” untuk penilaian mutu sebuah hadis yang sebelumnya hanya
mengenal “shahih” dan “da’if” .
Adanya hal-hal baru dari
kitab ini menimbulkan agenda baru juga dalam perbincangan ulama hadis
sesudahnya. Hal ini menjadi
semakin serius seiring dengan beragamnya penilaian dan komentar ulama terhadap
kitab ini.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba mengemukakan
beberapa pokok pembahasan yang berkaitan dengan kepribadian imam at-Tirmizi
yang dimulai dengan biografi dan rihlah ilmiyah beliau dalam mencari
serta mempelajari hadis. Kemudian disusul dengan pembahasan tentang karya
beliau kitab Jami’ at- Tirmizi untuk mengenal serta meneliti metode yang
dipakai dalam penyusunan dan penulisan kitab ini, serta beberapa hal lainnya
yang dianggap penting untuk dikemukakan.
A.
Biografi dan pengembaraan imam
at -Tirmizi dalam menuntut ilmu
1.
Nama lengkap imam Tirmizi
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Tsaurah
Bin Musa Bin ad-Dahaq as-Sulami at-Tirmiz[1].
Penisbahan namanya kepada as-Sulami merupakan nisbah
kepada satu kabilah yang dijadikan sebagai afiliasi beliau. Dan nisbah
ini merupakan sebuah nisbah kearaban. Akan tetapi, belum
ditemukan sumber secara pasti, apakah ia benar berasal
dari Arab atau tidak. Karena, sebagian dari penulis kontemporer mengatakan bahwa seluruh
pengarang kutub as-sittah adalah a’jami (bukan berasal dari
Arab). Sedangkan penisbahan namanya kepada Tirmizi, karena, ia
lahir dan berkembang di kota Tirmiz, yaitu kota yang terletak dibagian selatan
kota Iran sekarang[2].
Imam Tirmizi lahir pada
bulan zullhijjah tahun 209 H (824 M). Kakeknya dahulunya merupakan orang Mirwaz, kemudian
pindah ke Tirmiz dan menetap disana, lalu di kota inilah terlahirnya imam
at-Tirmizi. Sejak kecil ia sudah suka mempelajari
ilmu hadis dan melakukan perjalanan ke beberapa negri untuk mendapatkan ilmu.
Dalam perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa ulama besar ahli hadis
dan belajar hadis bersama mereka.
Imam Tirmizi lebih populer dengan nama Abu Isa. Bahkan
dalam kitab al-Jami’nya, ia selalu
memakai nama Abu Isa, meskipun
sebagian ulama sangat membenci sebutan tersebut dengan berargumen kepada sabda
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Syaibah bahwa “seorang pria
tidak diperkenankan memakai nama[3]
Abu Isa, karena, Isa tidak
punya ayah”. Namun, tetap saja ini tidak
berpengaruh, karena, hal ini
dimaksudkan untuk membedakan at-Tirmizi dengan ulama
yang lain, sebab ada beberapa
ulama besar yang juga terkenal dengan nama at-Tirmizi,[4]
yaitu:
a.
Abu Isa at-Tirmizi, pengarang
kitab al-Jami’ atau Sunan at-Tirmizi, tokoh yang
menjadi topik pembahasan
pada tulisan ini
b. Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang masyhur dengan
panggilan at-Tirmizi al-Kabir
c. Al-Hakim at-Tirmizi Abu Abdillah Muhammad
Ali bin al-Hasan bin Basyar, seorang yang berkepribadian zuhud, hafidz,
muazzin, juga
pengarang kitab yang biasa dikenal dengan sebutan
al-Hakim at-Tirmizi.
Pada akhir umurnya, imam Tirmizi
mengalami kebutaan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ia buta semenjak
lahirnya. Akan tetapi, pendapat ini
tidak begitu kuat. Berikut penjelasan dari ulama-ulama hadis yang berpendapat
bahwa imam Tirmizi lahir dalam keadaan melihat dengan beberapa alasan, antara
lain adalah:
a. Ulama ahli hadis meriwayatkan,
bahwa imam Tirmizi pernah mendatangi seorang ulama dengan tujuan meneliti beberapa hadis
yang diterimanya melalui perantara ulama. Ternyata hadis yang dihafalnya itu
tidak terdapat perbedaan sedikitpun. Dan akhirnya, imam Tirmizi menjadikan hadis
itu sebagai hujjah. Andai kata itu dalam kadaan buta, tentu ia hanya
akan meneliti hafalan-hafalannya tidak sampai pada tulisan.
b. Hafiz Ibn ‘Allaq (w. 325 H), ia
termasuk ulama yang mengetahui dari sumber pertama, bahwa imam Tirmizi lahir
dalam keadaan melihat,ia mengalami kebutaan hanya pada akhir hidupnya, karena
ia banyak menghafal, menulis dan menyelesaikan beberapa karangannya. Hal ini
menyebabkan imam Tirmizi sakit mata yang sulit untuk disembuhkan, dan akhirnya
mengalami kebutaan hingga wafatnya.
c. Ditemukan berita, bahwa imam
Tirmizi menghayati isi hadis yang tertulis dalam kitab Jami’-nya:
لو تعلمون ما اعلم لضحكتم و لبكيتم كثيرا. وقال أبو عيسى, هذا حديث
صحيح
“Kalau anda sekalian mengetahui apa yang saya
ketahui, pasti anda sedikit ketawa, dan anda pasti banyak menangis”.
