Untuk masalah yang bukan berhubungan dengan akidah,
para ulama sepakat bahwa hadis shahȋh dapat dijadikan sebagai sebagai
hujjah, walaupun periwayatannya bersifat ahȃd. Namun, untuk hal-hal
yang berhubungan dengan akidah yang dituntut untuk mempercayai dan meyakininya,
ternyata tidak semua hadis Rasulullah Saw. yang derjatnya shahȋh dapat
dijadikan hujjah.
Sebagian ulama dari kalangan Theologia[1],
dan sebagian ulama ushul[2]
mengatakan; bahwa akidah sebagai pondasi kebenaran ajaran Islam berlandaskan
kepada dalil-dalil pasti dan meyakinkan (qath’ȋ), dan hal ini terbatas
pada al-Qur'an dan hadis mutawȃtir saja.
Adapun hadis yang bernilai ahȃd tidak dapat dijadikan sebagai dalil
dalam masalah ini, sebab ia hanya memberikan pengertian yang sifatnya zhanniy
(dugaan yang kuat tentang sesuatu). Hal yang senada juga diungkapkan oleh
Mahmȗd Syaltȗt bahwa para ulama sepakat, sesungguhnya hadis ahȃd tidak
dapat memberikan faedah dalam masalah akidah dan tidak boleh dijadikan dasar
dalam masalah gaib.[3]
Pendapat yang dikemukakan di atas dinilai
berbahaya oleh Mustafa Ya’qub, sebab hal ini akan membawa kepada konsekwensi
gugurnya sebagian besar ajaran Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam.[4]Selanjutnya
ia memberikan klarifikasi bahwa para ulama khususnya muhaddisȋn tidak
pernah mengatakan bahwa hadis ahȃd tidak dapat dijadikan dalil dalam
masalah akidah, namun hadis shahȋh dan hasan sajalah yang dapat
dijadikan hujjah dalam masalah akidah, syari’ah, dan akhlak meskipun
hadis tersebut diriwayatkan secara ahȃd.[5]
Dengan demikian, yang menjadi sandaran bagi mereka adalah shahȋh atau
tidaknya hadis tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh imam al-Syȃfi’iy.[6] Namun,
untuk menunjukkan sikap kehati-hatian terhadap hadis ahȃd tersebut para
ulama juga menetapkan syarat-syarat tertentu untuk menerimanya seperti halnya
yang dilakukan oleh imam Malik dan imam Abu Hanifah,[7]
namun bukan berarti mereka menolak hadis tersebut.
Di samping itu, Mustafa Ya’qub juga menjelaskan
bahwa ada ayat-ayat yang dapat dijadikan
argumen untuk menggunakan hadis Ahȃd sebagai dalil dalam masalah akidah,
yaitu:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ
مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya:.Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang), mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
(at-Taubah:122).
Menurutnya kata “thȃ’ifah” yang berarti
satu atau dua orang menunjukkan bahwa kewajiban memperdalam pengetahuan agama (tafaqquh
fi al-dȋn) dan menyampaikan kepada orang lain (indzȃr) tidak mesti
dilakukan secara berombongan. Ini berarti ajaran dari Nabi Muhammad Saw. hanya
disampaikan kepada kita oleh satu atau dua orang saja, tetap sah dan
dibenarkan.[8]
Di samping itu, menurutnya zhann yang
terpuji dapat dijadikan landasan dalam masalah akidah, sebab al-Quran sendiri
sering menyebutkan hal-hal yang diyakini oleh umat Islam dengan istilah “zhan”,
seperti firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 46:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya:”(Yaitu) mereka yang yakin, bahwa
mereka akan menemui Tuhan-Nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Mustafa Ya’qub mengungkpakan bahwa dalam ayat di atas ungkapan “yazhunnȗn”
(mereka ber-zhann) berkaitan dengan masalah akidah, yakni bertemu dengan
Allah Swt. dan kembali kepada-Nya. Ini berarti bahwa zhann (dugaan yang
kuat tentang sesuatu) dapat dijadikan landasan dalam akidah. Karena itu, kata “yazhunnȗn”
yang secara semula berarti “mereka mengira” kini diterjemahkan menjadi mereka
meyakini.[9]
Di sisi lain fakta sejarah juga menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus para sahabat secara perorangan ke berbagai
daerah untuk mengajarkan agama Islam (tentunya termasuk permasalahan akidah).
