*Desri Nengsih*
Hadis Nabi Saw. terdiri dari dua unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka ke-shahȋh-an suatu hadis juga sangat tergantung kepada dua unsur pokok ini. Adapun yang dimaksud dengan sanad adalah sebagaimana dikatakan oleh imam al-Sayȗtiy sebagai berikut:
Hadis Nabi Saw. terdiri dari dua unsur pokok yaitu sanad dan matan, maka ke-shahȋh-an suatu hadis juga sangat tergantung kepada dua unsur pokok ini. Adapun yang dimaksud dengan sanad adalah sebagaimana dikatakan oleh imam al-Sayȗtiy sebagai berikut:
السند هو
الإخبار عن طريق المتن[1]
Artinya:”Sanad adalah pemberitahuan untuk menyampaikan
kepada matan”.
Maksudnya adalah rangkaian para periwayat atau
rentetan rawi-rawi yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Sedangkan matan adalah:
المتن هو ألفاظ
الحديث التي تتقوّم بها المعاني[2]
Artinya:”Matan adalah lafaz-lafaz hadis yang
mengandung makna”.
Maksudnya adalah materi atau isi dari hadis
yang berada di ujung sanad. Sanad dan matan hadis ini mempunyai kriteria tertentu, jika kriteria dari sanad dan matan ini sudah terpenuhi, maka suatu hadis dapat digolongkan kepada derjat hadis sahih.
Pada bagian pertama ini, penulis akan mencoba memaparkan kriteria dari bagian sanad hadis, untuk bagian yang kedua yaitu matan hadis akan di jelaskan pada pembahasan berikutnya.
Keberadaan suatu hadis yang tercantum dalam
berbagai kitab hadis ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanad-nya.
Imam al-Nawȃwiy berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa
bila sanad suatu hadis berkualitas shahȋh maka hadis tersebut
dapat diterima, dan apabila sanad-nya tidak shahȋh maka hadis
tersebut harus ditinggalkan.[3]
Dan ia juga menyatakan bahwa hubungan antara hadis dengan sanad-nya
ibarat hubungan antara hewan dengan kakinya.[4]
Maksud dari kaedah ke-shahȋh-an sanad
hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad
hadis yang berkualitas shahȋh.[5] Syuhudi
Ismail menyatakan bahwa segala syarat atau kriteria ke-shahȋh-an sanad
hadis tersebut ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Syarat atau
kriteria yang bersifat umum disebut dengan kaedah mayor, sedangkan yang
bersifat khusus atau rician dari kaedah mayor disebut dengan kaedah minor.[6]
Adapun unsur-unsur dari kaedah mayor[7]
ke-shahȋh-an sanad hadis adalah:
a. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali berasal dari
orang-orang yang tsiqoh.
b. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan ibadah
sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya.
c. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki
pengetahuan hadis.
d. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, dan
tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
e. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[8]
Dari kaedah mayor di atas, ulama memunculkan
kaedah minor sebagai berikut:
a. Sanad-nya bersambung
b. Seluruh periwayat dalam sanad hadis bersifat ‘adil
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d. Sanad hadis itu terhindar daru syudzȗdz
Kaedah di atas awalnya dikemukakan oleh Ibnu
al-Shalah, sebagaimana diungkapkan dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Shalah:
الحديث الصحيح:
فهو الحديث المسند الذى يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه
ولا يكون شاذا ولا معللا[10]
Artinya:”Hadis shahȋh adalah hadis yang bersambung
sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith sampai akhir
sanad, tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz), dan cacat (illat)”.