Hadis
ini menunjukkan bahwa imam Tirmizi sering menangis yang menyebabkan ia
kehabisan air mata. Sehingga, sakit mata yang dideritannya sulit untuk
disembuhkan. Sebagaimana halnya bahwa imam Tirmizi adalah seorang yang zuhud
dan wara’. Di samping itu, ia juga seorang individu yang sugestible, mudah
hanyut perasaannya ketika tiap kali menyaksikan derita orang lain dan sering menangis ketika melihat keadaan orang lain tersebut.[5]
2.
Wafatnya imam Tirmizi
Pada
saat umurnya 70 tahun, sang Illahi memanggil imam Tirmizi, bertepatan pada tahun 279 H[6].
Imam As Syakir menyebutkan bahwa Imam Tirmizi
wafat pada bulan Rajab tanggal 13 tahun 279 H pada
malam Senin. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Hafiz Al-Mizzi dalam kitab at Tahzib dari Al-Hafizh
Abu Abbas Ja’far Muhammad Ibn Mu’taz Al-Mustaghfiri, sebagai ahli sejarah yang
telah melawat ke Khurasan dan lama menetap disana.
3.
Rihlah ilmiyah
imam Tirmizi
Kota
Tirmiz merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan dan membesarkan
ulama, baik itu ulama hadis, tasawuf dan bahasa Arab. Keadaan ini jugalah yang
mendukung imam Tirmizi berpacu semangat dalam mempelajari dan mengumpulkan
hadis. Walaupun, keadaan kota kelahirannya mendukung untuk mempelajari dan
meriwayatkan hadis, namun imam Tirmizi belum merasa puas dengan keadaan
tersebut. Maka, untuk memenuhi rasa kepuasan dirinya, ia melakukan
perjalanan kebeberapa negeri untuk belajar dari ulama hadis yang ada di negeri
tersebut. Dalam rihlahnya, imam Tirmizi melakukan perjalanan ke Bukhara, Khurasan,
Naysabur, Iraq, Hijaz, Makkah, dan beberapa negeri lainnya[7],
akan tetapi beliau tidak melakukan perjalanan ke Mesir dan Syam. Hal ini
disebabkan, karena keadaan yang tidak memungkin pada waktu itu, sehingga ia
meriwayatkan hadis dari ulama kedua negeri ini dengan perantaraan ulama lainnya[8].
Selain dua kota ini, imam Tirmizi juga tidak mendatangi kota Bagdag. Karena,
kemungkinan adanya situasi yang negatif di kota Bagdag ketika itu, sehingga ia
tidak dapat mendengar hadis secara langsung dari imam Ahmad Bin Hanbal[9]. Dalam pelawatannya,
imam Tirmizi selalu mencatat hadis dari ulama yang
ditemuinya.[10]
4.
Guru dan murid imam Tirmizi
Dalam pengembaraannya mencari hadis, imam Tirmizi banyak belajar
dari beberapa tokoh hadis terkemuka, baik itu ketika di negerinya sendiri,
maupun di negeri tempat pengembaraannya. Di antara guru
imam Tirmizi adalah Quthaibah Bin Sa’id, Mahmud Bin Ghilan, Muhammad Bin
Basyar, Ishaq Bin Musa, Sa’id Bin Nashar, Sa’id Bin Abd ar-Rahman, Ali Bin
Hajar, Abdullah Bin Muawiyah, Ahmad Bin Mani’, Muhammad Bin Mutsanna, Sufyan
Bin Waki’, Bukhary, Muslim, Abu daud, ad-Darimi, Abu Zur’ah [11], Ibnu Hajar, Ahmad ibn
Mani’, Muhammad ibn al-Mutsanna, Abu Mus’ab, Sufyan ibn Waki’,
al-Darimi,[12] dan lain-lain.
Di samping dia belajar dari para ahli tokoh hadis, dia juga mempunyai
beberapa murid yang banyak belajar dan meriwayatkan hadis darinya. Diantaranya adalah imam Bukhary,
Haitsam Bin Kulaib asy-Syasi, Makhul Bin Fadhl, Muhammad Bin Muhammad Bin
‘Anbar, Hamad Bin Syakir, Ahmad Bin Yusuf an-Nasafi, Abu Hamad, Abu Hamid Ahmad
Bin Abdillah Bin Daud al-Maruzi, Muhammad Bin Mahbub al-Mahbubi, Muhammad Bin
Munzir, dan lain-lain[13].
5.
Karya imam Tirmizi
Sebagai pecinta hadis, imam Tirmizi mencurahkan seluruh hidupnya
untuk menghimpun dan meneliti hadis. Kualitas ilmunya juga tercermin dari
banyaknya karya yang dihasilkannya terutama di bidang hadis yang dikukuhkan
dengan sejumlah karya yang menghimpun dan mengupas tentang pribadi Rasulullah Saw dari
berbagai sisi. Diantara karya tersebut adalah[14]:
1.
Kitab Jâmi’
at Tirmizi atau Sunan at Tirmizi
merupakan hasil karyanya yang sangat terkenal, sehingga ia dikenal dengan Shâhib
at-Tasnîf
2.
Asy-Syamâil an-Nabâwiyah
4.
At-Târikh
5.
Az-Zuhd
6.
Kitab at-Tafsir
7.
Kitab
al-Shamail al-Nabawiyah
8.
Al-Asmâ’ wa al-Kunâ
9.
Al-Jarh wa Al-Ta’dîl
10.