Jika saja penjelasan agama tersebut harus disampaikan oleh sejumlah orang yang
mencapai kategori mutawȃtir, tentu masyarakat tersebut tidak menerima
dakwah yang mereka sampaikan.[10]
Bukan hanya itu, bahkan para sahabat sendiri pada waktu itu tidak pernah
mempermasalahkan jumlah orang yang menyampaikan berita dari Nabi Muhammad Saw.
kepada mereka, seperti halnya Rasul mengutus Abu Ubaidah ke Yaman untuk
mengajarkan agama Islam kepada mereka. Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitab Shahȋh-nya:
حَدَّثَنِى عَمْرٌو النَّاقِدُ
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - وَهُوَ ابْنُ سَلَمَةَ - عَنْ ثَابِتٍ
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فَقَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمْنَا السُّنَّةَ
وَالإِسْلاَمَ. قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِى عُبَيْدَةَ فَقَالَ « هَذَا أَمِينُ
هَذِهِ الأُمَّةِ[11]
Artinya:”............dari Anas bin Malik
berkata bahwasannya penduduk Yaman mendatangi Rasulullah Saw., lalu mereka
berkata”ya Rasulullah utuslah kepada kami seseorang yang akan mengajarkan
kepada kami sunnah dan Islam . lalu Rasul mengambil tangan Abu Ubaidah dan
berkata”ini adalah amȋn (kepercayaan) umat ini”.
Di
samping itu, Umar bin Khattab juga pernah mengatakan bahwa seorang sahabat
Anshar; apabila tidak bertemu dengan Rasulullah Saw., saya mendatanginya dengan
menyampaikan kabar dari Rasul Saw., dan jika saya yang tidak bisa hadir, maka
orang tersebut akan datang kepadaku membawa kabar dari Rasulullah Saw.[12]
Dengan demikian, peristiwa yang dilakukan para sahabat ini menunjukkan bahwa satu orang dari
kalangan mereka sudah cukup untuk menerima hadis yang disampaikan oleh satu
orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) maupun
amal-amal positif (al-af’ȃl).
Menyikapi ketidaksepakatan ulama mengenai ke-hujjah-an
hadis ahȃd dalam masalah akidah tersebut, menarik sekali untuk disimak
kehati-hatian ulama yang berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut.
Dalam hal ini, mereka membedakan antara hadis-hadis untuk masalah pokok akidah
(ushȗl al-‘aqȃ-id atau al-‘aqȃ’id al-asȃsiyah) dengan hadis-hadis
yang terkait dengan masalah cabang akidah (furȗ’ al-‘aqȃ’id atau al-‘aqȃid
al-far’iyyah).[13]
Berkenaan dengan masalah pokok-pokok keimanan
(akidah), seperti eksistensi (wujud) Allah, keesaan-Nya dan
sifat-sifat-Nya, keimanan kepada malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul,
takdir, kebangkitan setelah mati, dan pembalasan amal di akhirat, menurut ulama
hanya dapat ditetapkan dengan argumen logika yang jelas, nash al-Quran, serta
hadis-hadis yang bernilai mutȃwatir, baik secara lafzhiy (redaksional)
maupun maknawi.[14]Adapun
persoalan-persoalan akidah yang bukan merupakan pokok keimanan (akidah),
menurut ulama sebagaimana diungkapkan Abu Zahw boleh saja ditetapkan dengan
hadis ahȃd yang berkualitas shahȋh, yaitu tidak bertentangan dengan
al-Quran, hadis mutawȃtir, kesepakatan ulama (ijma’) dan logika
pikiran yang sehat. Di antara hal-hal yang dicontohkan ulama sebagai
masalah-masalah cabang akidah ialah; mensifati Allah dengan sifat-sifat yang
sempurna secara detail, menyebut Allah dengan nama-nama yang agung (al-asmȃ’
al-husnȃ), serta berbagai berita, mengenai persoalan-persoalan gaib seperti
azab dan nikmat kubur dan rincian kejadian-kejadian hari kiamat. [15]
Syaikh Rabȋ’ bin Hȃdȋ ‘Umair al-Madkhaliy
mengungkapkan bahwa dalil-dalil zhanniy yang kuat atau hadis ahȃd
yang shahȋh akan yang memfaedahkan ilmu dan terlebih lagi jika jalur jalur
sanad hadis tersebut banyak atau mengungkapkan persoalan-persoalan yang juga dinyatakan dalam al-Quran atau
sesuai dengan ijma’ ulama.[16]
Ibnu Hajar juga menambahkan bahwa hadis ahȃd itu memfaedahkan ilmu
apabila didukung oleh indikasi-indikasi (qarȋnah) lain, seperti,
diriwayatkan oleh imam al-Bukhȃriy dan imam Muslim atau diriwayatkan melalui
berbagai jalur yang terbukti terhindar dari masuknya para periwayat yang
berkualitas dha’ȋf, cacat, serta tidak mengandung pengertian yang gharȋb.[17]
Di samping beberapa hal di atas, juga ditemui adanya syubhat
(celaan) terhadap hadis ahȃd ini, yaitu mereka menerima penetapan
hadis ahȃd dalam masalah hukum dan tidak menerimanya dalam masalah
akidah.[18]
Maka, dalam hal ini di satu sisi mereka menerima tapi hanya untuk masalah hukum
dan di sisi lain menolaknya jika terkait dengan masalah akidah. Imam Al-Bȃniy
mengatakan; bahwa jika dilihat ke dalam sumber pen-syari’at-an Islam
tidak pernah ditemukannya perbedaan dalam hal ini, namun khabar ahȃd yang
berstatuskan shahȋh memfaedahkan ilmu yang qath’iy dan digunakan
dalam menetapkan masalah akidah dan hukum.[19
writer: Desri Nengsih
Marapalam, 30 Maret 2014
[1]Contohnya ulama Mu'tazilah dan ulama Muta’akhirȋn, seperti: Muhammad
Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim Usman dan lain-lain. Lihat
Yusuf al-Wabil, Op. Cit., h. 39
[2]Taqiy al-Dȋn Abȗ al-Baqȃ’ Muhammad bin Ahmad bin Abd al-‘Azȋz bin ‘Aliy
al-Futȗhiy lebih dikenal dengan Ibn al-Najjȃr, Syarh al-Kaukab al-Munȋr,
(Cairo: Maktabah ‘al-‘Ibkȃn, tth), juz. 2, h. 352.
[3]Mahmȗd Syaltȗt, al-Islȃm ‘Aqȋdah wa Syarȋ’ah, (Cairo: Dȃr al-Syurȗq,
2011M), h. 658-61
[4]Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995M), h.
133
[5]Ibid
[6]Muhammad Nȃshir al-Dȋn al-Albȃniy, al-Hadȋs Hujjah fȋ al-‘Aqȃ’id wa
al-Ahkȃm, Tȗnis: Dȃr al-Salafiyah, 1986M), h. 61. Lihat juga Yusuf
al-Wabil, Op. Cit., h. 40
[7]Dalȃl Muhammad Abȗ Sȃlim, Syibh al-Hadȋs wa ar-Rd ‘alaihȃ, (Cairo:
Maktabah al-Azhar, 2010M), h. 20-22. Seperti Imam Malik mensyaratkan jika hadis
tersebut tidak menyalahi ijma’ ahl al-Madȋnah. Seperti itu juga dengan
Abu Hanifah jika hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
beberapa persyaratan lainnya. Hal ini mereka lakukan adalah untuk menunjukkan
sikap kehati-hatian dan tidak untuk menolak hadis tersebut.
[8]Mustafa Ya’qub, Op. Cit., h.
135
[9]Ibid
[10]
Syuhudi Ismail, hadis Nabi......, h. 87-88
[11]Abu Husain Muslim bin al-Hajjȃj al-Qusyairiy al-Naisȃbȗriy, Op.Cit., h.
985. Kitab: Fadhȃ’il al-Shahȃbah, Bab: Fadhȃ’il Abu ‘Ubaidah bin
Jarrah, Hadis no. 2419
[13] Ushȗl al-Aqȃ’id atau al-‘Aqȃ’id
al-Asȃsiyah adalah akidah-akidah pokok yang disepakati dalam Islam yang
wajib dianutdan dibela setiap muslim. Sedangkan Furȗ’ al-‘Aqȃ’id atau al-‘Aqȃ’id
al-Far’iyyah adalah akidah-akidah cabang yang dipersilisihkan oleh sesama
teologi Islam. Akidah ini tidak wajib dianut dan juga tidak wajib ditolak.
Dengan kata lain, boleh saja dianut dan dibela, tetapi juga boleh ditolak dan
diserang. Lihat, Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam, (Padang:
IAIN IB Press, 2001M), h. 19
[14] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadȋs wa al-Muhaddisȗn ‘Inȃyah al-Ummah
al-Islȃmiyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo: Maktabah al-Taufȋqiyah,
tth), h. 212-214.
[15]Ibid
[16]Rabȋ’ bin Hȃdȋ ‘Umair al-Madkhaliy, Hujjiyah Khabar al-Ahȃd fȋ
al-‘Aqȃ’id wa al-Ahkȃm, (Cairo: Dȃr al-Minhȃj, 2005M), h. 152
[17]Muhammad Muhammad Abu Zahw, Op. Cit.
[19] Ibid, h. 67