*Desri Nengsih*
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi Saw. dapat
diklasifikasikan dalam beberapa periode, yaitu
1 1.
Hadis pada masa Nabi Muhammad Saw
2 2.
Hadis pada masa sahabat
3. Hadis pada masa tabi’in
4 4. Hadis masa kodifikasi
Dalam pemabahasan kali ini penulis hanya akan memaparkan tiga poin
yang pertama saja, yang dalam hal ini penulis menyebutnya dengan “Hadis Masa
Pra Kodifikasi”. Adapun untuk poin nomor
empat akan dilanjutkan pada pembahasan berikutnya, karena poin yang nomor empat
ini juga terbagi ke dalam beberapa periode. Maka untuk lebih jelas dan lebih
rincinya, penulis juga akan memaparkannya secara tersendiri pada pembahasan
berikutnya.
1.
Hadis pada Masa Rasul Saw
Ketika kita membicarakan hadis pada masa Rasul berarti membicarakan
hadis pada masa awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung
dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadis. Rasul Saw. membina umatnya selama 23
tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya
hadis. Maka masa ini disebut dengan ‘ashr al-wahy wa al-takwȋn”, yaitu
masa wahyu dan pembentukan, karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan
masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya, sehingga keadaan ini sangat
menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama
ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan (aqwȃl), perbuatan (af’ȃl), dan penetapan (taqrȋr)-nya.
Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan
pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Maka Allah menurunkan al-Qur’an dan
mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak
dapat dipisah-pisahkan, dan apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah
Swt. Berfirman dalam surat an-Najm ayat 3 sampai 4:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya:”Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Sesungguhnya ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya”.
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua
perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan
para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif
berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia
maupun urusan akhirat, dan mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya.
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan
sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa
jahiliyah. Maka tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi
baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus, berkenaan dengan
hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal Islam, seperti yang dilakukan para
sahabat terhadap Rasulullah.
Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas
sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syari’at Allah yang hampir semua
perkataan dan prilakunya bermuara hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan
murni urusan duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi
terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka
memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majlis Nabi, sebagian tinggal beberapa
saat atau dalam waktu yang lama bersama Nabi, mendiskusikan dan menela’ah
secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika menyangkut kebenaran hadis
yang mereka terima, mereka langsung mengecek kebenarannya pada Nabi karena
beliau berada bersama, bergaul, dan bermu’amalah dengan mereka, sehingga jika
terjadi kesalahan penukilan, kekleiruan, pengucapan, atau kekurangpahaman
terhadap makna teks hadis, dapat dirujuk langsung kepada Nabi.
Ada beberapa cara yang dilakukan Rasul untuk menyampaikan hadis
kepada para sahabat, yaitu:
Pertama: melalui majlis
al’ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk
membina para jama’ah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk mengkonsentrasikan diri
untuk mengikuti kegiatan dan ajaran yang disampaikan Nabi.
Para sahabat begitu atunsias untuk tetap bisa megikuti kegiatan di
majlis ini, hal ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang di antara
mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khatab. Ia
sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari Bani Umaiyyah) untuk
memghadiri majlis ini ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata “kalau hari ini
aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku
melakukannya”. Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim
utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka dari
sini, seperti yang pernah dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris yang pernah tinggal
bersama Nabi selama dua puluh malam.
Kedua: dalam banyak
kesempatan Rasul Saw. juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu,
yang kemudian oleh sahabat tersebut disampaikannya kepada sahabat yang lain. Hal ini terkadang karena sahabat yang hadir
hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul sendiri, atau
secara kebetulan sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya
satu orang.
Ketiga: untuk hal-hal
sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan sosiologis,
terutama hal yang menyangkut hubungan suami istri, ia sampaikan melalui
istri-istrinya. Seperti kasus dalam hadis ketika Nabi menjelaskan kepada
tentang seorang wanita Anshor yang bertanya kepadanya tentang mandi bagi wanita
yang telah suci dari haidnya. Nabi dalam hal ini dibantu oleh Aisyah untuk
menjelaskan hal sensitif ini apalagi peristiwa ini berkenaan dengan kewanitaan.
Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di
atas, karena segan bertanya kepada Rasul, seringkali ditanyakan melalui
istri-istrinya.
Keempat:
cara lain yang dilakukan Nabi adalah melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futȗh Makkah (penaklukkan kota
Makkah).