Al-Atsar al-Mauqūfah
Inilah beberapa karya imam Tirmizi
yang sering disebutkan pada beberapa kitab mu’tamad, mungkin masih ada
beberapa karyanya yang lain yang belum sampai kepada kita, atau kemungkinan
hilangnya sebagian dari karyanya seiring dengan ketiadaannya.
6.
Kekuatan hafalan imam Tirmizi
Dari segi keintelektualannya Imam Tirmizi diakui
para ulama keahliannya dalam hadis, keshalehan dan
ketakwaannya[16].
Ia juga dikenal sebagai
seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti
kekuatan hafalannya, seperti kisah
yang dikemukakan oleh Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib, dari
Ahmad Bin Abdullah Bin Abi Dawud bahwa “Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmizi
berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya
telah menuslis dua jilid buku berisi hadis-hadis yang berasal dari seorang
guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai
dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada pada saya.
Ternyata yang saya bawa bukanlah
dua jilid kitab tersebut,
melainkan dua jilid kitab lain yang mirip
dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk
mendengarkan hadis, dan ia
mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadis yang dihafalnya. Di
sela-sela pembacaan itu, ia mencuri
pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada
tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah
engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa
yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku
pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah
engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya
meminta lagi agar dia meriwayatkan hadis yang lain. Ia pun membacakan empat
puluh buah hadis yang tergolong hadis-hadis yang sulit atau gharib, lalu berkata:
‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi! Lalu aku
membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum
pernah melihat orang seperti engkau”[17].
B.
Kitab Jami’ at-Tarmizi
1.
Kitab Jami’
at-Tarmizi
Kitab Jami’ at
Tirmizi ini selesai disusun dan ditulis imam Tirmizi pada 10 Zulhijjah 270 H[18]. Ini merupakan karyanya yang
terkenal yang termasuk salah satu dari "Kutubus Sittah" dan ensiklopedia hadis terkenal. Kitab Al-Jami’ ini
lebih dikenal dengan nama Jami’ at-Tirmizi yang dinisbahkan
kepada namanya. Ulama menamakan kitab ini dengan al-jami’ karena mengandung
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan hukum dan selain hukum, seperti memuat hadis tentang siyar , adab (perilaku sosial),
tafsir (tasir Alquran), aqidah (keyakinan/keimanan), fitan, ahkam
(hukum dengan berbagai jenisnya), al-Asyrat wa al-Manaqib (biografi
Nabi dan para sahabat tertentu), al-fadlail (keutaman-keutamaan[19]. Di samping itu,
sebagian ulama juga menamakannya dengan nama Sunan at-Tirmizi karena
mengandung hadis-hadis hukum yang disusun berdasarkan bab-bab fiqhi[20].
Imam al
Hakim juga memberi title kitab ini dengan al-Jami’ al-Kabir, hanya Khatib al Baghdadi
yang menyebutnya dengan Shahih al-Tirmizi. Diantara nama-nama karya Tirmizi ini, Jami’ at-Tirmizi lah yang lebih popular[21].
Dalam penamaan kitab ini (Jami’ At-Tirmizi
atau Sunan At-Tirmizi) tidak dipermasalahkan oleh para ulama, tetapi
yang menjadi perselisihan adalah keika ada kata-kata shahih yang melekat
dengan nama kitab tersebut. Ibnu Kasir (W. 774 M) berpendapat pemberian nama
itu tidak tepat, sebab di dalam kitab al-Jami’ At-Tirmizi tidak hanya
memuat hadis-hadis shahih saja, akan tetapi juga memuat hadis hasan,
dha’if dan munkar,[22] meskipun imam Tirmizi menerangkan kelemahan
serta ke-mu’alalan hadis tersebut dan kemunkarannya.
Kitab ini ditahqiq oleh beberapa ulama kenamaan pada generasi
sekarang, seperti Ahmad Muhammad Syakir (Qadi Shar’i), Muhammad Fuad
Abdul Baqi (penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (dosen di
Unversitas Al-Azhar, Kairo), imam Albani dan lain-lain.
Ketika
imam Tirmizi selesai menyusun kitab ini, ia memperlihatkannya kepada para ulama,
dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah
selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semua meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada
Nabi yang selalu berbicara"[23].
2.
Metode dan sistematika
penulisan Sunan at Tirmizi/Jami’ at Tirmizi
Diantara metode
yang dilakukan imam Tirmizi dalam menyusun kitab ini adalah[24]:
1. Dia menyusun bukunya
berdasarkan kitab dan bab-bab fiqih, yang dimulai dengan kitab Thaharah
dan diakhiri dengan kitab ‘ilal, seperti Kitab 6 tentang Shaum Bab
1: tentang keutamaan bulan ramadhan, dan seterusnya[25]
2.
Dalam kitabnya terdapat hadis shahih, hasan
dan dha’if, dia juga menjelaskan derjat atau kualitas setiap
hadis. Dalam menjelaskan kualitas hadis, imam Tirmizi menerapkan empat
standarisasi dalam periwayatan hadis, yaitu:
a.
hadis-hadis
yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim
b.
hadis-hadis
yang shahih menurut standar Abu Dawud dan an-Nasa’i
c.
hadis-hadis
yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab
kelemahannya
d.
hadis-hadis
yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja keshahihannya
tidak sampai pada tingkat dha’if matruk[26].
3.
Imam Tirmizi melakukan peringkasan terhadap
sanad hadis, jika dalam satu bab terdapat beberapa hadis yang sama turuqnya
4.
