*Desri Nengsih*
Ulama hadis yang melakukan penelitian sanad tidak langsung menganggap bahwa hadis yang sudah shahȋh sanad-nya langsung dianggap shahȋh matan-nya. Namun, terlebih dahulu diteliti apakah matan-nya juga shahȋh, sebab bisa jadi sebuah hadis yang shahȋh sanad-nya tetapi belum tentu shahȋh juga matan-nya.
Buchari mengatakan bahwa dari syarat hadis shahȋh
sebenarnya dapat dinyatakan bahwa ada dua syarat yang terkait dengan ke-shahȋh-an
matan hadis, yaitu matan hadis tersebut terhindari dari syȃdz
dan ‘illat.[1]
Apabila matan hadis terhindar dari dua hal tersebut, maka baru
dinyatakan bahwa hadis tersebut shahȋh matan-nya. Misalnya, jika hadis
itu sudah shahȋh sanad-nya tapi ketika diteliti matan-nya
bertentangan dengan hadis lain yang juga shahȋh, maka hadis tersebut
dianggap syȃdz matan-nya dan bisa membuat hadis tersebut sebagai hadis dha’ȋf.
Ulama hadis cenderung mengatakan bahwa syȃdz
banyak terjadi pada matan hadis dan bukan pada sanad, karena syȃdz
ini akan diketahui jika matan hadis tersebut dibandingkan dengan hadis
lain, maka akan diketahui terjadinya idrȃj (redaksi hadis yang tidak
teratur).[2]
Kegiatan meneliti syȃdz dan ‘illat pada matan hadis juga
sulit, sama halnya dengan meneliti syȃdz dan ‘illat pada sanad.
Berkaitan dengan penelitian matan,
ulama hadis membuat undang-undang yang beragam. Di antaranya dalam kitab mu’ashir
(naqd al-matan) yang disimpulkan oleh al-Adlibi, yaitu:[3]
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur'an
2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat darinya
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah
4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi Saw.
Dari empat tolak ukur di atas, tiga di
antaranya lebih mengarah kepada makna hadis, sementara tolak ukur nomor empat
mengarah kepada redaksi hadis. Apabila terpenuhi syarat shahȋh matan hadis
di atas baru dianggap hadisnya sebagai shahȋh matan hadis.
Dari penjelasan ulama hadis dari kitab-kitab
yang mereka tulis, Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa langkah-langkah
metodologis kegiatan penelitian matan hadis sebagai berikut:[4]
1. Meneliti matan dengan meneliti kualitas sanad-nya
Sanad dan matan hadis memiliki kedudukan
yang sama pentingnya untuk diteliti dalam melihat kualitas status ke-hujjah-an
suatu hadis. Namun, dalam melakukan kegiatan penelitian para muhaddisin
mendahulukan penelitian terhadap sanad-nya, setelah itu baru dilakukan
penelitian terhadap matan hadis, karena penelitian matan akan
berguna jika sanad hadis-nya sudah jelas ada dan shahȋh. Jika sanad
hadisnya tidak ada dan tidak shahȋh, maka percuma untuk meneliti matan-nya.
2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna
Terjadinya perbedaan lafaz pada matan
hadis yang semakna karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan
secara makna (riwȃyah bi al-ma’na). Ulama hadis berpendapat terjadinya
perbedaan lafaz tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanad-nya
sama-sama shahȋh.[5]
Sebagai konsekwensi dari perbedaan lafaz pada matan
hadis yang semakna, maka diperlukan metode muqȃranah (perbandingan).
Metode ini tidak hanya ditujukan pada lafaz matan saja, tetapi juga pada
sanad. Dengan menggunakan metode ini akan dapat diketahui apakah
terjadinya perbedaan pada sanad dan matan hadis tersebut masih
dapat ditoleransi atau tidak, sehingga dari hasil penelitian yang telah
diupayakan itu lebih dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari
Rasulullah.[6]
Selain itu, dengan metode muqȃranah ini akan dapat diketahui kemungkinan
adanya ziyȃdah, idrȃj dan lain-lain yang dapat berpengaruh pada matan
yang bersangkutan, khusunya dalam ke-hujjah-annya.
3. Meneliti kandungan matan
Setelah meneliti susunan lafaz, langkah
selanjutnya adalah meneliti kandungan matan hadis. Dalam meneliti
kandungan matan, perlu diperhatikan dalil-dalil lain yang mempunyai
topik masalah yang sama. Untuk mengetahui ada atau tidaknya matan lain
yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan takhrȋj al-hadȋs bi
al-maudhȗ’. Apabila ternyata ada matan lain yang bertopik yang sama,
maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Dan jika sanad-nya
memenuhi syarat, maka dilakukanlah kegiatan muqȃranah kandungan matan
hadis tersebut. Jika kandungan matan yang dibandingkan ternyata sama,
maka dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap matan tersebut hampir
rampung, hanya tinggal memeriksa keterangan masing-masing matan dari
berbagai kitab syarh untuk mengetahui lebih jauh hal-hal yang
berhubungan dengan matan yang diteliti. Jika ternyata hasil penelitian
sejalan dengan dalil yang lebih kuat, maka dapatlah dikatakan bahwa penelitian
terhadap matan hadis tersebut telah berakhir. Namun, sebaliknya jika
didapati pertentangan dengan dalil yang lebih kuat, maka penelitian masih terus
berlanjut sampai ditemukan jawaban tentang hal tersebut.
Memperhatikan tahapan-tahapan penelitian di
atas, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan.
Jika matan yang diteliti ternyata shahȋh, maka dalam mengambil
kesimpulan dinyatakan bahwa hadis yang diteliti berkualitas shahȋh.
[1]Buchari, Kaedah Ke-shahȋh-an Matan Hadits, (Padang: Azka, 2004M), h.
211
[2]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991M), h. 135. Contoh hadis
yang terjadi idrȃj di dalamnya adalah: hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang berbunyi:
"اسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من
اللنار" Dalal Abu Salim menagatakan: kata-kata اسبغوا الوضوء adalah mudraj dari perkataan Abu Hurairah sebagaimana dijelaskan
dalam periwayatan Bukhariy. Lihat:Qism al-Hadȋs wa ‘Ulumuhu, Syubhȃh haula
al-Sunnah, (Cairo: Universitas al-Azhar, 2008M), h. 13.
[3] Shalȃh al-Dȋn bin Ahmad al-Adhlabiy,Al-Adlibiy, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind Ulamȃ’
al-Hadȋs al-Nabawiy (terj, Metodologi Kritik Matan Hadis), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 M), h. 238
[4]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian....., h. 121-122
[5]Shalȃh al-Dȋn bin Ahmad al-Adhlabiy, Op. Cit., .h. 254
[6]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian..., h. 134-135
0 komentar:
Posting Komentar