Kemudian al-Nawȃwiy menyetujui defenisi
tersebut dan meringkaskannya dengan rumusan
berikut yang diikuti oleh mayorits ulama hadis, yaitu:
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة[11]
Artinya:”Hadis yang bersambung sanad-nya diriwayatkan
oleh orang-orang yang adil dan dhabith serta tidak terdapat dalam hadis itu
kejanggalan (syudzudz)dan cacat (illat)”.
a. Sanad bersambung (اتصال السند)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung
adalah setiap periwayat dalam sanad hadis menerima dan mendengar riwayat
hadis secara langsung dari periwayat terdekat sebelumnya, dan keadaan ini
berlangsung dari awal sampai akhir sanad hadis tersebut.[12]
Kebersambungan sanad dalam ilmu hadis
diketahui dengan tahammul wa ada’, yaitu seseorang bertemu dan
mendengarkan hadis kemudian menyampaikan atau meriwayatkan hadis tersebut
kepada orang lain.[13]
Dalam aspek penerimaan (tahammul) hadis ulama tidak membatasi kriteria
tertentu bagi orang yang menerima hadis dari Rasulullah. Bahkan anak-anak atau
yang belum memasuki usia baligh dibolehkan untuk menerima hadis. Adapun dalam
menetapkan kesahan seorang periwayat hadis (ada’ al hadȋts), ulama
menetapkan beberapa syarat yang lebih ketat dari pada syarat orang yang
menerima hadis, yaitu periwayatan hadis hanya diterima dari seseorang yang
beragama Islam, baligh atau berakal serta dalam kondisi sadar dan paham
terhadap apa yang diucapkannya, kemudian seorang periwayat harus memiliki sifat
‘adil dan dhabith.[14]
Adapun tata-kerja penelitian yang ditempuh
ulama hadis untuk mengetahui bersambung atau tidaknya sanad suatu hadis
adalah:[15]
1. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti
2. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat;
a. Melalui kitab-kitab rijȃl al-hadȋs, seperti kitab Tahdzȋb al-Tahdzȋb
oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalȃniy, kitab al-Kasyȋf oleh imam al-Zahȃbiy, dan
lain-lain.
b. Dengan maksud untuk mengatahui: Pertama, apakah setiap periwayat
dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang ‘adil dan dhabith,
serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlȋs). Kedua,
apakah antara periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu
terdapat hubungan kezamanan pada masa hidupnya dan guru atau murid dalam
periwayatan hadis.
3. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan
periwayat terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang dipakai
berupa haddatsaniy, haddatsanȃ, akhbaranȃ, ‘an, anna, dan
beberapa sighat ada’ (penyampain) hadis lainnya.[16]
b.Periwayat bersifat ‘adil (عدالة الرواة)
Yang dimaksud dengan ‘adil dalam syarat
pembawa hadis adalah seorang rawi yang meriwayatkan hadis tersebut harus beragama
Islam, baligh, berakal, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah.
Dalam konteks ilmu hadis yang dimaksud dengan ‘ȃdil adalah:
من استقام دينه
وحسن خلقه وسلم من الفسق وخوارم المروءة[17]
Artinya:”orang yang konsisten dengan agamanya, baik budi
pekertinya, dan terhindar dari fasiq serta selamat dari kerusakan moral”.
Selain bermoral agama, seseorang
dituntut konsisten dengan ajaran agamanya, memelihara ketaqwaan, serta
berakhlak mulia, sehingga seorang ahli hadis selalu berbudi pekerti yang baik.
Nur al-Dȋn al-‘Itr menyimpulkan bahwa seorang periwayat dapat dikatakan ‘adil
apabila sudah memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu 1). Islam, 2). Baligh, 3).
Berakal, 4). Bertaqwa, yaitu menjauhi larangan Allah (dosa besar) dan tidak
terus menerus melakukan dosa kecil, 5). Berbudi pekerti yang baik.[18]
c. Periwayat bersifat dhabit (ضبط الرواة)
Syuhudi Ismail mengemukakan dengan mengutip
pendapat Ibnu Hajar bahwa dhabith adalah orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan
saja dia menghendakinya.[19]
Muhammad ‘Ajjȃj al-Khatȋb juga mengungkapkan
bahwa dhabit adalah:
الضبط هو تيقظ
الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه، وحفظه لذالك من وقت التحمل إلى وقت الأداء[20]
Artinya:”Dhabith adalah kemampuan daya tangkap yang
baik yang dimiliki oleh seorang perawi hadis ketika dia menerima hadis dan
memahami hadis yang didengarnya serta menghafalnya sejak dia menerima hadis
tersebut sampai dia menyampaikannya (menginformasikannya) kepada orang lain”.