Imam Tarmizi juga menyebutkan mazhab sahabat, tabi’in dan
fuqaha’
5.
Imam Tirmizi menyebutkan hadis-hadis yang
dianggap bertentangan secara zhahir (mukhtalif al hadis), dan
menjelaskan derjat hadis tersebut, serta penjelasan dari siapa hadis itu diriwayatkan.
6.
Mentakhrij
hadis yang menjadi amalan para fuqaha’, seperti Imam
Tirmizi pernah berkata: “ Semua hadis yang terdapat di dalam kitab ini
dapat diamalkan”. Oleh karena itu, sebagian besar
ulama menjadikannya sebagai pegangan, kecuali dua hadis, yaitu:
pertama:
حديث ابن عباس رضي الله عنه: أنّ النبي صلّى الله عليه وسلّم جمع بين
الظهر والعصر
والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر[27]
kedua:
أنّ النبي صلّى الله قال: إذا شرب الخمر فاجلدوه، فإن عاد فى الرابعة
فاقتلوه[28]
Hadis pertama tentang
“menjama’ sholat”, para ulama tidak sepakat untuk
meninggalkannya. Sebagian besar dari mereka berpendapat , menjama’ sholat tanpa
ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan”, hukumnya
boleh, asalkan tidak dijadikan sebuah kebiasaan. Pendapat ini dikemuakan oleh
Ibnu Sirin, Asy-Syihab, Ibnu Munzir, dan sebagian besar ulama fiqih dan hadis. Adapun
hadis kedua tentang “peminum khamar”, menurut
ijma’ ulama bahwa hadis ini
sudah mansukh[29].
7.
Imam tirmizi menutup karyanya ini dengan kitab ‘ilal.
1. Menjelaskan
tentang rawi dan cacat (jarh) yang terdapat pada pribadi mereka, seperti al kizbu, bid’ah, su’ al hifzhi,
ghoflah, dan lain-lain.
2. Dorongan untuk
menjelaskan aib rawi
3. Menjelaskan
sebagian rawi yang tidak dipakai oleh Ibnu al-Mubarak
4. Penjelasan
bahwa riwayat dari majruhin dibolehkan dengan syarat menjelaskan keadaan
rawi tersebut kepada pembaca.
5. Peringatan agar
tidak terlalu fokus dengan keshalihan rawi tanpa membahas kedhabitan
dan kekuatan hafalannya.
6. Menyebutkan
perbedaan imam-imam yang berpegang dengan hadis mursal, dan
penjelasannya bahwa hadis mursal dari rawi yang tsiqqah diterima.
Jadi, diketahui bahwa imam Tirmizi dalam Al-Jami’-nya tidak
hanya meriwayatkan hadits shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadis hasan,
da’if, garib dan mu’allal, akan tetapi imam Tirmizi menjelaskan
sebab lemahnya hadis tersebut. Di samping itu,
imam Tirmizi tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadis-hadis yang
diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqhi. Oleh
karena itu, ia meriwayatkan semua hadis yang memiliki nilai demikian, baik
jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih, hanya saja
ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadis
tersebut.
Hadis dha’if
dan munkar yang terdapat dalam kitab imam Tirmizi ini, pada umumnya menyangkut tentang fadhâil
al-a’mal. Persyaratan bagi hadis semacam ini lebih longgar dibanding dengan
persyaratan hadis yang berkaitan tentang halal
dan haram.
3.
Keistimewaan
kitab Jami’ at-Tirmizi
Imam Ibnu Atsir
mengatakan “ Kitab Tirmizi merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus
sisematikanya dan sedikit pengulangannya”[31].
Di dalam kitabnya banyak terdapat keterangan-keterangan penting yang tidak
ditemukan pada kitab lain. Seperti, pembahasan
mengenai mazhab-mazhab, cara beristidlal, dan penjelasan mengenai hadis shahih,
hasan dan gharib, dan tak lupa pula pembahasan tentang jarh
dan ta’dil, kemudian diakhir kitabnya juga ditutup dengan kitab ‘ilal[32].
Jadi, kitab ini sangat berfaedah besar bagi yang
mempelajarinya.
Di antara
keistimewaan lainnya adalah terdapatnya hadis tsulâtsî
( hanya tiga perawi). Sehingga, imam Tirmizi
meriwayatkan hadis yang tinggi (‘ali).
Di antara imam
Tirmizi dengan Nabi Saw hanya terdapat
tiga perawi. Seperti dalam
kitabnya terdapat satu buah hadis Tsulâtsî[33],
yaitu:
حدثنا إسماعيل
بن موسى قال حدثنا عمر بن شاكر عن أنس بن
مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم يأتي على
الناس زمان ألصابر منهم على دينه كالقابض
على الجمر. ( رواه الترمذي(
4. Isi kitab Jami’ at Tirmizi
Kitab Jami at Tirmizi ini memuat
berbagai permasalahan pokok, di antaranya yaitu: al-‘aqaid (akidah), al-riqaq
(budi luhur), adab (etika), al-Tafsir (tafsir al-Qur’an), al-tarikh
wa al-syiar (sejarah dan jihad Nabi saw), al-syama’il (tabi’at), al-fitan
(fitnah), dan al-manaqib wa al-masalib.
Kitab Jami’ at Tirmizi ini merangkup
beberapa kitab yang terbagi kedalam 2376 bab, kemudian ditambah dengan
penjelasan tentang ‘ilal, yang meliput sebanyak 3956 hadis.