Kelima: melaui
perbuatan yang langsung disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyȃhadah,
seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan mu’amalah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan
berita itu tersebar di kalangan umat Islam, seperti suatu ketika Nabi berjalan-jalan
di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan
(gandum), lalu Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan
ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda
......فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ
Artinya:”...tidak
termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Ahmad).
1.a. Perbedaan para sahabat dalam
menguasai hadis
Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan
hadisnya. Ada yang memiliki lebih banyak, dan ada juga yang lebih sedikit
sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal: pertama: perbedaan
mereka dalam hal kesempatan bersama Rasul. Kedua: perbedaan mereka dalam
hal kesanggupan bertanya kepada yang lain. Ketiga: perbedaan mereka
karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Mesjid Rasul.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak
menerima hadis dari Rasul Saw. dengan beberapa penyebabnya. Mereka antara lain:
a.
Para sahabat yang tergolong kelompok al-sȃbiqȗn al-awwalȗn (yang
mula-mula masuk Islam), seperti Abu bakar, ‘Umar bin Khatab, ‘Utsman bin
‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud,
dan lain-lain. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul karena lebih awal masuk
Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b.
Ummahȃt al-mukminȋn
(istri-istri Rasul Saw), seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi
lebih dekat dengan Rasul Saw dari pada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis
yang diterimanya banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan
suami istri.
c.
Para sahabat yang di samping selalu dekat dengan Rasul juga
menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, seperti ‘Abdullah bin al-’Ash
d.
Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul, akan tetapi banyak
bertanya kepada sahabat lainnya secara bersungguh-sungguh, seperti Abu
Hurairah.
e.
Para sahabat yang secara bersungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul
dan banyak bertanya kepada sahabat lain, serta dari sudut usia tergolong yang
hidup lebh lama dari wafatnya Rasul, seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin
malik, dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
1.b. Menghafal dan Menulis hadis
b.1. Menghafal hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan, al-Qur’an dan
hadis sebagai sumber ajaran islam. Terhadap al-Qur’an Rasul secara resmi
menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedangkan
terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara
resmi. Dalam hal ini Rasul bersabda:
.........عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ
كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ
وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ »
Artinya:”.......Dari Abi Sa’id al-Khudriy bahwasannya Rasulullah
Saw. bersabda” janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Qur’an, siapa
yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah menghapusnya, dan ceritakanlah
apa yang diterima dariku, ini tidaklah apa-apa. Siapa yang berdusta atas
namanku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di Neraka. (HR.
Muslim)
Maka segala hadis yang diterima sahabat dari Rasul diingatnya
secara bersungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman
Rasul untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para
sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan
menghafal merupakan budaya bangsa Arab
yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat dengan
hafalannya, seperti yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Nashr dalam kitabnya Tawfiq
al-‘Athar “Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan
daya ingat dan kemampuan menghafal, mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis,
sya’ir, dan lain-lain dengan baik, seakan mereka membaca dari sebuah buku”. Kedua,
Rasul banyak memberikan spirit melaui do’a-do’anya. Ketiga, seringkali
ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang mengahafal hadis dan
menyampaikannya kepada orang lain.
b. 2. menulis hadis
Dibalik larangan Rasul seperti pada hadis Abu Sa’id al-Khudri di
atas, ternyata juga ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan
dan melakukan penulis terhadap hadis dan memiliki catatan-catatannya, ialah:
1.
‘Abudullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang
menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul, sehingga diberinya nama al-Shahȋfah
al-Shadiqah.
2.
Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr al-Anshariy. Ia memiliki catatan hadis
dari Rasul tentang manasik haji. Catatannya ini dikenal dengan Shahȋfah
Jȃbir.
3.
Abu Hurairah. Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan al-Shahȋfah
al-Shahȋhah.
4.
Abu Syah (‘Umar bin Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia
meminta kepada Rasul dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika berkhutbah
pada peristiwa Fathu Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang
dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang laki-laki Bani
Laits. Rasul kemudian bersabada:
......فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ....
Artinya:”Rasul Saw. berkata “tuliskanlah
untuk Abi Syah.....”. (HR. Bukhariy).
1.c. Mempertemukan dua hadis yang bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi
kontradiksi, seperti pada hadis Abu Sa’id al-Khudriy dengan hadis tentang kisah
Abu Syah. Hal ini mengundang perhatian ulama untuk mencari penyelesaiannya. Di
antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya seperti jalan nȃsikh
dan mansȗkh, dan ada juga yang berusaha mengkompromikan keduanya,
sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, larangan Rasul Saw. menuliskan
hadis adalah khusus ketika al-Qur’an turun. Hal ini dikarenakan khawatirnya
brcampur antara naskah ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis, yang pada saat itu
al-Qur’an masih dalam proses penurunan. Imam al-Nawawiy dan al-Suyutiy juga memandang
bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang-orang yang kuat hafalannya,
sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang
yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya dibolehkan mencatatnya.
‘Ajjaj al-Khatib mencoba untuk menyimpulkan pendapat ulama di atas
dengan terbagi kepada empat kelompok:
Pertama: menurut sebagian
ulama bahwa hadis dari Abu Sa’id al-Khudriy ini bernilai mauqȗf,
karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut ‘Ajjal al-Khatib pendapat
ini tidak bisa diterima karena hadis Abu sa’id dan hadis-hadis yang semakna
dengannya adalah sahih.
Kedua: larangan
menulis hadis terjadi pada periode awal Islam. Hal ini karena adanya keterbatasan-keterbatasan.
Maka pada saat umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga yang menulis sudah
memungkinkan, panulisan hadis menjadi diperbolehkan.
Ketiga: larangan tersebut
pada dasarnya bagi orang-orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk membiasakan
diri melatih kekuatan hafalannya dengan menghilangkan ketergantungan kepada
penulisan. Sedangkan izin penulisan diberikan kepada orang-orang yang lemah
hafalannya, seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti ‘Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash.
Keempat:
larangan tersebut bersifat umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi
untuk orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang
tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya adalah
dibolehkan.
2.
Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat,
khususnya masa al-khulafȃ’ al-rȃsyidȗn (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Ali)
yang berlangsung sekitar tahun 11 H
sampai 40 H. Masa ini dikenal juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa ini para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan
al-Qur’an dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu
berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini
oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan dan
memperketat periwayatan (al-tastabbut wa al-iqlȃl min al-riwȃyah). Meskipun
perhatian mereka terpusat kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an , bukan
berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka terima ketika
Rasul masih hidup, namun mereka sangat berhati-hati dan mebatasi diri dalam
meriwayatkan hadis,
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para
sahabat disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, mereka
menyadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur’an yang juga harus tetap
terpelihara dari kekeliruan sebagaimana
halnya al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khusunya al-khulafȃ
al-rȃsyidȗn dan sahabat lain seperti al-Zubair, Ibn ‘Abbas, Abu ‘Ubaidah
berusaha memperketat periwayatannya dan menjaga hadis dengan hati-hati agar
tidak terjadi kesalahan dengan cara
tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang
mendalam.
Sikap hati-hati ini ditunjukkan oleh khalifah pertama yaitu Abu
Bakar seperti yang terlihat pada riwayat ibnu Syihab al-Zuhriy dari Qabishah
bin Zuayb bahwa seorang nenek bertanya
kepada Abu Bakar tentang bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan
bahwa hal tersebut tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis.
Tetapi al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar
kemudian meminta supaya al-Mughirah mengajukan saksi terlebih dahulu baru
kemudian hadisnya diterima. Saksi yang diajukan al-Mughirah bernama Muhammad
bin Maslamah. Haal ini dilakukan Abu Bakar agar berita yang disampaikan
benar-benar meyakinkan berasal dari Nabi. Adanya kebijakan Abu Bakar ini untuk
memperketat periwayatan hadis adalah dengan maksud agar hadis tidak
disalahgunakan oleh kaum munafik, dan untuk menghindari kesalahan dan kelalaian
sebagai akibat memperbanyak periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai
hadis yang mereka riwayatkan dari Nabi.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh khalifah berikutnya yaitu ‘Umar
bin Khatab, yang kadang-kadang meminta diajukan saksi jika ada orang yang
meriwayatkan hadis. Sikap tersebut juga diikuti oleh Utsman dan Ali. Seperti
halnya Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan
hadis.