Untuk mengetahui ke-dhabit-an seorang
perawi hadis, dapat dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:[21]
1. Berdasarkan kesaksian dan pengakuan terhadap ke-dhabit-annya dari
para ulama yang hidup sezaman dengan periwayat.
2. Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya.
Meskipun para ulama telah menetapkan beberapa
kriteria untuk penilaian ke-‘adalah’an dan ke-dhabit-an perawi,
namun terkadang tidak selalu pendapat dan penilaian tersebut sama di kalangan
ulama. Sebaliknya, terkadang terjadi perbedaan penilaian antara ulama terhadap
satu periwayat. Untuk itu dibutuhkan satu ilmu dalam memberikan penilaian
terhadap periwayat hadis yaitu ilmu al-jarh wa al-ta’dȋl.[22]
Sementara itu dhabit ini terbagi kepada dua macam,
yaitu:
1. Dhabith shadr, yaitu sebagaimana yang telah dijelaskan pada pengertian di atas.
2. Dhabith kitȃb, yaitu periwayat yang memahami dan memelihara dengan baik tulisan hadis
yang tertulis dalam kitab yang ada padanya. Dhabith kitȃb ini sangat
diperlukan bagi periwayat yang tatkala menerima atau menyampaikan riwayat hadis
melalui cara qirȃ’ah atau ijȃzah.[23]
d. Periwayat terhindar dari syȃdz ( لا يكون الراوي شاذا)
Terdapat berbagai pandangan dan pengertian
tentang syȃdz ini. Namun pada umumnya pandangan tersebut lebih banyak
mengacu kepada pandangan imam al-Syȃfi’iy yang mengatakan:
ليس الشاذ أن
يروى الثقة مالا يروى غيره إنما الشاذ أن يروي الثقة حديثا يخالف مارواه الناس[24]
Artinya:”Bukanlah syȃdz itu hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat yang tsiqqah yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya. Namun
yang dimaksud dengan syȃdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah
akan tetapi menyalahi periwayat yang lain yang juga tsiqah”.
Berdasarkan pengertian dari Imam al-Syȃfi’iy
di atas diketahui bahwa suatu hadis dikatakan syȃdz bukanlah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan tidak adanya periwayat
tsiqah lainnya yang meriwayatkannya seperti yang diutarakan oleh
al-Hȃkim.[25]
Namun hadis tersebut memiliki jalur sanad lebih dari satu, dan perawi
yang terdapat dalam berbagai jalur sanad tersebut sama-sama tsiqah,
serta matan atau sanad hadis tersebut tidak bertentangan.
Syuhudi Ismail mengatakan bahwa ke-syȃdz-an
sanad hadis baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai
berikut:[26]
1. Menghimpun dan membandingkan semua jalur sanad hadis yang matan-nya
mengandung pokok masalah yang sama.
2. Meneliti kualitas para perawi yang terdapat pada semua jalur sanad
3. Apabila semua perawi adalah tsiqah dan ternyata ada seorang perawi
yang menyalahi yang lain, maka dapat dikatakan bahwa sanad yang
menyalahi itu adalah sanad syȃdz dan yang lainnya disebut mahfȗzh
(terpelihara).