Juz pertama :terbagi menjadi dua
bab, yaitu bab at-Thaharah dan bab as- Shalah, dari bab itu dibagi menjadi sub-sub bab.
Juz kedua :lanjutan bab shalah
sebagai lanjutan dari juz kesatu.
Abwab witir terdiri atas 22 bab dan 25 hadits.
Abwab
Al-Jumu’ah terdiri atas 29 bab dan 41 hadits
Bab
‘Idayn terdiri atas 9 bab dan 12 hadis
Bab
al-Safar terdiri atas 44 bab dan 72 hadits
Juz ketiga : Juz ini dibagi menjadi Sembilan kitab yang meliputi:
a.
Kitab
Zakat terdiri atas 38 bab dan 73 hadits
b.
Kitab
Shiyam terdiri atas 83 bab dan 126 hadits
c.
Kitab
Hajj terdapat 116 bab dan 15 hadits
d.
Kitab
Janazah terdiri 76 bab dan 144 hadits
e.
Kitab
Nikah terdiri atas 43 bab 65 hadits
f.
Kitab
Rada’ terdiri atas 19 bab dan 26 hadits
g.
Kitab
Thalaq dan Li’an terdiri atas 23 bab dan 30 hadits
h.
Kitab
Buyu’ terdiri atas 76 bab dan 104 hadits
i.
Kitab
al-Ahkam terdiri atas 42 bab dan 58 hadits
Juz keempat :
a.
Kitab
ad-Diyat terdiri dari 23 bab dan 36 hadits.
b.
Kitab
al-Hudud terdiri atas 30 bab dan 40 hadits.
c.
Kitab
as-Sa’id terdiri atas 7
bab dan 7 hadits.
d.
Kitab
az-zzaba’ih terdiri atas 1 bab dan 1 hadits.
e.
Kitab
al-Ahkam dan al-Wa’id terdiri atas 6 bab dan 10 hadits.
f.
Kitab
ad-Dahi, terdiri atas 24 bab dan 30 hadits.
g.
Kitab
as-Siyar, terdiri atas 48 bab dan 70 hadits.
h.
Kitab
fadhail al-Jihad, terdiri atas
26 bab dan 50 hadits.
i.
Kitab
al-Jihad, terdiri atas 39 bab dan 49 hadits.
j.
Kitab
al-libas, terdiri atas 45 bab dan 67 hadits.
k.
Kitab
at-Ath’imah,terdiri atas 48 bab dan72 hadits.
l.
Kitab
al-Asyribah, terdiri atas 21 bab dan 34 hadits.
m. Kitab Birr wa al-Shilah, terdiri atas 87 bab dan 138 hadits.
n.
Kitab
at-Thibb, terdiri atas 35 bab dan 33 hadits.
o.
Kitab
al-Fara’id, terdiri atas 23 bab dan 25 hadits.
p.
Kitab
al-Washaya, terdiri atas 7 bab dan 8 hadits.
q.
Kitab
al-Wala’ wa al Hibah, terdiri atas 7 dan 7 hadits
r.
Kitab
al-Fitan, terdiri atas 79 bab dan 111 hadits.
s.
Kitab
ar-Ru’ya, terdiri atas
10 bab dan 16 hadits.
t.
Kitab
as-Syahadat, terdiri atas 4 bab dan 7 hadits.
u.
Kitab
az-Zuhd, terdiri atas 64 bab dan 110 hadits.
v.
Kitab
Shifat al-Qiyamah, al-Raqa’iq dan al-Wara’ terdiri atas 60
bab dan 110 hadits
w. Kitab Shifat al-Jannah, terdiri atas 27 bab dan 45 hadits.
x.
Kitab
Shifat Jahannam terdiri atas 13 bab dan 21 hadits.
Juz kelima:
a.
Kitab Al-Iman, terdiri atas 18 bab dan 31 hadits.
b.
Kitab Al-Ilm,
terdiri atas 19 bab dan 31 hadits.
c.
Kitab Isti’dzan, terdiri atas 34 bab dan 43 hadits.
d.
Kitab Al-Adab, terdiri atas 75 bab dan 118 hadits.
e.
Kitab An-Nisa’, terdiri atas 7 bab dan 11 hadits.
f.
Kitab Fadla’il
al-Qur’an, terdiri atas 25
bab dan 41 hadits.
g.
Kitab
al-Qira’at, terdiri atas 13 bab dan 18 hadits.
h.
Kitab
Tafsir al-Qur’an, terdiri atas 95 bab dan 158 hadits.
i.
Kitab
ad-Da’wat, terdiri atas 133 bab dan 189 hadits.
j.
Kitab
al-Manaqib, terdiri atas 75 bab dan 113 hadits.
k.
Kitab
al-‘Ilal.
5.
Imam Tirmizi
dan hadis hasan
Sebelum munculnya imam Tirmizi, kualifikasi hadis hanya terbagi
menjadi dua, yaitu Hadis Shahih
dan Hadis Dha’if. Shahih adalah hadis yang antara lain
diriwayatkan oleh rawi yang kuat hafalannya (dhabith), dan wajib
diterima untuk diamalkan.
Sedangkan dha’if merupakan hadis yang antara lain diterima dari rawi yang
mempunyai daya ingat lemah, dan periwayatannya harus ditinggalkan. Di sini,
imam Tirmizi mempunyai pemikiran yang sangat brilian, ketika suatu hadis
diriwayatkan oleh rawi yang standar hafalannya di bawah rawi hadis
shahih, namun, masih unggul dibanding rawi hadis dha’if. Sehingga,
hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali’, namun lemahpun tidak`, maka,
beliau mengkategorikan periwayatan seperti ini kepada tingkat ‘hasan’.
