.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Minggu, 23 Maret 2014

MAKKIYAH DAN MADANIYAH DALAM AL-QUR'AN

*Desri Nengsih* 


Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur dalam jangka waktu selama 23 tahun. Sebagian dari ayat al-Qur’an tersebut ada yang turun di Mekkah dan ada yang turun di Madinah, ada yang turun pada waktu musim panas, dan ada yang turun pada waktu musim dingin, ada yang turun ketika dalam perjalanan, dan ada yang turun pada waktu malam hari maupun siang hari. Hal ini menjadi perhatian khusus para ulama dan ahli tafsir untuk meneliti dengan cermat tempat turunnya al-Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu ataupun sebab turunnya.

Perhatian ini merupakan sebuah gambaran tentang besarnya keantusiasan para ulama terhadap al-Qur’an, sehingga dengan hasil dari kesungguhan mereka, kita dapat mengetahui ayat-ayat yang Makkiyah dan Madaniyah dan seluruh pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu ini yang merupakan salah satu cabang dari ilmu-ilmu al-Qur’an. Sebagaimana halnya para sahabat juga mencurahkan perhatian dan memperlihatkan keantusiasan mereka terhadap al-Qur’an khususnya berkaitan dengan ilmu ini, Ibnu Mas’ud berkata: 
.....قال عبد الله بن مسعود: والله الذي لا إلهَ غيْرُهُ ماأنزلت سورة من كتاب الله إلا أنا أعلمُ أين أنزلت , ولا أنزلت أية من كتاب الله إلا أنا أعلمُ فِيْمَ أنزلت , ولو أعلمُ أَحَدًا أعلمَ منِّي بكتاب الله تُبَلِّغُهُ الإِبلُ لَرَكِبْتُ إليه.[1]

Artinya:”Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, setiap surat al -Qur’an aku tahu dimana surat itu diturunkan, dan tiada satu ayat pun dari kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan, sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu dari padaku mengenai kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku pasti aku pacu untaku untuk bertemu dengannya”.

Dan Abu al-Qâsim al-Hasan bin Muhammad bin Habîb al-Naisabûry dalam kitabnya Al-Tanbîh ‘ala Fadhl ‘Ulum al-Qur’an mengatakan:“Di antara ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul al-Qur’an dan tempat turunnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah tetapi masuk dalam kategori Madaniyah dan diturunkan di Madinah tetapi masuk dalam kategori Makkiyah…[2].

Ilmu Makkiyah dan Madaniyah ini merupakan sebuah ilmu yang sangat penting sekali dikuasai oleh seorang mufassir karena akan sangat membantu mereka dalam menafsirkan al-Qur’an secara benar. Di samping itu juga akan membantu seorang da’i dalam menempuh jalan dakwah yang sebenarnya.

A.  Pengertian Makkiyah dan Madaniyah

Ada beberapa defenisi tentang Makkiyah dan Madaniyah yang dikemukakan oleh ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria yang mereka gunakan dalam menetapkan Makkiyah atau Madaniyahnya sebuah ayat atau surat.

Maka dalam hal ini ada tiga pendapat yang dikemukan oleh ulama, yaitu[3]:

1.    Berdasarkan tempat turunnya suatu ayat

Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya seperti ayat yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. di Mina, ‘Arafah, Hudaibiyah dan sekitarnya, sedangkan Madaniyah ialah yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti ayat yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. di Badar, Uhud dan ain-lain.

Berdasarkan pengertian diatas dipahami bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Mekkah dan sekitarnya, dan Madaniyah yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya. Namun sebagian dari ayat al-Qur’an tidak hanya turun di Mekkah dan sekitarnya dan  tidak pula di Madinah dan sekitarnya, seperti surat at-Taubah ayat 42:

 وْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لاَّتَّبَعُوكَ…..إلخ

dan surat az-zukhruf ayat 45:

 وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

Kedua ayat diatas tidak diturunkan di Mekkah dan sekitarnya dan tidak pula di Madinah, menurut Ibnu Katsir bahwa surat at-Taubah ayat 42 diturunkan di Tabuk[4], dan surat az-Zukhruf ayat 45 diturunkan di Baitul Maqdis pada malam Isra’[5], sehingga ayat ini tidak dinamakan Makkiyah dan tidak juga Madaniyah. Maka pendapat yang pertama ini menyebabkan tidak adanya pembagian yang konkrit secara mendua terhadap ayat-ayat al-Qur’an.

2.    Berdasarkan khitab\seruan dari ayat tersebut

Makkiyah ialah ayat-ayat al-Qur’an yang berisi seruan atau khitab terhadap penduduk Makkah, dan Madaniyah berisi tentang  khitab yang ditujukan terhadap penduduk Madinah.

Berdasarkan pengertian ini, para ulama menyimpulkan bahwa setiap ayat atau surat dalam al-Qur’an yang dimulai dengan redaksi يأيّها الناس  (wahai sekalian manusia) dikategorikan sebagai Makkiyah, karena pada waktu itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan lafaz يأيّها الذين أمنوا (wahai orang-orang yang beriman) dikategorikan Madaniyah, karena pada waktu itu benih-benih keimanan sudah tumbuh atau sudah terbentuk di dada penduduk Madinah.

Jika berpegang pada defenisi yang nomor dua ini, akan ditemukan dua permasalahan ketika membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an yaitu:

Pertama: Kebanyakan surat al-Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan diatas, misalnya surat al-Ahzab dibuka dengan lafaz:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا  حَكِيمًا

contoh lain misalnya surat al-Munafiqun yang dimulai dengan lafaz:

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

 

Berdasarkan redaksi dua ayat diatas, maka keduanya tidak termasuk Makkiyah dan tidak pula Madaniyah, karena keduanya turun bukan dengan lafaz يأيّها الناس   dan tidak pula يأيّها الذين أمنوا, kalau begitu ayat yang turun selain dari redaksi tersebut mau dimasukkan kepada golongan mana???, maka melalui defenisi ini ditemukan tidak adanya kekonsistenan dalam menetapkan ayat-ayat al Qur’an.

             Kedua: Tidak semua ayat atau surat yang terdapat didalamnya redaksi يأيّها الناس  meski Makkiyah dan tidak juga semua surat atau ayat yang terdapat dalamnya redaksi  يأيّها الذين أمنواmeski Madaniyah, misal surat al-Baqarah yang termasuk Madaniyah, namun sebagian dari redaksi ayatnya terdapat lafaz:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[6]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ[7]

Dan surat an-Nisa’ juga termasuk Madaniyah, tetapi permulaan ayatnya dimulai dengan يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ . Kemudian surat al-Haj termasuk kedalam golongan surat Makkiyah, tetapi didalamnya juga terdapat lafaz:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[8]

Menurut imam ar-Razy didalam tafsirnya “al-Qur’an adalah seruan Illahi terhadap semua makhluk, ia dapat saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintahkan untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten dan menambah ibadahnya[9].

3.    Berdasarkan waktu turunnya

            Makkiyah ialah ayat al-Qur’an yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad Saw. ke Madinah sekalipun ayat tersebut turun di luar kota Mekkah, sedangkan Madaniyah adalah ayat al-Qur’an yang turun setelah Nabi hijrah ke Madinah meskipun ayat tersebut turun bukan di kota Madinah.

            Jadi, berdasarkan pengertian ini walaupun ayat al-Qur’an turun di Mekkah atau Arafah setelah hijrah termasuk kedalam golongan Madaniyah, seperti ayat yang diturunkan pada tahun penaklukkan kota Mekkah, seperti firman Allah:

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا….[10]

Ayat ini diturunkan di Mekkah dalam ka’bah pada tahun penaklukkan kota Mekkah, atau ayat yang turun pada waktu haji Wada’ seperti firman Allah:

….الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا….[11]

Ayat ini turun pada hari jum’at di Arafah pada waktu haji Wada’, dan beberapa surat lainnya seperti awal surat al-Anfal yang turun di Badar, sedangkan surat ini menurut pendapat yang masyhur adalah Madaniyah.

Dibanding dengan dua pendapat sebelumnya, tampaknya pendapat yang ketiga ini lebih rajih karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten serta memenuhi unsur penyusunan ta’rif atau definisi[12]

B.  Pengklasifikasian Ayat-Ayat Dan Surat-Surat al Qur’an

             Pada umumnya, para ulama membagi surat-surat al-Qur’an itu menjadi dua kelompok yaitu Makkiyah dan Madaniyah, namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah masing-masing kelompok tersebut. Menurut Abu Bakr bin Hashâr jumlah surat-surat Madaniyah yang disepakati oleh ulama berjumlah sekitar 20 surat yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-Ma’idah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, al-Hadid, al-Mujadalah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Jumu’ah, al-Munafiqun, at-Thalaq, at-Tahrim, an-Nasr[13].

Sedangkan yang diperselisihkan berjumlah sekitar 12 surat yaitu al-Fatihah, ar-Ra’du, ar-Rahman, as-Shaf, at-Thaghabun, at-Tatfif, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nash. Para ulama berbeda pendapat tentang keadaan surat-surat ini, apakah dia Makkiyah atau Madaniyah[14]. Selain surat-surat yang disebutkan diatas adalah Makkiyah yaitu berjumlah sekitar 82 surat. Maka jumlah surat al-Qur’an keseluruhannya adalah 114 surat[15].

            Adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan jumlah masing-masing disebabkan karena adanya sebagian surat dari al-Qur’an yang tergolong Makkiyah atau Madaniyah, tetapi didalamnya berisi ayat yang lain statusnya, karena itu Imam Abu Syahbah membagi surat-surat dalam al-Qur’an menjadi empat macam[16], yaitu:

1.      Surat-surat Makkiyah murni ( مكي خالص ) yaitu surat-surat Makkiyah yang seluruh ayatnya juga berstatus Makkiyah semua, tidak satu pun yang Madaniyah.

2.      Surat-surat Madaniyah murni ( مدني خالص) yaitu surat-surat Madaniyah yang seluruh ayatnya juga berstatus Madaniyah semua dan tak satu pun yang Makkiyah.

3.      Surat-surat Makkiyah yang berisi ayat-ayat Madaniyah (مكي بعضه مدني), yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayatnya adalah Makkiyah, sehingga berstatus Makkiyah, tetapi didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Madaniyah.

4.      Surat-surat Madaniyah yang berisi ayat-ayat Makkiyah (مدني بعضه مكي), yaitu surat-surat yang sebetulnya kebanyakan ayatnya adalah Madaniyah, sehingga berstatus sebagai surat Madaniyah, tetapi didalamnya ada sedikit ayatnya yang berstatus Makkiyah.

            Maka penamaan sebuah surat Makkiyah atau Madaniyah tidaklah berarti bahwa seluruh surat tersebut Makkiyah atau Madaniyah, sebab didalam surat Makkiyah kadang-kadang terdapat ayat-ayat Madaniyah, dan begitu juga sebaliknya didalam surat Madaniyah kadang-kadang terdapat ayat-ayat Makkiyah. Oleh sebab itu penamaan sebuah surat Makkiyah atau Madaniyah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung didalamnya, karena itu sering didapati dalam kitab-kitab tafsir dikatakan bahwa surat  ini adalah Makkiyah kecuali ayat “ini” adalah Madaniyah, atau surat ini adalah Madaniyah kecuali ayat “ini” adalah Makkiyah[17].

Contoh ayat Makkiyah yang terdapat dalam surat Madanaiyah, surat al-Anfal yang merupakan surat Madaniyah, tetapi banyak ulama yang mengecualikan ayat 30:

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

           

            Ayat ini diturunkan di Mekkah, yang mana berisi tentang apa yang dimusyawarahkan oleh orang musyrik di Darun Nadwah untuk membunuh Rasulullah sebelum hijrah ke Madinah[18]. Dan sebagian ulama juga mengecualikan ayat 64:   

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ                                                         

Ayat ini adalah Makkiyah yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah ketika Umar bin Khatab masuk Islam[19].

Contoh ayat Madaniyah yang terdapat dalam surat Makkiyah, surat al-An’am adalah Makkiyah keuali tiga ayat yaitu dari ayat 151 sampai ayat 153, surat al-Haj, kecuali tiga ayat yang merupakan Madaniyah, yaitu ayat 19 sampai ayat 21[20].

C.  Cara mengetahui Makkiyah dan Madaniyah

            Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyah dan Madaniyahnya suatu ayat atau suatu surat, para ulama bersandar pada dua metode  sebagaimana yang dikatakan oleh al Ja’biri[21], yaitu:

            Pertama: Simâ’i Naqli (pendengaran seperti apa adanya) yaitu penentuan Makkiyah atau Madaniyah yang berdasarkan merujuk kepada riwayat-riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat itu dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan turunnya wahyu pada waktu itu. Karena tidak ada keterangan sedikitpun dari Rasulullah tentang penjelasan Makkiyah dan Madaniyah ini, disebabkan pada saat itu para sahabat tidak butuh kepada penjelasan ini, karena mereka menyaksikan langsung turunnya wahyu, jika mereka menemui keraguan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah[22]. Sebagian besar penentuan Makkiyah dan Madaniyah didasarkan pada cara yang pertama ini, hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsûr, kitab-kitab Asbâb an Nuzûl dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu al Qur’an[23]. Sebagaimana Qadhi Abu Bakar ibnu at Thayyib al Baqalany dalam al Intishâr mengatakan” pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah mengacu kepada hafalan para sahabat dan tabi’in, tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat, bahkan sekalipun pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah”[24].

Kedua: Qiyâs Ijtihâdi (qiyas hasil ijtihad) yaitu didasarkan pada ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah, apabila dalam surat Makkiyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madaniyah atau peristiwa Madaniyah, maka dikatakan bahwa ayat itu Madaniyah, dan apabila dalam surat Madaniyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat atau peristiwa Makkiyah, maka ayat itu dikatakan Makkiyah,  atau misalnya dalam suatu surat terdapat ciri-ciri Madaniyah, maka surat tersebut dikatakan Madaniyah, begitu juga sebaliknya, yang mana semua itu merupakan hasil dari ijtihad para ulama[25].

D.  Ciri-Ciri Khas Makkiyah dan Madaniyah

              Para ulama telah meneliti surat-surat Makkiyah dan Madaniyah, dan menyimpulkan beberapa ketentuan bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya, dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

1.     Ketentuan Surat Makkiyah

a. Setiap surat yang terdapat didalamnya lafaz Kalla ( كلّا ) adalah surat Makkiyah. Lafaz ini hanya terdapat dalam seaparoh terakhir dari al-Qur’an, dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam lima belas surat. Sebagaimana ‘Amâny berkata” hikmah terdapatnya lafaz ini dibagian separoh terakhir dari al-Qur’an karena surat-surat bagian terakhir al-Qur’an kebanyakan turun di Mekkah, dan kebanyakan penduduknya adalah pembangkang atau keras kepala, makanya pengulangan lafaz ini sebagai sebuah tahdîd atau ta’nîf (ancaman)  terhadap keingkaran mereka, berbeda dengan bagian-bagian pertama dari al-Qur’an yang kebanyakan turun di Madinah, dan juga diturunkan terhadap penduduk yahudi Madinah yang tidak perlu lagi pemaparan tentang kehinaan dan kelemahan mereka[26].

b. Setiap surat yang didalamnya mengandung Sajdah ( سجدة ) adalah surat Makkiyah

c. Setiap surat yang dibuka dengan huruf al fabet (حروف التَّهَجِّي) adalah surat   Makkiyah, seperti Alif Lâm Mîm Râ, Hâ Mîm dan lain-lainya, kecuali surat al-Baqarah dan Ali Imran, kedua surat ini menurut ittifaq ulama adalah Madaniyah, sedangkan surat ar- Ra’du masih dipersilisihkan[27].

d. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi dan umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah[28].

e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiyah, kecuali surat al-Baqarah[29].

f. Setiap surat yang terdapat lafaz يأيّها الناس   adalah Makkiyah bukan يأيّها الذين أمنوا karena ini adalah Madaniyah .

2.    Tema dan gaya bahasa surat Makkiyah

a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan hari akhir dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmat, argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. Inilah beberapa hal yang lebih diutamakan terhadap penduduk Mekkah, karena mereka pada saat itu berada dalam kesyirikan dan tidak menyakini adanya Nubuwat dan hari akhir[30].

b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim, mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan berbagai kebiasaan buruk lainnya[31].

c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka, sehingga mereka mengetahui akibat terhadap orang yang yang mendustakan agama sebelum mereka, dan sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah dan sabar dalam menghadapi mereka dan yakin akan menang[32].

d. Kebanyakan ayat dan suratnya pendek-pendek (îjâz), pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, dan menggetarkan hati, dan maknanya pun menyakinkan yang diperkuat dengan lafaz-lafaz sumpah (qasam)[33], yang demikian itu karena penduduk Mekkah merupakan orang-orang yang fashih dan ahli balaghah (ahlul fashohah wal balaghah) karena mereka sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa syi’ir[34].

3.    Ketentuan Surat Madaniyah[35]

a. Setiap surat yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madaniyah

b. Setiap surat yang disebutkan didalamnya tentang orang-orang munafiq dan keadaan mereka, kecuali surat al-Ankabut, ini termasuk surat Makkiyah kecuali 11 ayat dari awal termasuk dalam golongan Madaniyah.

c. Setiap surat yang didalamnya terdapat izin untuk berjihad, serta penjelasan tentang hukum-hukum jihad.

d. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.

4.    Tema dan Gaya Bahasa Surat Madaniyah[36]

a. Penjelasan tentang pensyari’atan secara terperinci seperti penjelasan hukum-hukum amaliyah dalam ibadah dan mu’amalah, seperti hukum sholat, zakat, puasa, nikah, talaq, jual beli dan lain-lain.

b. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka dari kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, serta penjelasan tentang kesesatan akidah mereka.

c. Menyingkap prilaku orang munafiq, menganalisis kejiwaan mereka, membuka kedok mereka serta menjelaskan bahwa mereka berbahaya bagi agama.

d. Kebanyakan ayat dan suratnya panjang-panjang ( ithnâb ) dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syari’at serta menjelaskan tujuan dan sasarannya, karena  penduduk Madinah bukanlah seperti penduduk Mekkah yang ahli dalam balaghah dan fashih.

E.  Faedah Mengetahui Ilmu Makkiyah Dan Madaniyah

              Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah suatu ayat atau surat mempunyai beberapa faedah atau memberikan pengaruh positif yang sangat besar sekali baik terhadap penafsiran al-Qur’an ataupun dalam berdakwah, diantaranya:

 1. Untuk dijadikan sebagai alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an, sebab pengetahuan tentang tempat turunya ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan penafsiran yang yang benar, disamping itu  dengan ilmu ini seorang mufassir akan dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif, yang datang kemudian (ayat-ayat Madaniyah) tentu merupakan nasikh atas ayat yang terdahulu (ayat-ayat Makkiyah)[37].

2.    Dengan ilmu ini seseorang akan mengetahui sejarah pensyari’atan hukum (tarîkh tasyrî’) dan proses terbentuknya sebuah hukum secara bertahap-tahap ( at tadarruj fil hukmi)[38].

3.    Ilmu ini dapat meningkatkan keyakinan kita terhadap kebesaran, kesucian, dan keaslian al-Qur’an, karena melihat besarnya perhatian umat islam terhadap hal-hal yang berhubungan dengan al-Qur’an, sampai dengan hal-hal yang sedetail-detailnya, sehingga mengetahui ayat-ayat mana yang turun sebelum hijrah dan sesudahnya, ayat-ayat yang diturunkan pada waktu Nabi berada di kota tempat tinggalnya, dan ayat yang turun pada waktu Nabi sedang dalam bepergian atau perjalanan, ayat-ayat yang turun pada malam hari dan siang hari, dan ayat-ayat yang turun pada musim panas dan musim dingin dan sebagainya[39].

4.    Dengan mengetahui ilmu ini mendorong kita untuk meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri, memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan sebuah pengetahuan yang sangat berguna sekali dalam ilmu retorika khususnya. Karakteristik gaya bahasa Makkiyah dan Madaniyah didalam al-Qur’an memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampain dakwah sesuai dengan kejiwaan lawan bicara, menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam diri mereka dengan bijaksana[40].

5.    Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Mekkah maupun pada periode Madinah[41].

        Itulah beberapa penjelasan tentang Makkiyah dan Madaniyah ayat atau surat al-Qur’an, adanya ilmu ini merupakan sebuah bukti besarnya perhatian para ulama terhadap al-Qur’an, semoga dengan mengetahui ilmu ini semakin memberikan semangat kepada kita untuk selalu meresapi dan mendalami serta mempelajari al-Qur’an yang merupakan sumber hukum pertama dalam Islam yang sudah terjamin keotentikannya dan tak seorang pun sanggup untuk merubahnya, sebagaimana firman Allh Swt. surat al-Hijr ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

 




[1]Ahmad bin’Ali bin Hajar al ‘Asqalâny, Fath al-Bâry bi Syarh Shahîh al-Bukhâry, (Cairo: Dar al-Hadis, 2004 M), kitab:Fadhâil al -Qur’an, bab: al -Qurrâ’ min Ashâbi an-Nabi Saw, Hadis nmr  5002, juz 8, h. 58.


[2] Manna Khalîl al Qattâan, Mabâhits fî ‘Ulum al Qur’an, (Riyadh: Mansyûrât al  ‘Ashr al Hadîts, 1973 M), h. 53


[3] Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Manâhil al ‘irfân fî ‘Ulûm al Qur’an, (Cairo: Dar al Hadis, 2001), juz 1, h. 165- 167


[4] Abu al Fida’ ‘Imâd ad Dîn bin Katsîr, Tafsîr al Qur’ân al ‘Azhîm, (Cairo: Maktabah Qurtubah, 2000),  juz 7, h. 210,


[5] Ibid, juz 8, h. 315


[6] al -Baqarah: 21


[7] al -Baqarah: 168


[8] al -Haj: 77


[9] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al Madkhal li Dirâsah al Qur’ân al Karîm, (Beirut: Dar al Jȋl, 1992 M),  h. 200. Lihat juga: Jalâl ad Dîn Abd ar Rahmân bin Abi Bakr as Syuyûty, al Itqân fî ,Ulum al Qur’an, (Cairo: Maktabah as Shafa, 2006 M),  h. 64.


[10] an Nisa: 48


[11] Al Maidah: 3


[12]  Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 167, lihat juga Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 61


[13] Jalâl ad Dîn Abd ar Rahmân bin Abi Bakr as Syuyûty, Op.Cit, h. 48, lihat juga: Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 55


[14] Ibid


[15]Ibid


[16] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Op.Cit, h. 201


[17] Jalâl ad Dîn Abd ar Rahmân bin Abi Bakr as Syuyûty, Op.Cit, h. 55


[18] Ibid


[19] Abu Hasan Ali bin Ahmad al Wâhidy an Naisybûry, Asbab an Nuzûl wa bi Hamisyihi an Nâsikh wa al Mansyûkh, ‘(Beirut: Alam al Kutub, Tth), h. 178


[20], Mannâ Khalîl al Qattân , Op.Cit, h. 56,


[21] Jalâl ad Dîn Abd ar Rahmân bin Abi Bakr as Syuyûty, Op.Cit, h. 65


[22] Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 168


[23]  Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 60


[24] Jalâl ad Dîn Abd ar Rahmân bin Abi Bakr as Syuyûty, Op.Cit, h. 43


[25] Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 61


[26] Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 169


[27] Ibid, h. 169, lihat juga: Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Op.Cit, h. 205


[28] Ibid


[29] ibid


[30]  Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Op.Cit, h. 205


[31] Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 63


[32] ibid


[33] ibid


[34] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Op.Cit, h. 207


[35] Ibid, h. 205, lihat juga: Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 64, lihat juga: Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 169


[36] Ibid


[37] Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 59, lihat juga: Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 167


[38] Muhammad ‘Abd al ‘Azhîm az Zarqâny, Op.Cit, h. 167


[39] Ibid


[40] Mannâ Khalîl al Qattân, Op.Cit, h. 59-60

[41] Ibid, h. 60

0 komentar: