*Desri Nengsih*
Haqȋqah (hakikat) dan majȃz merupakan salah
satu bentuk kaidah-kaidah tafsir yang mesti diketahui oleh seorang mufassir
dalam menafsirkan al Qur’an. Karena, dengan mengetahui haqȋqah dan majȃz
ini akan memberikan kemudahan bagi mufassir dalam memahami makna
kata yang ingin ia tafsirkan, dan akan menjauhi terjadinya penafsiran yang
keliru, rancu dan ketidaktepatan makna dan maksud sesuai dengan apa yang dituju
oleh ayat al-Qur’an.
A.
Haqȋqah
1. Makna Haqȋqah
Secara
etimologi, haqȋqah adalah sesuatu
yang pasti atau sesuai dengan kenyataan.
ثبت
[1] الحقيقة هي من حق الشيء، بمعنى
Adapun
secara terminologi: ulama Ushul mendefenisikan haqȋqah sebagai berikut:
الحقيقة هي اللفظ المستعمل فيما وضع له[2]
Yaitu: "lafaz yang
digunakan pada asal peletakannya”
Dan Syaikh Abu al Yasr al ‘Abidin mendefinisikan haqȋqah dengan:
إسم لكل لفظ أريد به ما وضع له، وهي إما لغوية، شرعية، عرفية
“ Haqȋqah
merupakan sebuah isim/nama bagi setiap lafaz yang dinginkan untuk arti yang
sebenarnya, yang mencakup tiga macam yaitu lughowiyah, syariyah, dan ‘urfiyah”[3].[4]
Jadi,
dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa haqȋqah adalah pengembalian atau penempatan makna sebuah kata sesuai
dengan maksud dan tujuan tertulis tanpa adanya pentahwilan atau
pemutaran makna dari makna asalnya.
Contoh kataأسد , maka secara hakikinya bermakna untuk
sejenis binatang buas, atau contoh lain seperti kata كرسي, menurut asalnya digunakan untuk tempat
yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata kursi sering di gunakan
untuk pengertian kekuasaan, namun tujuan semulanya bukan untuk itu, tetapi
adalah “tempat duduk”.
Adapun
adanya pembagian haqȋqah kepada tiga macam, yaitu: lughowiyah, syar’iyyah, ‘urfiyah
bertujuan agar kita membawa setiap makna lafaz pada makna haqȋqah dalam tempat yang semestinya sesuai dengan penggunaannya.
2.
Penyebab tidak berlakunya Haqȋqah
Pada
dasarnya, dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqȋqahnya dan tidak boleh berdalih kepada yang lain kecuali jika adanya qarinah.
Namun dalam beberapa hal, ada faktor-faktor yang menyebabkan tidak berlakunya haqȋqah, diantaranya:
a.
Adanya
petunjuk penggunaan secara “urf” atau kebiasaan dalam penggunaan lafaz.
Dalam
hal ini, haqȋqah lafaz ditinggalkan, maka yang dipegang adalah apa yang mudah
dipahami dari lafaz tersebut. Misalnya kata “Sholat” menurut haqȋqahnya, maknanya adalah do’a, tetapi karena sudah diketahui bahwa yang
dimaksud dengan sholat adalah suatu bentuk dari perbuatan ibadat, maka makna haqȋqahnya sebagai do’a tidak lagi digunakan.
Seperti firman Allah Swt:
……وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ لِذِكْرِي[5]
Pada
ayat di atas, makna sholat tidak lagi do’a, tetapi untuk ibadat tertentu yang dinamakan
dengan shalat.
b.
Adanya
petunjuk lafaz
Dalam hal
ini, lafaz memberikan petunjuk kepada sesuatu secara haqȋqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu. Contoh, jika seseorang
berkata “ Demi Allah saya tidak makan daging”, ternyata kemudian ia makan
daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar sumpah, karena pengertian
daging berlaku untuk seluruh macam daging secara haqȋqahnya, tetapi pengertian menurut haqȋqah disini menghendaki daging itu selain dari daging ikan dan
belalang.
c.
Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu bacaan.
Dalam
mengucapkan suatu bacaan ada aturannya, sehingga meskipun diungkapkan dengan
cara lain walaupun dalam bentuk haqȋqahnya, namun harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun
diluar haqȋqahnya.
Seperti
firman Allah Swt:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء
فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا….[6]
Artinya” Dan
katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka.
Secara
haqȋqahnya ungkapan
ayat ini memberikan pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk kafir, namun
karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim yang kafir, maka ayat ini
tidak dipahami secara haqȋqahnya, tetapi dengan arti lain yaitu “kaharusan” beriman dan tidak
ada pilihan.
d.
Adanya
petunjuk dari sifat
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu
yang menurut haqȋqahnya, namun dari sifat si pembicara
dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesuatu menurut apa yang di ucapkan
.
Seperti firman Allah SWT:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ….[7]
Artinya “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan ajakanmu…”
Meskipun pada ayat di atas mengandung
perintah, namun setiap orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena
tidak ada yang menyangkal bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir, jelaslah
disini yang dimaksud yaitu memberi kemungkinan[8].
Itulah beberapa hal yang menyebabkan tidak
berlakunya makna secara hakiki. Walaupun lafaz-lafaz itu pada haqȋqahnya harus dipahami apa adanya,
namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahaminya secara
hakiki.
B.
Majȃz
1.
Makna Majȃz
Majȃz secara etimologi bermakna:
المجاز
لغة : من الجواز الذي هو التعدي ، كما يقال جزت هذا الموضع أي جوزته وتعدّيته[9].
Yaitu:
Majȃz berasal dari kata al jawaz yang berarti melampui,
sebagaimana dikatakan juga “aku melampui tempat ini” artinya melewati atau
melampui.
Secara terminologi,
ulama memberikan defenisi yang beragam tentang majȃz, seperti:
a.
Menurut
al Syarkasyi:
المجاز هو إسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غير ما وضع له
“ Majȃz ialah nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk
digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan”.
b.
Menurut
Ibnu Qudamah
المجاز هو اللفظ المستعمل في غير موضوعه على وجه يصيح
“ Majȃz ialah lafaz yang digunakan
bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”.
c.
Menurut
al Subky
المجاز هو اللفظ المستعمل بوضع ثان لعلاقة
“ Majȃz ialah lafaz yang
digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
d.
Menurut
Wahbah Suhaily
المجاز هو استعمل اللفظ في غير المعنى الموضوع له[10]
“ Majȃz ialah lafaz yang dipakai
untuk arti lain yang bukan arti hakiki”.
Dari beberapa
defenisi di atas dapat dipahami bahwa majȃz merupakan suatu lafaz yang digunakan bukan untuk yang sebenarnya sebagaimana
yang dikehendaki oleh bahasa. Seperti kata أسد
digunakan untuk sebutan bagi
laki-laki yang pemberani.
a.
Majȃz di dalam kalimat (المجاز في التركيب), disebut juga dengan الإسناد مجاز
) Majȃz isnad),العقلي مجاز
(Majȃz aqli), yakni
ketika fi’il atau perbuatan atau yang manyerupainya disandarkan kepada
sesuatu yang bukan miliknya. Seperti firman Allah:
...وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ[12]
“…dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
Perbuatan “
menambah iman” merupakan perbuatan Allah disandarkan kepada dibacakannya ayat”.
يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ[13]
“…fir’aun menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup
anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Perbuatan “ menyembelih” yang dilakukan oleh pengikutnya
disandarkan kepada fir’aun.
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَّعَلِّي
أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ[14]
“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu”.
Perbuatan “membuat rumah” disandarkan kepada Hamman, padahal yang mengerjakannya adalah pekerjanya.
b. Majȃz di dalam kata ( مجاز في المفرد), disebut juga dengan Majȃz lughowy, yaitu menggunakan lafaz bukan pada makna asalnya yang pertama. Ini di bagi menjadi beberapa macam, yaitu[15]:
1. Menyebutkan isim juz’i atas kulli ((إطلاق إسم الجزء على الكل , tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Contoh:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ[16]
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah
disini menunjukkan keseluruhan zatnya.
2. Menyebutkan isim kulli atas juz’I
(إطلاق الكل على الجزئي) yaitu
yang dimaksud adalah sebagian saja, misal:
أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاء فِيهِ
ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصْابِعَهُمْ فِي آذَانِهِم مِّنَ
الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ واللّهُ مُحِيطٌ بِالْكافِرِينَ[17]
“atau
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan matiDan Allah meliputi
orang-orang yang kafir”.
Yakni hanya ujung-ujung jari saja,
bukan keseluruhannya.
3.
Menyebutkan isim khas atas a’m (إطلاق إسم الخاص على العام), yang bersifat khusus, tetapi yang dimaksud adalah ‘am.
Misalnya:
فَأْتِيا فِرْعَوْنَ فَقُولَا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ[18]
“Maka datanglah kamu berdua kepada Fir'aun dan
katakanlah olehmu: Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam”
Yakni
rasul-rasulnya.
4.
العام على الخاص إطلاق
yaitu bersifat umum, tetapi yang dimaksud adalah isim khas. Seperti:
وَآتُواْ الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُواْ الْخَبِيثَ
بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ
حُوبًا كَبِيرًا[19]
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya
tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
Yakni
mereka dahulunya yatim, dan setelah baligh mereka bukan yatim lagi.
5.
(تسميته
باسم ما يؤول إليه)
memahami sesuatu dengan mentakwilkannya. Seperti:
وَدَخَلَ
مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانَ قَالَ أَحَدُهُمَآ إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا
وَقَالَ الآخَرُ إِنِّي أَرَانِي أَحْمِلُ فَوْقَ رَأْسِي خُبْزًا تَأْكُلُ
الطَّيْرُ مِنْهُ نَبِّئْنَا بِتَأْوِيلِهِ إِنَّا نَرَاكَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ[20]
“Dan
bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda [754].
Berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi,
bahwa aku memeras anggur." Dan yang lainnya berkata: "Sesungguhnya
aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan
burung." Berikanlah kepada kami ta'birnya; sesungguhnya kami memandang
kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena'birkan mimpi”.
Yang dimaksud disini adalah anggur
yang maknanya ditakwilkan menjadi arak.
6.
(إسم الحال على المحال) suasana, tetapi yang dimaksud adalah
tempat terjadinya suasana itu.
وَأَمَّا
الَّذِينَ ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ[21]
“Adapun orang-orang yang putih
berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di
dalamnya”.
Yakni di surga
karena disanalah rahmat terjadi.
7.
الشيء باسم الته yaitu menamai sesuatu dengan
alatnya. Contoh:
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِن رَّسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ[22]
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun,
melainkan dengan lisan kaumnya”
Yakni
bahasa kaumnya.
8.
تسمية شيء باسم ضده menamai
sesuatu dengan antonym (lawannya)
فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ[23]
“maka gembirakanlah mereka bahwa mereka
akan menerima siksa yg pedih”.
Yakni “busyro” itu sebenarnya adalah untuk
berita yang membahagiakan.
9.
إضافة
الفعل إلى مالا يصح منه تشبيها yakni penisbatan suatu perbuatan kepada
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh karenanya merupakan.
فَوَجَدَا فِيهَا
جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ
عَلَيْهِ أَجْرًا[24]
“kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu.
Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk
itu".
Yakni Allah mensifati dinding dengan
sifat berkehendak , padahal itu adalah sifat makhluk hidup, karena menyerupakan
kemiringannya karena akan roboh dengan kehendaknya.
10. الفعل والمرد مشارفته وإرادتهتسمية yaitu
menyebutkan suatu pekerjaan yang sudah jadi , tetapi yang dimaksud adalah
proses menuju pekerjaan itu. Contoh:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ
مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ
وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا[25]
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Yakni
apabila hampir saja meninggalkan anak-anak yang lemah, maka harus takut kepada
Allah.
11. إقامة صيغة مقام أخرى menyebutkan sighat pada tempat sighat yang lain.
Ini terdiri dari beberapa macam seperti:
a. إطلاق الفاعل غلى المفعول
(Menyebutkan yang الفاعل,
tetapi yang dimaksud adalah المفعول).
b.
إطلاق
الفعيل بمعنى المفعول (menyebutkan yang الفعيل,
tetapi bermakna المفعول
)
Contoh:[27]
وَكَانَ الْكَافِرُ عَلَى
رَبِّهِ ظَهِيرًا
c. إطلاق المفرد على المثنى
(menyebutkan yang mufrad
untuk mutsanna).
Contoh:[28] وَاللّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَن يُرْضُوهُ
d. إطلاق المفرد على الجمع
(menyebutkan yang mufrad
untuk jama’).
e.
إطلاق
المثنى على المفرد (menyebutkan yang mutsanna untuk mufrad).
f.
إطلاق
الجمع على المفرد ( menyebutkan yang jama’ untuk mufrad)
Contoh: حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ, maksudnya adalah أرجعني
3. Kegunaan Majȃz
Adanya keberadaan majȃz dalam al Qur’an mempunyai beberapa faedah, diantaranya:
1. Al Ittisa’ fil Ma’na (memperluas makna). Keberadaan majȃz di dalam al Qur’an akan menunjukkan bahwa bahasa Arab itu mempunyai makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada satu makna saja. Oleh karena itu, ketika kalimat itu tidak bisa lagi dipahami dengan hakiki, maka akan berpindah pemahamannya terhadap majȃz. Sungguh dalam al Qur’an terdapat banyak sekali kata yang bisa dipahami secara majȃzi. Kemudian, jika seandainya suatu lafadz tidak dimajȃzkan, maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
2. At Taukid (menguatkan). Adanya majȃz akan dapat menguatkan makna dari sebuah kalimat yang terdapat dalam al Qur’an. Ia juga menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
3. At Tasybih (menyerupakan). Adanya majȃz ini, akan memperdalami makna yang muhkam dan mutasyabih.
Itulah betapa pentingnya seorang mufassir mengetahui makna gaya bahasa yang terdapat dalam al Qur’an. al Qur’an mengungkapkan salah satu kemukjizatannya melalui gaya bahasa yang dikandungnya. Dengan adanya gaya bahasa ini, semakin menggelitik hati para mufassir untuk memahaminya secara mendalam, agar tidak terjadinya kesalahpahaman dalam memahami kalam Allah Swt.
4. Perbedaan antara haqȋqah dan majȃz[31]
Sebuah lafaz tidak disifati sebagai haqȋqah atau majȃz kecuali setelah adanya penggunaannya dalam sebuah ungkapan. Jika digunakan dalam makna secara bahasa maka itu adalah haqȋqah lughowiyah, jika digunakan apa asal peletakannya secara syar’i, maka itu adalah haqȋqah syar’iyah, dan jika digunakan pada asal peletakannya secara ‘urf, maka itu adalah haqȋqah ‘urfiyah. Dan jika sebuah lafaz digunakan bukan pada asal peletakannya karena adanya qarinah tertentu atau ilaqah tertentu, maka itu adalah majȃz.
Diketahui makna sebuah lafaz secara hakiki dengan mendengar ungkapan dari para ahli bahasa (ahlu al lughoh), adapun majȃz diketahui jika ditemui adanya syarat sebuah majȃz atau qarinah yang menunjukkan pertanda majȃz.
5. Pandangan ulama terhadap keberadaan haqȋqah dan majȃz[32]
a. Keberadaan haqȋqah di dalam al Qur’an tidak diperselisihkan lagi
b. Sedangkan keberadaan majȃz dalam al Qur’an termasuk persoalan yang diperselisihkan di antara para ulama, seperti:
1. Mayoritas ulama mengakui keberadaan majȃz di dalam al Qur’an.
2. Sedangkan sekelommpok ulama, seperti al Zahiryyah, Ibnu al Qash (dari kalangan Syafi’iyyah), dan Ibnu Khuwais (dari kalangan Malikiyah) tidak mengakui keberadaan majȃz di dalam al Qur’an. Adapun alasan mereka, karena majȃz sangat berkaitan dengan kedustaan, padahal al Qur’an bersih dari dusta.
Disamping itu alasan mereka juga karena seorang pembicara tidak mungkin menggunakan majȃz, kecuali dalam keadaan terdesak, sedangkan hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah[33].
Dari beberapa pandangan ulama di atas, penulis tidak sepakat dengan kelompok yang menolak majȃz, karena, kalaulah ditiadakan majȃz di dalam al Qur’an, maka akan hilanglah separoh dari keindahan bahasa al Qur’an. Wallâhul Musta’ân wa Huwa ‘A’lam bi al -Shawâb..
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Ak, Khalid Abdurrahman. Ushul at Tafsir wa Qawa’iduhu. Damaskus:
Dar an Nafa’is. 1986.
Al Husni, Muhammad Bin Alawi al Maliki. Zubdah al Itqan fi Ulum al Qur’an.
terj. Rosihon Anwar, Mutiara Ilmu al Qur’an Itisari Kitab al Itqanfi
Ulum al Qur’an as Syuyuti. Bandung:
Pustaka Setia.
As Syuyuti, Jalal ad Din Abdurrahman. al Itqan fi Ulum al Qur’an. Saudi
Arabia: WAzarah syu’un al Islamiyah wal Awqaf wad Da’wah wal irsyad.
Al Mukhtar, Muhammad al Amin Bin Muhammad. Man’u Jawaz al Majȃz. Cairo:
Maktabah Ibnu Thaimiyah.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih-2. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu. 2001.
[1]
Khalid Abdurrahman A.K, Ushul at Tafsir wa Qawaiduhu. ( Damaskus: Dar an
Nukhais, 1986), h. 280
[2]
Ibid
[3]
Ibid
[4] Haqȋqah lughowiyyah adalah "Lafadz yang digunakan pada
asal peletakannya secara bahasa, Contohnya : sholat, maka sesungguhnya Haqȋqahnya
secara bahasa adalah do’a.. Haqȋqah syar'iyyah adalah : "Lafadz
yang digunakan pada asal peletakannya secara syar'I, Contohnya : sholat, maka
sesungguhnya Haqȋqahnya secara syar'i adalah perkataan dan perbuatan yang sudah
diketahui yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Haqȋqah
'urfiyyah adalah : "Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya
secara 'urf (adat/kebiasaan), Contohnya : Ad-Dabbah, maka sesungguhnya Haqȋqahnya
secara 'urf adalah hewan yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna
tersebut menurut perkataan ahli 'urf.
[5]
. Q. S .Thaha: 14
[6]
Al kahfi:29
[7]
Q.S al Isra : 4
[8]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih-2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. 2, h.
34
[9]
Khalid Abdurrahman A.K, Op. Cit, h. 280
[10]
Amir Syarifuddin, Op.Cit, h. 27
[11]
Khalid Abdurrahman A.K, Op. Cit, h. 282
[12]
Al Anfal: 2
[13]
Al Qashas: 4
[14]
Al Mukmin: 36
[15]
As Syuyuti, al Itqan fi Ulumil Qur’an, ( Saudi Arabiyah: Wazaroh Syuunil
Islamiyah wal Auqaf)
[16]
Ar Rahman: 27
[17]
Al Baqarah: 19
[18]
As Syu’ara: 16
[19]
An Nisa:2
[20]
Yusuf: 36
[21]
Ali Imran: 107
[22]
Ibrahim: 4
[23]
Ali Imran: 21
[24]
Al Kahfi: 77
[25]
An Nisa :7
[26]
Q.S . Hud:43
[27]
Q.S. al Furqan:55
[28]
Q.S. at Taubah: 62
[29]
Q.S. Al Ashr: 2
[30]
Q.S. Ar Rahman:22
[31]
Khalid Abdurrahman A.K, Op. Cit, h. 283
[32]
Muhammad al Amin Bin Muhammad al Mukhtar, Man’u Jawazil Majȃz. (Cairo:
Maktabah Ibnu Taimiyah), h. 7
[33]
Muhammad Bin Alawi al Maliki al Husni, Zubdah al Itqan fi Ulum al Qur’an,
terj. Rosihon Anwar, Mutiara Ilmu-ilmu al Qur’an intisari kitab al
Itqan fi Ulum al Qur’an as Suyuti, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 253.