Oleh karena itu, Imam Tirmizi lah orang yang pertama sekali membagi hadis
menjadi shahih, hasan, dan dhaif. Sebelum beliau, tidak
seorang ulamapun yang menyinggung tentang istilah hadis hasan[35]. Walaupun,
sebagian pendapat mengatakan bahwa istilah hadis hasan sudah ada dipakai
sebelum imam Tirmizi, namun ini hanya sebagian kecil saja[36]. Hal ini menjadi warisan fenomenal dalam ilmu
hadis yang ditinggalkan oleh imam Tirmizi.
a.
Makna perkataan imam Tirmizi ( حسن صحيح)
Dalam
kitabnya imam Tirmizi sering mengatakan hadis ini حسن
صحيح, Ibnu Hajar
mengatakan bahwa makna dari perkataan imam Tirmizi ini adalah[37]:
1.
Jika
hadis tersebut diriwayatkan oleh dua sanad atau lebih, maka hadis ini hasan
berdasarkan satu sanad dan shahih menurut riwayat lain.
2.
Jika
hanya terdapat satu sanad saja, maka hadis ini hasan menurut suatu kaum
dan shahih menurut kaum yang lain.
b.
Makna perkataan imam Tirmizi ( حسن غريب)
Dalam
kitabnya, imam Tirmizi juga sering mengatakan hadis ini حسن غريب. Adapun
maksud perkataan imam Tirmizi ini adalah: jika gharibnya itu terdapat
pada sanad dan matan, dan hanya terdapat satu jalur sanad saja, maka hadis ini
adalah hadis hasan lizatih ( حسن لذاته). Imam Tirmizi
mengatakan hal ini, karena dia mempunyai alasan yang kuat[38].
Adapun jika ghorib tersebut hanya terdapat pada sanad saja, dan terdapat
pada berbagai bentuk atau thuruq yang masyhur, kemudian
datang satu thariq
lagi yang tidak masyhur, maka hadis ini adalah hadis hasan.
c.
Makna perkataan imam Tirmizi ( حسن)
Jika
terdapat dalam kitab Tirmizi hadis ini adalah hadis hasan, maka maksud
hadis tersebut adalah hadis hasan li ghoirihi (حديث حسن لغيره),
artinya sanad hadis tersebut adalah dha’if, dan dikuatkan dengan thuruq
lain yang lebih kuat darinya, dan setelah
terpenuhinya syarat terangkatnya derjat hadis dhaif menjadi hasan li
ghoirihi.
6.
Pandangan dan kritik
ulama terhadap
pribadi imam Tirmizi
dan kitabnya
Di mata kritikus hadis, integritas pribadi dan
kapasitas intelektual imam Tirmizi tidak diragukan
lagi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pernyataan yang dikemukakan oleh para tokoh hadis, di antaranya:
a.
Tercatat, Bukhari, ulama besar hadis sekaligus guru Tirmizi sendiri
mengakui akan kadar ketsiqqahan dan keshahihan hadis dari
muridnya itu. Terbukti
dengan kesediaan Bukhari mentransfer dua unit hadis yang
diriwayatkan Tirmizi, hadis bermuatan
tafsir surat al-Hasyar ayat 5 dan hadis tentang larangan orang berhadas
besar menetap di masjid.
b.
Ibnu Hibban menerangkan bahwa at Tirmizi adalah
seorang penghimpun, penyampai sekaligus pengarang kitab shahih. Al-Khalili juga menyanjungnya
sebagai pribadi yang tsiqqah dan muttafaq
‘alaih (diakui kapasitasnya oleh Imam Bukhari dan Muslim).[39]
c.
Pujian juga keluar dari imam al-Hakim
Abu Ahmad kepada imam Tirmizi bahwa “sepeninggal Imam Bukhari, tidak ada ulama yang
menyamai ilmu, kewara’an dan kezuhudannya
di Khurasan kecuali Abu Isa at-Tirmizi”.
Selain beberapa pujian, penilaian lain juga
tertuju kepada imam Tirmizi. Seperti yang
dikemukakan oleh az Zahabi dalam Mizan
al-I’tidal bahwa “Tirmizi
adalah imam yang agak
toleran dalam menggolongkan hadis yang sahih atau hasan”. Kemudian Juga disusul
ungkapan dari Ibn Hazm bahwa “imam Tirmizi adalah imam yang majhul.
Mengenai masalah yang satu ini, ulama tidak
membesar-besarkannya. Karena, menurut mereka
hal ini wajar, mengingat
tempat domisili Ibn Hazm yaitu kota Andalusia yang
jauh dari para ulama hadis pada waktu itu.[40]
Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah
diberikan oleh imamTirmizi dalam
melestarikan hadis melalui kitabnya, pro dan kontra tetap mewarnai karyanya
tersebut. Di antaranya adalah Imam Syarafudin an-Nawawi dalam Taqrib
dan Jalaluddin al-Suyuti dalam al-Jami’ al-Saghir menempatkan kitab al-Jami’ pada urutan
kedua setelah Sunan Abu Daud dan sebelum Sunan an-Nasa’i.[41]
Imam Nawawi juga berkomentar seperti yang dikutip oleh as-Suyuti “Kitab
Sunan Tirmizi adalah kunci
untuk mengetahui hadis hasan. Sebab, kitab inilah yang membumikan
istilah tersebut.[42]
Al-Hafiz Ibn Asir (w.
524 H.) menyatakan bahwa kitab al-Jami’ ini adalah kitab shahih, juga
sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan
sedikit sekali hadis-hadis yang terulang.[43]
Pujian yang lebih menakjubkan diutarakan oleh
Abu Ismail al-Harawi (w. 581 H.), ia berpendapat
bahwa kitab at-Tirmizi ini lebih
banyak faedahnya dari pada
kitab Sahihain. Alasan imam al Harawi adalah bahwa hadis yang termuat dalam Jami’ at Tirmizi diterangkan
kualitasnya, begitu juga
dijelaskan sebab-sebab kelemahannya. Sehingga,
setiap orang, baik dari
kalangan fuqaha’, muhaddisin dan yang lainnya dapat lebih mudah
mengambil faidah dari kitab ini.[44]
Sementara
al-‘Allamah al-Syaikh Abd Aziz berkomentar bahwa kitab al-Jami’ adalah
kitab yang terbaik. Sebab, sistematika
penulisannya baik, sedikit
penyebutan hadis yang diulang, diterangkan mengenai mazhab fuqaha’
serta cara istidlal yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan
pula nama-nama perawi yang dilengkapapi dengan gelar
dan kuniyahnya.[45]
Senada dengan
ulama-ulama lainnya, Muhammad Ajjaj al-Khatib menilai kitab ini sebagai kitab
hadis yang banyak manfaat dan memiliki kekhususan yang tidak dipunyai oleh
kitab-kitab lainnya. Manfaatnya dirasakan terutama oleh para ulama hadis yang
meneliti keshahihan hadis, begitu juga untuk
mengungkapkan ‘illat hadis, istimbat hukum dan
mengetahui ketsiqqahan rawi yang
tertingal. Sedangkan, kekhususannya nampak pada
sistematikanya, serta penerapan istilah ulumul hadis yang masih bersifat
teoritis sebelumnya, yaitu penggunana
istilah baru “hasan shahih” dan “shahih
gharib”.[46]
Subhi al-Shalih memberikan penilaian terhadap kitab
ini dengan mengemukakan, bahwa siapa
yang ingin meluaskan wawasannya di bidang hadis, semestinya ia menelaah kitab Jami’
atTirmizi.
Kendati banyak pihak yang melayangkan pujian,
ada juga ulama yang mengarahkan kritikan terhadap kitab ini. Di antaranya
adalah Ibnu al-Jauzi. Setelah melakukan penelusuran mendalam, ia berkesimpulan
bahwa dalam kitab tersebut terdapat 30 hadis maudhu’. Namun, hal ini
dibantah keras oleh as-Suyuti,
sebagaimana dimaklumi bahwasanya Ibnu al-Jauzi terkenal dengan sangat mudahnya
(tasahhul) memvonis
bahwa sebuah hadis berstatus palsu.[47]
Faktor lain
yang mempengaruhi derajat kitab ini adalah terdapatnya hadis yang diriwayatkan oleh al-Mashlub dan
al-Kilbi yang keduanya dicurigai sebagai pemalsu hadis[48].
Sehingga, hal ini menyebabkan kitab Tirmizi berada dibawah kitab Sunan
Abu Daud.
Sebagai pertimbangan yang juga mampu
mempertahankan kedudukan kitab Jami at-Tirmizi’ dalam jajaran kutubus sittah antara lain:
a. Seleksi mutu
hadis yang dimuat telah
dikonsultasikan kepada ulama hadis di
wilayah Hijaz, Irak dan Khurasan.
b. Memuat jenis hadis bersanad
tsulasiyah walaupun dalam jumlah yang minim. Seperti, hadis riwayat
dari Ismail bin Musa dari Umar bin Shakir dari sahabat Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas.
c. Kelompok hadis
yang dianggap maudhu’ yang bermateri fadhȃil, ternyata
padanan matannya dapat dijumpai dalam koleksi Shahih Imam Muslim.
d. Sejauh hasil
pengamatan seksama, imam Tirmizi memperoleh
kepastian bahwa semua hadis koleksi al-Jami’ layak diamalkan (dijadikan
pedoman) ,kecuali dua hadis seperti
yang telah disebutkan di awal.[49]
7. Syarah kitab Jami’ at-Tirmizi
Salah satu bentuk perhatian ulama terhadap kitab Jami’
at-Tirmizi adalah banyaknya diantara tokoh-tokoh hadis yang melakukan pensyarahan
terhadap karyanya, di antaranya adalah[50]:
1.
‘Āridhah
al-Ahwazy fî Syrhi at-Tirmizi oleh Abu Bakar Muhammad Bin abdillah al-Asybily (
w. 534 H)
2.
Syarh
Zain ad-Dîn Abd ar-Rahman Bin Ahmad Bin Naqib Bin Rajab al-Hanbali (w. 795)
3.
‘Āl
Urf as Syazy ‘ala Jâmi’ at-Tirmizi oleh
Sirajuddin Umar Bin Ruslan Bin Mulqan (w. 804 H)
4.
Qūt
al Mughtazi ‘ala Jâmi’ at-Tirmizi oleh imam jalaluddin as-Syuyuti, dan
lain-lain.
Padang, 13 April 2014
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Padang, 13 April 2014
Arifin, Zainul.
Studi Kitab Hadis.
Surabaya: Al-Muna. 201.
Abbas, Hasim. Kodifikasi
Hadis dalam Kitab Mu’tabar. (Surabaya:
Bidang Penerbitan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. 2003.