Jadi apabila terjadi pertentangan antara para periwayat
dengan periwayat lain yang sama-sama tsiqah, maka periwayat yang
sendirian “dikalahkan” oleh periwayat yang banyak. Periwayat yang banyak dalam
hal ini “dimenangkan” karena mereka dinilai lebih kuat dan lebih tsiqah
(awtsaq).[27]
e. Periwayat terhindar dari ‘illat (لا يكون الراوي معللا)
Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu
hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah bahwa ‘illat
adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis. Keberadaannya
menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas shahȋh menjadi
tidak shahȋh.[28]
Al-Sayȗtiy juga mengungkapkan bahwa ‘illat
adalah”
عبارة عن سبب غامض خفي قادح مع أنّ الظاهر
السلامة منه[29]
Artinya:”’Illat merupakan sebab tersembunyi yang menyebabkan
rusaknya hadis yang secara zahirnya terpelihara dari ‘illat itu”.
Dr.
‘Umar Muhammad Abdul Mun’im mengungkapkan dengan mengutip perkataan Ibnu Hajar
bahwa ‘Illat merupakan ilmu hadis yang paling rumit, dan tidak akan ada
yang bisa menguasainya kecuali orang-orang yang telah diberi pemahaman yang
luas oleh Allah Swt. dan banyak
menguasai sanad dan matan hadis Nabi Saw.[30] Kemudian
Dr. Umar Muhammad juga melanjutkan perkataannya bahwa untuk menegetahui ‘illat
hadis diperlukan instuisi (ilham), sehingga sebagian ulama menyatakan
orang yang mampu meneliti ‘illat hadis adalah orang-orang yang
cerdas dan banyak hafalan hadisnya serta
paham terhadap apa yang ia hafal.[31]
Untuk
mengetahui ‘illat pada hadis, penelitian biasanya didasarkan atas
beberapa bentuk ‘illat, yaitu:[32]
1. Sanad yang tampak muttashil lagi marfȗ’, ternyata setelah
diselidiki muttashil-nya adalah mursal shahȃbiy (terputus
pada tingkat sahabat).
2. Sanad hadis yang secara zahirnya tampak shahȋh, ternyata setelah
diselidiki terjadi di antara rawi hadis tersebut yang tidak dhabit (ada
di antara rawi tersebut yang wahm (keragu-raguan dalam hafalannya) atau
nisyȃn (lupa) yang disifati dengan ‘adil.
3. Terjadinya percampuran bagian matan hadis dengan bagian matan
hadis lainnya.
4. Terjadinya kesalahan dalam hal menyebutkan perawi karena ada di antara
perawinya memiliki nama yang sama atau mirip dengan perawi lain, sedangkan
kualitas ke-tsiqah-annya tidak sama.
[1]
Jalȃl al-Dȋn al-Sayȗtiy, Tadrȋb al-Rȃwȋ Syarh Taqrȋb
al-Nawȃwiy, (Beirut: Mu’assasah al Rayyȃn, 1426H/2005M), h. 10.
[3]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991M), h. 74
[4]Ibid
[5]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjaun
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005M), h. 119
[6] Ibid
[7]Dinamakan kaedah mayor karena ulama hadis dari kalangan mutaqaddimun
yakni ulama hadis sampai abad ke-3 Hijriyah belum memberikan pengertian yang
ekplisit tentang hadis shahȋh, mereka pada umumnya hanya memberikan
penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat dipegangi.
[9] Ibid, h. 126
[10] Abu ‘Amru ‘Usman bin ‘Abdirrahman, Muqaddimah Ibnu al-Shalah fȋ ‘Ulȗm
al-Hadȋs, (Beirut: Dȃr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006M), h. 18-19
[12]Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Wasȋth fȋ ‘Ulȗm wa Musthalah al-Hadȋts,
(Cairo: Maktabah al-Sunnah, 2006M), h. 233
[13]Muhammad ‘Ajjȃj al-Khatȋb, Ushȗl al-Hadȋs ‘Ulȗmuhu wa Musthalahuhu,
(Lebanon: Dar al-Fikr, 1989M), h. 227
[14]Ibid, h. 227-232
[15]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan......., h. 128
[16]Sighat ada’ dalam hadis ditentukan berdasarkan turuq
tahammul (cara-cara murid mendapatkan hadis tersebut dari gurunya), ada
beberapa cara seorang murid mendapatkan hadis dari gurunya, seperti al-simȃ,
al-munȃwalah, al-mukȃtabah, dan lain-lainnya. Setiap cara ini mempunyai sighat
ada’ ( lafaz penyampain) yang berbeda pula. Lihat: Mahmȗd Thahȃn, Taisȋr
Musthalah al-Hadȋs, (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirȃsȃt, 1405H), h.