Adanya sikap kehati-hatian para sahabat tersebut tidak berarti
bahwa selamanya mereka mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan
oleh dua orang atau lebih atau periwayatan hadis harus disertai dengan saksi
dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka sangat berhati-hati dan
kritis dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Tapi perlu dijelaskan di sini bahwa pada masa ini belum ada usaha
secara resmi untuk menghimpun hadis dalam satu kitab seperti halnya al-Qur’an.
hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka
(umat Islam) dalam mempelajari al-Qur’an. Di samping itu, para sahabat yang
banyak menerima hadis dari Rasulullah sudah tersebar keberbagai daerah
kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan mengumpulkan mereka secara
lengkap.
3.
Hadis pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in
tidak berbeda dengan yang dilakukan sahabat. Mereka, bagaimanapun mengikuti
jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang mereka
hadapi berbeda dengan persoalan pada masa sahabat. Pada masa ini al-Qur’an
sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis
oleh para sahabat, pada masa al-khulafȃ’ ar-rasyidȋn, khususnya masa
kekhalifahan ‘Utsman para sahabat ahli hadis sudah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan Islam, dan kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.
Ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah
kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand,
dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan wilayah kekuasaan Islam,
penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut semakin meningkat, sehingga
masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyȃr
al-riwȃyah), yaitu masa dimana hadis tidak hanya berpusat di Madinah saja
tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai
tokoh-tokohnya.
Kemudian, dengan sudah meluasnya daerah kekuasaan Islam, banyak
sahabat atau tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru
dikuasai, di samping banyak pula yang masih tinggal di Mekah dan Madinah. Para
sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan perbendaharaan hadis yang ada
pada mereka, sehingga hadis tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan
sentra-sentra hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw:
1.
Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Aisyah, Abu Hurairah,
Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudriy, dan lain-lain. tokoh dari kalangan tabi’in:
Sa’id bin Musayyib, ‘Urwah bin Zubair, Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, dan lain-lain.
2.
Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibnu ‘Abbas,
‘Abdullah bin Sa’id, dan lain-lain. dari kalangan tabi’in: Mujahid bin Jabir,
‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan lain-lain.
3.
Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah bin Mas’ud,
Sa’ad bin Abi Waqash, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in Masruq
bin al-Adja, Syuraikh bin al-Haris, dan lain-lain.
4.
Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazwan,
‘Imran bin Hushain, dan lain-lain. dari kalangan tabi’in: al-Hasan al-Basri,
Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
5.
Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu
Darda’, ‘Ubaidah bin Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Abu
Idris, Qabishah bin Zuaib, dan Makhul bin Abi Muslim.
6.
Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah ibn Amr bin
al-‘Ash, ‘Uqbah ibn ‘Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Yazid
bin Abi Hubayb, Abu Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.
Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in ini ada dalam bentuk
catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, di
samping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para
sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadispun yang tercecer atau terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa pasca sahabat besar ini muncul kekeliruan
periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan
tidak hanya menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (Marfȗ’),
tetapi hadis yang bersumber dari sahabat (mauqȗf), dan tabi’in (maqthȗ’),
bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk Islam yang mereka sadur
dari pernyataan Bani Israil atau suhuf mereka sebagai bahan komparasi
setelah mereka masuk Islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber
ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; pernyataan sahabat dinyatakan
sebagai hadis Nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.
Faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu
antara lain: pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia biasa lain
tidak terlepas dari kekeliruan. Kedua: terbatasnya penulisan dan
kodifikasi hadis. Ketiga: terjadinya periwayatan secara makna yang
dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’’in terbukti dengan adanya hadis
atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang berbeda.
Di samping kekeliruan di atas, pada masa ini sudah mulai banyaknya
bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis yang dimulai sejak masa Ali bin Abi
Thalib terus berlanjut dan semakin banyak, tidak menyangkut urusan politik
tetapi juga masalah lain. menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis
di atas, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu: pertama:
melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai hadis atau para periwayatnya. Kedua:
hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga:
melakukan penyaringan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
yang tsiqah. Keempat: mensyaratkan tidak adanya syȃdz yang
berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah.
Kelima: untuk mengindentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad
rijȃl al-hadȋts dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih
hidup.
Adapun pengaruh positif dari segala kejadian yang terjadi pada masa
tabi’in ini adalah lahirnya usaha dan rencana yang mendorong diadakannya kodifikasi
atau tadwȋn hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan
hadis-hadis Nabi Saw sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Marapalam, 14 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar