.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Sabtu, 17 Mei 2014

MAKNA MUSIBAH DALAM AL QUR’AN


*Desri nengsih*
              Dalam menjalani hidup setiap manusia pasti mengalami kesusahan, kesulitan, dan bencana yang semua ini merupakan musibah dan bencana bagi mereka. Dan tidak kan ada perjalanan hidup yang mulus tanpa rintangan yang ada di depannya. Musibah yang terjadi tidak membedakan sasaran yang dikenainya, ia bisa terjadi terhadap orang yang sholeh dan tak terkecualikan juga terhadap orang yang ingkar. Apabila musibah tersebut menimpa orang-orang yang sholeh, maka musibah itu sebagai ujian serta cobaan bagi mereka untuk menguji keimanan mereka kapada Allah Swt. Namun, apabila musibah tersebut menimpa ahlu ma’siah, maka musibah tersebut sebagai peringatan bagi mereka supaya mereka bisa kembali kepada jalan Allah Swt. .
A.    Pengertian musibah
Musibah berasal dari bahasa arab yaitu أصاب- يصيب- مصيبة  yang mana mempunyai banyak makna di antaranya: mengenai seperti perkataan الغرض  أصابyang berarti mengenai sasaran, ia juga mempunyai makna memperoleh atau mendapat seperti perkataan أصابته النعمة " "yang artinya ia memperoleh atau mendapatkan nikmat, ia juga berarti mengambil seperti perkataan أصاب من المالartinya ia mengambil sebagian dari harta. Di samping itu, ia juga berarti menimpa seperti perkataan أصابته المصيبة yang mana artinya musibah telah menimpanya.[1]
Raghib al Asfahaniy berkata bahwa kata أصاب bisa digunakan untuk hal yang baik dan hal yang buruk seperti firman Allah Swt   إن تصبك حسنة تسؤهم و إن تصبك مصيبة.... . Kedua kata “أصاب ” dalam ayat ini meskipun dipergunakan untuk maksud yang berbeda, akan tetapi berasal dari kata yang sama yaitu أصاب.[2] Dari sini, dapatlah kita ketahui bahwasannya pengunaan kata أصاب yakni dalam bentuk fi’l al mȃdhi digunakan tidak hanya terbatas kepada yang jelek saja akan tetapi kepada hal yang baik pun juga dipergunakan. Ini tergantung dengan kalimat setelahnya, jika kalimat setelahnya bermakna sesuatu hal yang baik, maka yang dimaksud dengan kata أصاب di sini adalah sesuatu yang baik, begitu juga dengan sebaliknya.
Sementara kata “ المصيبة “ sendiri yang datang dalam bentuk mashdar menurut Raghib al Asfahani pada mulanya digunakan untuk hal-hal yang berkenaan dengan melempar “ رمية “ yang mana makna dari kata “ المصيبة “ yaitu mengenai sasaran seperti perkataan “ رميت رجلا رمية مصيبة “ yang artinya saya melempar seorang laki-laki dengan sekali lemparan yang mengenai sasaran “  مصيبة “. Dengan demikian, kata musibah yang datang dalam bentuk mashdar ini berfungsi sebagai bayȃniyah atau penjelasan, yakni semua jenis musibah. Jadi, , inilah yang dimaksud dengan bencana yang menimpa manusia atau suatu hal yang tidak disenangi oleh manusia, jika redaksi tersebut datang dalam bentuk mashdar.
 Musibah juga disebutkan dalam al Qur’an dalam bentuk fi’il mudhȃri’, ini terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat manusia secara umum dan sifat kaum munafik ketika ditimpa musibah, seperti terdapat dalam surat ar Ra’du ayat 13.
Menurut Muhammad Sayyid Thanthawiy musibah merupakan ism al fȃ’il dari kata ishȃbahإصابة  “ yang artinya kepedihan yang datang pada diri seseorang disebabkan karena suatu bencana yang menimpanya[3]. Namun, musibah dalam bentuk ism al fȃ’il ini secara khusus lebih membicarakan tentang kaum muslimin tentang keadaan mereka ketika ditimpa musibah. Di samping itu,  yang datang dalam bentuk ism al fȃ’il ini juga menjelaskan untuk menyatakan bahwa musibah tersebut merupakan ketetapan dari Allah Swt, seperti terdapat pada surat al Hadȋd ayat 22.  Adapun menurut Abu Hayyan musibah secara umum adalah seperti yang sering kita kenal yaitu segala kepedihan atau kesedihan yang menimpa manusia, baik itu pada diri, harta, atau keluarganya, meskipun kesedihan tersebut besar atau kecil seperti padamnya lampu ketika seseorang sangat membutuhkan lampu[4].

B.     Bentuk musibah
Menurut Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil mengatakan bahwa musibah dapat dikelompokkan  kepada dua bentuk[5], yaitu:
1.      Mushȋbah bi al khair (positif)
Musibah ada yang bermakna baik dan ada juga yang bermakna buruk, maka di antara hikmah positif yang ada di balik semua musibah adalah:
a.    Memperoleh rahmat:

  وَكَذَلِكَ مَكَّنِّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاء نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“ Dan Demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di muka bumi (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf: 56)

Ayat di atas berkenaan dengan kisah Nabi Yusuf As. Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menegaskan tentang ketertarikan raja yang berkuasa pada saat itu kepada Nabi Yusuf dan memberinya kedudukan yang terbaik disisinya[6]. Demikian juga Allah memberi kedudukan kepada Yusuf di muka bumi, khususnya di wilayah Mesir. Adapun imam ar Razi menerangkan bahwa ayat نصيب برحمتنا من نشاء mengandung dua faedah yaitu; menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah  dan menunjukkan bahwa semua perkara berkaitan dengan kekuasaan dan kehendak Allah Swt[7].
b.    Memperoleh karunia

وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِّنَ الله لَيَقُولَنَّ كَأَن لَّمْ تَكُن بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيتَنِي كُنتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمً

 “Dan sungguh jika kamu memperoleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah Dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula)". (an-Nisa: 73)
Menurut imam ar Razi, ayat ini terkait dengan karunia yang diperoleh umat Islam berupa kemenangan dan harta rampasan perang[8]. Demikian juga dengan Ibnu Katsir dan az Zamaksyari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan karunia pada ayat ini adalah kemenangan dan ghanimah atau harta rampasan perang[9].
Sementara M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yang menggambarkan sikap orang-orang munafiq pada saat panggilan jihad dikumandangkan. Dengan menekankan bahwa sesungguhnya di antara kamu, yakni lingkungan pergaulan kamu wahai orang-orang beriman, ada orang yang suka berlambat-lambat  lagi berat hati jika diajak kemedan perang , bahkan mendorong orang lain agar menempuh jejak mereka untuk tidak ikut berjuang, karena kelemahan iman mereka. Oleh karena itu, jika kamu ditimpa musibah, yaitu kegagalan di medan perang karena mereka tidak ikut, ia berkata sesungguhnya Allah telah menganugerhkan nikmat kepadaku karena saya tidak bersama mereka menjadi saksi, yakni ikut berpartisipasi atau gugur menjadi syahid dan kehilangan harta. Sungguh jika kamu peroleh kemenangan dan harta rampasan perang, tentulah ia mengatakan dengan penuh penyesalan didorong oleh keinginan meraih keuntungan materi[10].
Di antara kata-kata dalam al Qur’an yang juga berarti ujian atau cobaan adalah al bala’. Al bala’ ini kadang-kadang juga diungkapkan untuk sesuatu yang bermakna positif, sebagaimana halnya ungkapan Nabi Sulaiman As. seperti yang terdapat dalam surat an Naml ayat 40:
 ......قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“....... iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang ungkapan Nabi Sulaiman As. tentang kehadiran singgasana ratu Saba’ hanya dengen sebelum mata berkedip, kemudian singgasana tersebut persis berada di depannya. Maka, ia mengatakan kehadiran singgasana tersebut sesuai dengan keinginannya yang merupakan salah satu karunia dari sekian karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Dan karunia tersebut adalah untuk mengujinya apakah ia termasuk orang yang bersyukur dengan mengakuinya sebagai anugerah atau sebaliknya menjadi orang yang kufur yang mengingkari nakmatNya[11].
c.    Memperoleh kebaikan
Memperoleh kebaikan adalah salah satu bentuk musibah bi al khair. Di dalam al Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan hal ini,  yaitu surat an Nisȃ’ ayat 78, at Taubah ayat 50, dan Yȗnus ayat 107. Satu dari ketiga ayat tersebut adalah:

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا

 Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”. (an-Nisa: 78)

Menurut imam ar Razi bahwa penjelasan dari ayat “dan jika mereka memperoleh kebaikan”, kebaikan di sini diartikan sebagai kesuburan tanah, turunnya harga, turunnya hujan, dan semua kebaikan itu datangnya dari Allah Swt. Sementara ayat “dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana” berupa tanah yang gersang dan harga yang mahal adalah akibat dari perbuatan dari Muhammad[12]. Semua ini adalah pendapat orang-orang munafik.
d.   Diturunkannya hujan
Hal ini terdapat dalam surat al Baqarah ayat 265 dan surat ar Rȗm ayat 48.

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ وَتَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِن لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

 “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat”. (al-Baqarah: 265)

M. Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat ini menghubungkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu surat al Baqarah ayat 261. Ayat ini memberikan perumpamaan dalam hal menafkahkan harta dengan sebuah kebun, sedangkan ayat 261 mengibaratkan pemberian nafkah dengan sebutir benih. Jadi, perumpamaan pada ayat 265 lebih mantap dan besar yakni berupa kebun dari pada ayat 261 yang hanya berupa benih, seperti firman Allah dalam surat ar Rȗm ayat 48:

  اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاء كَيْفَ يَشَاء وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Allah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu Lihat hujan keluar dari celah-celahnya, Maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira”.

Menurut imam ar Razi bahwa maksud dari “Allah yang mengirim angin” mengandung dua makna, yaitu kekuasaan dan hikmah. Allah menurunkan hujan keseluruh tumbuh-tumbuhan merupakan kekuasaan Allah, sedangkan hikmahnya adalah tiupan angin itu dapat mengumpulkan awan, terkadang bersatu dan sekali-kali berpisah, kemudian turunlah hujan[13].

2.      Mushȋbah bi Asy Syar (negatif)
Di dalam al Qur’an terdapat sepuluh ayat yang menggunakan kata-kata musibah yang bermakna negatif, yaitu surat al Qashas ayat 47, surat as Syȗra ayat 30, surat al Baqarah ayat 156, surat Ali ‘Imrȃn ayat 165, surat an Nisȃ’ ayat 62 dan 72, surat al Hadȋd ayat 22, surat at Taghȃbȗn ayat 11, surat al Mȃidah ayat 106, surat at Taubah ayat 50. Sebagian dari ayat-ayat tersebut penafsirannya adalah:
a.    surat al Qashas ayat 47:

وَلَوْلَا أَن تُصِيبَهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

 “Dan seandainya mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan oleh apa yang mereka kerjakan, mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami termasuk orang-orang mukmin".
Al Maraghi memaknai musibah pada ayat tersebut dengan azab, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut beliau ayat tersebut menjelaskan tentang pengutusan Rasulullah Saw kepada orang-orang kafir yang bertujuan untuk mematahkan dalih mereka[14].
b.    Surat as Syȗra ayat 30

 وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).

Al Maraghi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa musibah-musibah di dunia yang menimpa manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan, kejahatan, serta kemaksiatan yang mereka kerjakan[15]. Jadi, di sini al Maraghi menyimpulkan bahwa Allah menjadikan dosa sebagai sebab-sebab yang menghasilkan akibat. Misalnya, peminum khamar dia akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun akal di dunia.
c.    Surat al Baqarah ayat 156

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

 (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

Sebelum Allah menjelaskan tentang musibah, pada ayat sebelumnya yakni surat al Baqarah ayat 155 Allah menjelaskan tentang ujian bagi manusia. Sesungguhnya Allah akan menguji manusia dengan beraneka ragam cobaan, yaitu rasa takut, kelaparan, kehilangan harta benda, kematian, kehilangan penghasilan, atau buah-buahan. Maka, ketika ditimpa keadaan tersebut hendaklah bersabar.
Imam ar Razi memaparkan tentang makna ayat tesebut yaitu adanya keikhlasan menerima segala sesuatu yang diturunkan Allah dari semua cobaan dan ujian dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah[16].
d.   Surat Ali ‘Imrȃn ayat 165

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَـذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Imam Ibnu Katsir dan Zamaksyari menagatakan bahwa yang dimaksud dengan musibah pada ayat tersebut adalah terjadinya kekalahan kaum muslimin dengan terbunuhnya tujuh puluh orang pasukan Islam dalam perang Uhud, sebagaimana juga yang terjadi pada perang Badar dengan terbunuhnya tujuh puluh pasukan dan tujuh puluh yang tertawan[17].
e.    Surat An Nisȃ’ ayat 62

  فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

“Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”.

Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah Swt berfirman dengan ayat tersebut mencela orang munafik. Bagaimana jika mereka terpaksa datang kepadamu, disebabkan musibah yang menimpa mereka akibat dosa-dosa-dosa mereka  dan mereka bersumpah untuk membenarkan tindakan mereka berhakim kepada thogut, bahwa sebenarnya mereka melakukan itu bukan dari hati mereka dan bukan karena kebenaran hakim-hakim, tetapi hanya sekedar berpura-pura[18].

C.    Sebab-sebab musibah
Secara garis besar, penyebab terjadi suatu musibah ada dua macam, yaitu;
1.    Musibah sebagai sunnatullah
Di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa terjadinya musibah merupakan ketetapan Allah yang tertera dalam lauh al mahfuzh, sebagaimana firman Allah dalam surat al Hadȋd ayat 22 dan surat at Taghȃbȗn ayat 11;

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Imam ar Razi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa semua musibah yang terjadi itu tidak akan terjadi kecuali telah ditentukan oleh Allah. Beliau mengartikan kalimat “musibah” yang terjadi di bumi antara lain adalah tidak turunnya hujan, sedikitnya tumbuh-tumbuhan, berkurangnya buah-buahan, mahalnya harga, termasuk pula keadaan dimana selalu merasakan kelaparan. Sementara “musibah” yang menimpa diri manusia menurut imam ar Razi ada dua macam, yaitu; Pertama, musibah berupa rasa sakit, kefakiran atau kemiskinan, ditinggal pergi oleh anak-anaknya, termasuk juga keadaan dimana ia menjalani hukuman. Kedua, musibah juga diartikan sebagai keadaan terlalu sedih saat tidak mendapatkan apa yang diinginkannya atau terlalu gembira saat mendapat suatu anugerah[19].  Sebagaimana firman Allah dalam surat al Hadȋd ayat 23:

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

 “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

2.    Musibah sebagai kesalahan moral manusia
Allah menjadikan manusia berada pada dua pilihan yaitu memilih untuk berbuat baik atau buruk. Artinya, meskipun manusia adalah makhluk yang agung, namun pada dirinya juga terdapat potensi untuk berbuat baik sekaligus buruk atau jahat, sebagaimana disebutkan dalam surat as Syams ayat 8:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”..

Dengan adanya potensi pada diri manusia untuk berbuat baik atau buruk, maka sangat mungkin sebagian musibah yang menimpa manusia itu juga diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Seperti dikemukakan dalam surat asy Syȗra ayat 30;

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

 “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.

Al Maraghi menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa musibah-musibah yang menimpa manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang mereka lakukan, kejahatan-kejahatan, serta kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka kerjakan.
Dari segi konteksnya ayat di atas ditujukan kepada kaum musyrikin Mekkah, namun menurut M. Qurais Shihab, dari segi kandungannya ditujukan pula kepada seluruh manusia, baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimanapun, baik mukmin maupun kafir. Ayat ini menggarisbawahi adanya musibah atau hal-hal negatif yang ditujukan Allah kepada manusia dalam kehidupan ini sebagai sanksi atas pelangaran-pelanggaran mereka. Namun, bisa saja ada pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya sampai kehidupan akhirat nanti[20].  

D.    Tujuan ditimpakan musibah
Secara garis besar tujuan ditimpakannya musibah ada dua yaitu, pertama, untuk revitalisasi alam (tajdȋd al ‘ȃlam), dan kedua untuk memperbaiki perbuatan manusia.
1.    Revitalisasi alam (Tajdid al ‘ȃlam)
Salah satu tujuan ditimpakannya musibah di muka bumi adalah sebagai revatalisasi alam. Sebagaimana diketahui inti bumi adalah bola pijar yang bersuhu ribuan derjat. Dan bola itu diselimuti oleh berbagai lapisan bebatuan, yang paling tebal di sekitar inti bumi disebut mantel. Lapisan ini tersusun dari bebatuan berat; campuran antara besi, magnesium dengan silika. Mantel bumi ini terdiri dari dua lapisan yaitu mantel bagian atas dan bawah. Di antara daerah peralihan kedua lapisan ini terbentuk panas yang sangat tinggi akibat gesekan yang meleburkan bebatuan sehingga membentuk magma. Leburan batu pijar ini disebut lava karena keluar melalui letusan gunung berapi[21].
Struktur bumi bisa dianologikan dengan sebuah telur, bagian paling luar adalah cangkang telur atau kulit bumi, atau disebut dengan kerak bumi. Bagian lebih dalam adalah putih telur atau disebut dngan mantel bumi. Sedangkan bagian paling dalam adalah kuning telur yang disebut dengan inti bumi. Namun, kehidupan hanya ditemukan dibagian atas bumi yang disebut sebagai bioshfer. Dan di sinilah kita menemukan habitat makhluk hidup, baik di daratan maupun di perairan. Tidak seperti cangkang telur yang utuh, ternyata lapisan kerak bumi terdiri dari lembaran-lembaran yang disebut sebagai lempeng tektonik. Lempeng-lempeng kerak bumi ini selalu bergerak-gerak yang disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya akibat perputaran bumi secara rotasi, kemudian juga disebabkan oleh gaya-gaya dari dalam bumi sendiri yang disebabkan oleh panas tinggi di bawahnya. Di samping itu, juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan struktur pendukungnya. Gerak lempeng kerak bumi ini dapat menyebakan gempa dan bahkan tsunami, serta munculnya gunung-gunung berapi yang mengeluarkan asap panas, lava, dan letusan-letusan yang sangat berbahaya. Runtuhnya struktur lempeng-lempeng tersebut menyebabkan getaran dahsyat yang disebut gempa tektonik[22].
Jadi, kehidupan dipermukaan bumi ini sangatlah rawan, karena kita sedang berada di atas lempeng yang senantiasa bergerak. Sebagaiman halnya teori ini sesuai dengan firman Allah Swt:

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

 “Dan kamu Lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, Padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (an-Naml: 88)

وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا
  Dan gunung benar-benar berjalan dengan gerakan dahsyat”. (at-Thur: 10).

وَأَلْقَى فِي الأَرْضِ رَوَاسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلاً لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

 “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk”. (an-Nahl: 15)

Musibah lainnya yang selalu mengintai kehidupan dimuka bumi adalah potensi yang terkandung dalam sirkulasi air. Ada sekitar 400 miliar ton air disirkulasi oleh Allah setiap tahunnya. Air itu diuapkan dari lautan dan daratan lewat panas matahari menjadi awan, kemudian diturunkan kembali secara berangsur-angsur ke permukaan bumi sepanjang tahun sebagai air hujan[23].
Keberadaan air di bumi sebenarnya merupakan rahmat terbesar bagi kehidupan makhluk hidup, tanpa adanya air yang cukup, kehidupan tidak terjamin keberlangsungannya. Sebagaimana juga halnya bahwa air menjadi kata kunci munculnya kehidupan, sebagaimana firman Allah:

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ  

“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?. (al-Anbiya’: 30)

Namun, di samping sebagai kunci terbesar kehidupan, air juga bisa menjadi ancaman yang mengerikan kehidupan jika sirkulasi air mengalami pergeseran. Sehingga air menjadikan bencana yang mengerikan yang memakan ratusan ribuan korban, hujan deras berubah menjadi banjir bandang di mana-mana. Sebagaimana firmanAllah Swt:

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ بِالْحَقِّ فَجَعَلْنَاهُمْ غُثَاء فَبُعْدًا لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

 Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir.  Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu”.  (al-Mukminun: 41).

Mekanisme telah mengalami ketidakseimbangan, bumi mengalami kenaikan suhu akibat efek rumah kaca dan rusaknya lapisan ozon, sehingga penguapan air menjadi lebih besar. Sementara itu, hutan-hutan mengalami kerusakan yang parah akibat penebangan liar, padahal pepohonan itu berfungsi untuk menahan laju air dengan cara menyerapnya, kemudian berangsur-angsur dalam bentuk mata air sepanjang tahun[24]. Sedangkan Allah sudah mengingatkan manusia dalam firman-Nya:

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ

 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (al-A’raf: 56)

2.    Memperbaiki perbuatan manusia
Selain untuk revitalisasi alam, Allah pun menimpakan musibah kepada manusia dengan tujuan untuk memperbaiki perbuatan manusia. Sebagaimana Allah Swt berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

 “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,. yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampunan”. (al-Mulk: 1-2)

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

 Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (al-Kahf: 7)

Imam ar Razi ketika menafsirkan ayat 2 surat al Mulk di atas dengan beberapa penafsiran, di antaranya; pertama: berbuat ikhlas ketika beramal, karena orang yang ikhlas tetapi tidak benar, maka amalnya tidak akan di terima. Sebaliknya, walaupun berbuat baik tetapi tidak ikhlas, itu juga tidak akan diterima. Kedua: melakukan kebaikan dengan menyempurnakan pikiran. Ketiga: berbuat zuhud dengan meninggalkan kehidupan dunia[25]. Sedangkan Ibnu Katsir menafsirkannya dengan mengatakan bahwa beramal harus dengan sebaik-baiknya dan bukan beramal dengan sebanyak-banyaknya[26].
Adapun ayat 7 surat al Kahf, ditafsirkan oleh al Alusi bahwa Allah dalam menciptakan bumi ini mencakup segala isi yang ada dalam bumi, baik yang berakal maupun yang tidak, semuanya itu merupakan perhiasan bagi penghuni bumi. Bagi yang berakal terdiri dari mukallaf dan bukan mukallaf. Bagi yang mukallaf meliputi perhiasan sebagai anugerah atau kenikmatan dan sebagai cobaan atau ujian[27].

E.     Hikmah dibalik musibah
1.      Mengangkat derjat manusia
Salah satu faktor ditimpakannya musibah kepada manusia adalah untuk mengangkat derjat manusia, sebagaimana dijelaskan Allah dalam al Qur’an:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

 “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-An’am: 165)

Menurut ar Razi ada tiga pengertian yang dipahami, yaitu; pertama, dijadikannya Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan umatnya meliputi semua manusia dari masa Nabi sampai hari kiamat. Kedua, menjadikan mereka sebagai khalifah antara yang satu dengan yang lainnya. Ketiga, Allah menjadikan mereka sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melestarikan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Adapun Allah meninggikan sebagian kamu dengan sebagian yang lain dimaknai dengan kemuliaan harta, akal, jabatan, dan rizki. Semua itu tidak ada gunanya jika manusia lemah, bodoh, dan pada intinya segala sesuatu yang telah dianugerahkan Allah merupakan ujian bagi manusia[28].
2.      Menghapus keburukan
Selain berfaedah untuk mengangkat derjat manusia, Allah juga menimpakan musibah kepada manusia agar dapat menghapus keburukan yang selama ini dilakukannya. Sebagaimana Nabi Saw bersabda:
حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ »[29]

3.      Menanamkan jiwa yang ikhlas
Ketika ditimpa musibah dibutuhkan jiwa yang ikhlas untuk menerimanya. Pada dasarnya, semua yang menimpa manusia, baik kenikmatan maupun musibah datangnya dari Allah. Keikhlasan jiwa dari semua aib dan kotoran itu untuk membersihkan iman, kaena sesungguhnya semua cobaan dan ujian untuk menyucikan jiwa dari aib, tercela, dan juga menyucikan hati dari sifat riya dan syirik.
4.      Mendidik muslim menjadi gigih dalam berdakwah
Umat Islam berdakwah selalu mendapatkan tantangan dan kesulitan. Oleh karena itu, dengan ditimpakannya musibah kepada umat Islam merupakan salah satu faedah agar umat Islam terlatih dalam mengahadapi kesulitan. Namun, pendidikan dakwah ini tidak akan tercapai kecuali dengan kesungguhan dalam melakukan perjuangan.
5.    Sebagai sebab masuk syorga
Salah satu faedah ditimpakannya musibah lepada manusia adalah untuk menguji mereka sejauh mana keimanan dan keikhlasan mereka menerima cobaan dan ujian dari Allah yang pada akhirnya mereka mendapatkan balasan berupa kenikmatan syurga. Allah Swt berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat”. (al-Baqarah: 214)

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّهُ الَّذِينَ جَاهَدُواْ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ


 “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 142)

F.     Sikap menghadapi musibah
1.      Sikap dalam menghadapi musibah bi al khair
Musibah bi al khair merupakan musibah yang bernilai yang positif, berupa segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada manusia, seperti kenikmatan, kesejahteraan, karunia dan semacamnya. Maka, sikap yang  harus dilakukan manusia ketika menerimanya adalah bersyukur sebagai tanda terimah kasih kepada Allah.
Dalam al Qu’an ditemukan kata syukur sebanyak 64 kali dengan berbagai derivasinya, dan kata syukur ini merupakan lawan dari kata “kafara” yang berarti menutup atau melupakan nikmat dan menutup-nutupinya. Di dalam al Qur’an dikatakan bahwa manfaat besyukur kembali kepada orangnya, karena Allah sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikitpun dari makhluknya. Sebagaimana firman Allah:

  قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari aI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". (an-Naml: 40)

Adapun cara bersyukur menurut M. Qurais Syihab adalah dengan tiga cara, yaitu syukur dengan hati, lisan, dan perbuatan.
2.      Sikap dalam menghadapi musibah bi as Syar
Musibah yang menimpa kaum mu’min terbagi dalam dua aspek , yaitu bersifat kejiwaan (non-materi) dan bersifat materi. Ujian keburukan non materi sangat berkaitan erat dengan proses ujian keimanan dan ketabahan dalam menjalani cobaan dan menaggung musibah. Seperti kalah dalam peperangan dan kahwatir karena serangan musuh yang sangat besar, sementara kekuatan pertahanan tidak seimbang. Seperti firman Allah:

فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاء حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاء اللَّهُ لَانتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِن لِّيَبْلُوَ بَعْضَكُم بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ

 “apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka”. (Muhammad: 4)

Adapun ujian keimanan yang bersifat materi yang menimpa kaum mukmin pada dasrnya sama dengan ujian yang menimpa seluruh manusia. Gambaran ujian materi ini berkaitan dengan kepemilikan yang semakin sedikit atau bahkan hilang sama sekali. Seperti firman Allah:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (al-Baqarah: 155)
Ayat tersebut menjelaskan rangkaian beberapa bentuk musibah materi yang saling mempengaruhi serta berhubungan dengan kejiwaan. Di dalam al Qur’an dijelaskan bahwa seorang mu’min jika ditimpa sebuah musibah, maka hendaklah mengahadapinya dengan beberapa sikap[30], seperti;
1.    Al Istirja’
Yaitu mengembalikan sesuatu kejadian kepada Allah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah atas kehendak Allah dan akan kembali kepadaNya.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

 “sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".  (al-Baqarah: 155 – 156)

2.    Sabar
Sabar merupakan bagian dari kekuatan etika yang mendorong manusia untuk mengatur diri dalam menghadapi segala macam kesusahan dan menghindari rasa kecewa, emosi, gentara dan berbagai bentuk musibah lainnya. Al Qur’an memberikan tuntunan agar bertaqwa dan bersabar ketika ditimpa musibah. Seperti firman Allah;

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ أَذًى كَثِيرًا وَإِن تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan”. (Ali Imran: 186)

3.    Tawakkal
Tawakkal merupakan sebuah sikap percaya atau menggantungkan nasib kepada Allah yang diungkap dalam sejumlah ayat-ayat al Qur’an;

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.". (at-Taubah: 51)

وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ فِي اللّهِ مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُواْ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ. الَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُون

 “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui. (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal”. (an-Nahl: 41- 42).

Kesimpulan:
Penyebab terjadinya suatu musibah merupakan takdir atau ketetapan dari Allah Swt. Di samping takdir dari Allah musibah juga disebabkan oleh ulah perbuatan manusia sendiri. Musibah dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu; musibah bi al khair dan musibah bi as syar. Tujuan ditimpakannya musibah adalah untuk menguji agar terlihat orang yang beriman dan orang yang munafik, orang yang jujur dan tidak jujur. Kemudian musibah juga diturunkan Allah sebagai tajdid untuk Alam karena kkita hidup pada alam yang senantiasa bergerak. Setiap orang mukmin yang ditimpa musibah hendaklah menghadapinya dengan sikap-sikap yang dianjurkan Allah yang terdapat dalam al Qur’an.
Demikianlah makalah ini, namun dari beberapa penjelasan diatas, tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala cobaan dan musibah serta diberikan kesabaran terhadap semua ujian yang diberikanNya. Wallâhul musta’ân, wa huwa ‘A’lam bi as Shawâb.

Minggu, 18 Mai 2014
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Qur’ȃn al ‘Karȋm.
Ad Dimasq, Imam ad Dȋn Abi al Fida’ Ismȃ’ȋl bin Katsȋr. Tafsȋr al Qur’an al ‘Azhȋm.  Giza: Maktabah Aulȃd as Syaikh li at Turȃst dan Maktabah Sunnah Qurtubah. 2000 M.
Al Asfahani, Raghib. al Mufradat fȋ Gharȋb al Qur’ȃn. Beirut: Dar al Ma’rifah. Tth.
Al Andalusiy, Muhammad Yusuf Abu Hayyan. al Bahr al Muhȋth. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah. 2003 M.
Al Bagdȃdȋ, Syihȃb ad Dȋn  as Sayyȋd Mahmȗd al Alȗsȋ. Rȗh al Ma’ȃnȋ fȋ Tafsȋr al Qur’ȃan al ‘Azhȋm wa as Sab’i al Matsȃnȋ. Beirut: Dar al Fikr. 1994 M.
Al Bukhari, Muhammada bin Ismail bin Ibrahim. Shahȋh al Bukhȃri. Cairo: Dar as sa’bi. 1987 M.
Al Hilali, Amir Muhammad Amir. Bagaimana menghadapi Musibah, 43 Cara Mengatasi Ujian dan Cobaan Hidup ( terjemahan). Jakarta: Pustaka Imam Ahmad. 2011 M.
AL Maraghi, Ahmad Mushtafa. Tafsȋr al Marȃghȋ. Beirut: Dar al Fikr. 1974 M
Az Zamaksyari, Abi al Qȃsim Mahmud bin Umar. Tafsȋr al Kassȃ f ‘an Haqȃiq wa  Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘Uyȗn al Aqȃwȋl fi Wujȗh at Ta’wȋl.  Riyadh: Maktabah al ‘Ibkan. 1998 M.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 M.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan  Keserasian al Qur’an. Jakarta: Lantera Hati. 2002 M.
Thanthawy, Muhammad Sayyid. Tafsȋr al Wasȋth li al Qur’ȃn al Karȋm. Cairo: Dar al Sa’ádah. 2007 M.
‘Umar, Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn. Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ. Beirut: Dar al Fikr. 1981 M.


[1] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 800-801
[2] Raghib al-Asfahaniy, al Mufradat fȋ Gharȋb al Qurȃn, (Beirut: Dar al Ma’rifah, t.th), hal. 288
[3] Muhammad Sayyid Thanthawiy, Tafsȋr al Wasȋth li al Qur’ȃn al Karȋm, (Cairo: Dar al Sa’ádah, 2007), juz. 1, h. 316
[4] Muhammad Yusuf Abu Hayyan al Andalusiy, al Bahr al Muhȋth. (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 2003), juz. 1, hal. 624
[5] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah. (Jakarta: Kataelha, 2010), h.  37
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan  Keserasian al Qur’an. (Jakarta: Lantera Hati, 2002), juz. 6, h. 486
[7] Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ. (Beirut: Dar al Fikr, 1981 M), juz. 18, h. 167
[8] Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 10, h. 184
[9] Imam ad Dȋn Abi al Fida’ Ismȃ’ȋl bin Katsȋr ad Dimasq, Tafsȋr al Qur’an al ‘Azhȋm. ( Giza: Maktabah Aulȃd as Syaikh li at Turȃst dan Maktabah Sunnah Qurtubah). 2000, juz. 4, h. 158. Lihat juga Abi al Qȃsim Mahmud bin Umar az Zamaksyari, Tafsȋr al Kassȃ f ‘an Haqȃiq wa  Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘Uyȗn al Aqȃwȋl fi Wujȗh at Ta’wȋl. ( Riyadh: Maktabah al ‘Ibkan), 1998 M, juz. 2, h. 106
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan  Keserasian al Qur’an, juz. 2, h. 504-505
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan  Keserasian al Qur’an, juz. 10, h. 226
[12]Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 10, h. 193
[13]Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 25, h. 134
[14] Ahmad Mushtafa al maraghi, Tafsȋr al Marȃghȋ. (Beirut: Dar al Fikr, 1974 M), juz. 7, h. 66-67
[15] Ibid, juz. 9, h. 46-47
[16] Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 4, h. 170
[17]  Imam ad Dȋn Abi al Fida’ Ismȃ’ȋl bin Katsȋr ad Dimasq, Tafsȋr al Qur’an al ‘Azhȋm. juz. 4, h. 251. Lihat juga Abi al Qȃsim Mahmud bin Umar az Zamaksyari, Tafsȋr al Kassȃ f ‘an Haqȃiq wa  Ghawȃmidh at Tanzȋl wa ‘Uyȗn al Aqȃwȋl fi Wujȗh at Ta’wȋl , juz. 1, h. 654
[18] Imam ad Dȋn Abi al Fida’ Ismȃ’ȋl bin Katsȋr ad Dimasq, Tafsȋr al Qur’an al ‘Azhȋm. juz. 4, h. 139
[19] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah, h. 60
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah Pesan, Kesan, dan  Keserasian al Qur’an, juz. 12, h. 504-505
[21] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah, h. 78
[22] Ibid
[23] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah, h. 82
[24] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah, h. 85
[25] Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 30, h. 54
[26] Imam ad Dȋn Abi al Fida’ Ismȃ’ȋl bin Katsȋr ad Dimasq, Tafsȋr al Qur’an al ‘Azhȋm. juz. 14, h. 71
[27] Syihȃb ad Dȋn  as Sayyȋd Mahmȗd al Alȗsȋ al Bagdȃdȋ, Rȗh al Ma’ȃnȋ fȋ Tafsȋr al Qur’ȃan al ‘Azhȋm wa as Sab’i al Matsȃnȋ. ( Beirut: Dar al Fikr, 1994), juz. 8, h. 198
[28] Muhammad ar Rȃzȋ  Fakhr ad Dȋn bin ‘Alȃmah Dhiya’ ad Dȋn ‘Umar, Tafsȋr al Fakhr ar Rȃzȋ, juz. 14, h. 14
[29] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, Shahȋh al Bukhȃri. ( Cairo: Dar as sa’bi), 1987 M. Juz. 19, h. 26. Bab: Mȃ jȃ’a fȋ kafarah al mardh
[30] Rully Nashrullah dan Euis Nuraisah Jamil, Makna di Balik Semua Musibah, h. 134-141