Abdullah al-Hamid, Muhammad. Manahij al Muhaddisin. Dar ‘Ulumu as-Sunnah. 1999.
Abu Ruyyah, Mahmud. Adwa’ ‘ala as-Sunnah
al-Muhammadiyah.
Abu Syahbah, Muhammad Bin Muhammad. Kutubus
Sittah. Surabaya: Pustaka Progressif.
1993.
Abu Salim, Dalal Muhammad Sayyid. Manâhij
al Muhaddsîn min al Qarni as Sâlis al Hijry Hatta ‘Ashrinâ al Hâdhir.
Cairo: Jami’ah al Azhar. 2006.
Al-Khatib, Ajjaj. Usul
al-Hadis. Beirut: Darul
Fikr. 2006.
Al ‘Azhami, Muhammad
Mustafa. Metodologi
Kritik Hadis, terj. A. Yamin.
Bandung:
Pustaka Hidayah. 1996.
At Tirmizi, Abu ‘Isa. Al-Jami’ al-Shahih
al-Tirmidzi, Juz V Beirut: Dar al-Fikr. 1963.
Dzulmani.
Mengenal
Kitab-Kitab Hadis. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008.
Hamid, Sa’ad Bin Abdillah. Manâhij
al Muhaddsîn. Riyadh: Dar ‘Ulum as Sunnah. 1999.
Ismail, M. Syuhudi. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang. 1992
Mazid, Ali Abd Basit. Manâhij al
Muhaddisîn min al Qarni al Awwal al hijry Hatta ‘Ashrinâ al
Hâdhir. Cairo: Maktabah Jami’ah al Azhar. 2010.
Qism al Hadis wa Ulumuhu. Manâhij
al Muhaddisîn. Cairo: Jami’ah al Azhar. 2005.
Siba’i, Mushtafa. As Sunnah wa
Makânatuhâ fî at Tasyrî’ al Islâmy. Cairo: Dar as Salam. 2008.
Sutarmadi, Ahmad. Al Imam Al
Tirmizi Peranannya Dalam Pengembangan Hadits dan Fiqhi. Jakarta:
Perpusatakaan Nasional. 1998.
Thahan, Mahmud. Taisîr Mushtalah
al Hadîs. Cairo: Dar al Fikr.
[2] Sa’ad Bin
Abdillah Hamid, Manâhij al-Muhaddisîn. ( Riyadh: Dar Ulum as-Sunnah,
1999), h. 78
[3] al-Qari menjelaskan lebih detail bahwa yang
dilarang itu apabila nama asli, bukan kuniyah atau julukan.
[4] Suryadi. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Alquran dan Hadis (.Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 244.
[6] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Manâhij al-Muhaddsîn min al-Qarn al Tsâlis
al Hijri hatta ‘Asrinâ al hâdhir. ( Cairo: Jâmi’ah al Azhar, 2006), h. 73
[8] Ahmad
Sutarmadi, al-Imam al-Tirmizi Perananya dalam Pengembangan Hadis dan Fiqh.
( Jakarta: Perpusatkaan Nasional, 1998 ), h. 59
[9] ibid
[11] Sa’ad Bin
Abdillah Hamid, Op. Cit, h. 81. Lihat juga Dalal Muhammad Sayyid Abu
Salim, Op. Cit, h. 74
[12] Hasim Abbas, Kodifikasi
Hadis dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: Bidang Penerbitan Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel, 2003), hal. 70.
[13] Dalal Muhammad
Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 74
[14] Ali Abd
AlBasit Mazid, Manâhij al-Muhaddisîn
fî al-Qarn al-Awwal al-hijri Hatta ‘Asrinâ al-Hâdhir. ( Cairo:
Maktabah at-Taufiqiyah dan Maktabah al-Iman, 2010), h. 375
[15] Ibnu Nadim
mengatakan bahwa kitab ‘ilal yang dimaksud disini bukanlah ‘ilal yang ada
diakhir Jami’ Shahih karyanya.
[17] Muhammad
Muhammad Abu Syahbah, Kutubus Sittah [Terjemahan ]. ( Surabaya: Pustaka
Progresif, 1993), h. 83
[18] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik
Hadis, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 157.
[19] Dalal Muhammad
Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 76
[20] Ali Abd
AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 375
[22] Mahmud Abu
Ruyyah, A dwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 25, lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul al-Hadis, hal. 323.
[23] Muhammad
Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 87
[24] Ali Abd
AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 379
[25] Abu ‘Isa
at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi. ( Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), h. 171
[26]
Studi Kitab Hadis, (Yoyakarta: Teras, 2003), hal. 114
[27]
Abu ‘Isa al-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih al-Tirmizi, Juz V (Beirut: Dar
al-Fikr, 1963), hal. 323
[28]
Ibid
[29]
Muhammad Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 88
[30]
Ali Abd AlBasit Mazid, Op. Cit, h. 380-381
[31] Ibid
[32] Qism al-Hadis
wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 155
[33] Muhammad
Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit, h. 89
[34] Ahmad
Sutarmadi, Op. Cit, hal. 218-221
[35]
Qism al-Hadis wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 159
[36] Ibid,
h. 160
[37] Mahmud Thahan,
Taisîr Musthalah al Hadîs. ( Dar al Fikr), h. 38
[38] Dalal Muhammad
Sayyid Abu Salim, Op. Cit, h. 77
[41] Ibid
[44] Ibid
[50] Qism al-Hadis
wa Ulumuhu, Op. Cit, h. 162
0 komentar:
Posting Komentar