124-129
[17] Muhammad ‘Ajjȃj al-Khatȋb, Ushȗl al-Hadȋts ‘Ulȗmuhu wa Mushthalahuhu, (Lebanon:
Dar al-Fikr, 1989M), , h. 305
[18]Nȗr al-Dȋn al-‘Itr, Manhaj al-Naqd fȋ ‘Ulȗm al-Hadȋs, ( Damaskus:
Dȃr al-Fikr, 1981H), h. 79
[19]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan......, h. 135
[20]Muhammad ‘Ajjȃj al-Khatȋb, Ushȗl al-Hadȋts....., h. 305
[21]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan......, h. 137
[22]Al-jarh merupakan sifat-sifat negatif atau cacat yang
tampak pada perawi hadis dan menyebabkan periwayatannya tertolak. Dan kritik
sanad yang diajukan dalam bentuk jarh ini tidak bisa diterima kecuali
menyebutkan sisi kekurangan atau cacat tersebut dengan jelas. Sedangkan al-ta’dȋl
adalah sebuah upaya pembelaan dengan cara mengungkapkan sisi baik dari perawi
sehingga periwayatannya dapat diterima. Dalam hal ini di antara ulama ada yang mutasyȃddid
(keras), ada juga yang mutawassith (pertengahan), dan ada juga yang mutasahhil
(terlalu mudah) dalam melakukan jarh dan ta’dȋl ini. bisa
jadi hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan di kalangan ulama dalam
memberikan penilaian terhadap seorang perawi hadis. Masing-masing dari jarh dan
ta’dȋl ini memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda yang menentukan
keotentikan terhadap suatu hadis.
[23]
Abu ‘Amru ‘Usman bin ‘Abdirrahman, Op.Cit., h. 18
[24]Jalȃl al-Dȋn Ismȃ’ȋl ‘Ajwah, al-Raid al-Hadȋs fȋ ‘Ulȗm Mushtalah
al-Hadȋs, (Cairo: Al-Azhar Press, tth), h. 167
[25]Hȃkim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Naisȃbȗriy, Ma’rifah ‘Ulȗm
al-Hadȋs, (Beirut: Dȃr Ihyȃ’ al-Ulȗm, 1998M), h. 183
[26]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan....., h. 144
[27]Ibid
[28]Abu ‘Amru ‘Usman bin ‘Abdirrahman, Op.Cit., h. 131
[29]Jalȃl al-Dȋn al-Sayȗtiy, Op.Cit., h. 210
[30]‘Umar Muhammad bin ‘Abdil Mun’im al-Farmȃwiy, Dirȃsȃt fȋ ‘ilmi ‘Ilal
al-Hadȋs, (Manshurah: Maktabah al-Ȋmȃn, 2009M), h. 45
[31]Ibid
[32]Hal ini penulis simpulkan dari beberapa sebab ‘illat yang terjadi
pada hadis yang ditulis oleh Dr. ‘Umar Muhammad ‘Abdul Mun’im dalam diktat mata
kuliah ilmu ‘Ilal al-hadȋs di universitas al-Azhar. Dalam buku ini dia
mengemukakan empat sebab terjadinya ‘illat, yaitu ‘illat yang
disebabkan oleh terputusnya sanad hadis, ‘illat yang disebabkan
oleh tidak dhabit-nya seorang perawi, ‘illat yang disebabkan oleh
tidak ‘adil-nya seorang rawi, dan ‘illat yang disebabkan oleh syȃdz
yang terdapat pada hadis. Dari keempat cabang ini penulis menyimpulkan empat
poin di atas.
0 komentar:
Posting Komentar