.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Kamis, 08 Mei 2014

INKAR SUNNAH PERIODE KLASIK



  
            Al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran Islam yang berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang benar untuk kebahagiaan manusia di dunia dan  akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’  :

إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا[1]
 “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan  memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal  saleh  bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)

            Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan cara-cara pelaksanaannya dibebankan Allah kepada Rasulullah melalui hadis-hadis atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”. [2]

            Atas dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum ajaran Islam yang kedua  setelah al-Qur’an yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.

            Disadari bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadis dan al-Qur’an baik dari segi redaksi maupun dari cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi diyakini bahwa al-Qur’an disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian disampaikan Nabi kepada umatnya dan selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat al-Qur`an dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul, al-Qur`an ditulis dan dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara mutawatir. Dengan demikian, kehujjahan al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Sedangkan hadis kehujjahannya zhanny al-wurud, hal ini disebabkan hadis tidak semuanya persis sama dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi kecuali hadis mutawatir tetapi ada juga yang periwayatannya secara maknawi.[3]

            Meskipun dari segi otensitasnya hadis bersifat zhanny al-wurud kecuali hadis mutawatir tidak berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung keabsahannya dan tidak mungkin para ulama sepakat untuk berdusta.

            Dalam perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an mendapat tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam baik secara total, sebahagian, maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini disebut dengan inkar al- sunnah.

A. Pengertian Inkar Sunnah 

A.                Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah. Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak mengakui dan orangnya disebut dengan munkir”.[4]
 
            Sunnah secara bahasa adalah jalan atau tradisi yang baik dan buruk. Sedangkan pengertian sunnah secara terminology berbeda pendapat di kalangan para ahli. Ada yang membedakan pengertian sunnah dan hadis serta ada pula yang menyamakannya. Istilah sunnah di kalangan para ulama hadis pada umumnya menyamakan hadis dengan sunnah. Sedangkan di kalangan para ulama ushul membedakan pengertian antara istilah hadis dan sunnah.[5]

            Dalam tulisan ini istilah sunnah dan hadis tidak dibedakan sesuai dengan pandangan para ahli hadis. Jadi inkar al-sunnah disebut juga dengan inkar al-hadis, namun karena istilah ini tidak populer maka cenderung yang dipakai adalah istilah inkar al-sunnah.

            Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebutkan dalam Ensiklopedi Islam yaitu  “orang-orang yang menolak sunnah atau hadis Rasulullah Saw. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”[6]

            Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau hadis sebagai ajaran Islam.[7]  Pendapat lain, dikemukakan oleh Dr. Edi Safri bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.[8]

            Menurut Mustafa al-Siba`i juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud denan inkar al-sunnah ialah  pengingkaran karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.[9]

            Sementara itu Lukmanul Hakim  mendefenisikan bahwa inkar al-sunnah adalah gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.[10]

            Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam  atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.  Maksudnya keraguan  yang lahir menjadi  penolakan terhadap keberadaan sunnah atau hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.

B.  Sejarah  dan Perkembangan Inkar  al-Sunnah
            Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa awal munculnya paham inkar al- sunnah dibedakan kepada dua yaitu inkar al-sunnah  tempo dulu atau zaman klasik (munkir al-sunnah qadim) dan inkar al-sunnah periode abad modern (munkir as-sunnah hadits).[11] Namun dalam tulisan ini penulis hanya memaparkan periode awal saja atau inkar sunnah pada periode klasik, untuk periode Modern pembaca bisa melihat pada postingan tulisan berikutnya.

C.  Periode Klasik
Berdasarkan fakta sejarah bahwa di zaman Rasulullah Saw. tidak ada umat Islam yang menolak sunnah Nabi sebagai salah satu sumber hukum dalam  Islam. Demkian pula di zaman al-khulafaal-rasyidin (632-661 M) dan masa Bani Umayyah (661 – 750 M) belum ada tampak secara nyata kelompok yang menginkari sunnah Nabi sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur`an.[12]

            Menurut Imam Syafi’i, kelompok inkar al-sunnah muncul di penghujung abad ke dua atau awal abad ketiga Hijriyah pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah (750 – 932 M). Pada masa ini mereka telah menampakkan diri sebagai kelompok tertentu dan melengkapi diri dengan berbagai argument untuk mendukung pahamnya untuk menolak eksistensi dan otoritas sunnah sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.[13]

            Pada zaman itu, paham yang menginkari sunnah belum dapat diidentifikasi berasal dari kelompok mana karena Imam Syafi’i tidak menjelaskan namanya akan tetapi  ia mengisyaratkan bahwa mereka kebanyakan berada di Basrah (Irak). Kelompok inilah yang ditentang Imam Syafi’i dengan gigih memperjuangkan sunnah sehingga ia dijuluki Nȃshir al-Sunnah (pembela sunnah). Karena kesungguhan Imam Syafi’i memperjuangkan sunnah dengan berbagai argument akhirnya ia berhasil menyadarkan para penginkar sunnah dan membendung gerakan inkar al-sunnah dalam waktu yang sangat panjang. [14]

            Bahkan menurut Musthafa ‘Azami paham inkar al- sunnah telah muncul pada masa shahabat. Ia membuktikan dengan adanya dialog antara shahabat Imran bin Husain dengan seseorang yang hanya meminta diajarkan al-Qur`an saja. Namun bila dicermati hal ini tidak bisa dikategorikan dengan inkar al- sunnah tetapi menurut sebahagian ulama bisa dikategorikan sebagai benih- benih inkar al-sunnah. Kemudian ada lagi dialog Umayyah bin Khalid dengan Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat yang ditemukan dalam al- Qur`an hanya di rumah dan waktu perang saja, semenjak itu tidak ada lagi yang tidak meyakini sunnah sebagai hujjah hingga sebelas abad kemudian.[15]

                        Selanjutnya, Muhammad al-Khudari berpendapat bahwa orang-orang yang dihadapi oleh Imam Syafi’i dari kalangan teolog Mu’tazilah karena diketahui dalam sejarah Basrah saat itu merupakan pusat kegiatan ilmu pengetahuan yang menyangkut ilmu kalam. Di kota inilah berkembang  paham  dan  tokoh - tokoh  Mu’tazilah  yang  dikenal  aliran rasional dalam Islam dan banyak mengkritik ahli hadits. Jadi awal munculnya gerakan inkar al-sunnah menurut pendapat al-Khudari adalah kelompok aliran Mu’tazilah.[16]

            Abu Zahrah menolak tuduhan asal mula munculnya aliran inkar al-sunnah yang dimotori oleh Mu’tazilah karena mereka tetap mengakui dan menerima  hadis-hadis Rasulullah sebagai sumber hukum Islam. Tetapi menurut Abu Zahrah bahwa inkar al-sunnah adalah orang-orang zindik yang lahirnya meyakini Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam.[17]

D. Klasifikasi Inkar  al-Sunnah dan Argumennya
1. Menolak sunnah secara umum
            Yaitu kelompok yang menolak hadis-hadis Rasulullah Saw. sebagai hujjah dalam ajaran Islam secara keseluruhan, baik hadits mutawȃtir maupun hadis ahȃd, menurut mereka hanya al- Qur`an satu- satunya sebagai sumber ajaran Islam.

            Menurut Imam Syafi’i,[18] sebagaimana dikutip oleh Dr. Edi Safri ada tiga bentuk argumentasi yang diajukan penginkar sunnah untuk mendukung pendirian mereka yaitu :
1.   Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. dalam bahasa Arab yang jelas. Sebagaimana firma Allah dalam al-Qur'an surat al- `Asyu`ara:                    

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ       [19]

   Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas”

Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik maka al-Qur`an dapat dipahami dengan baik pula tanpa memerlukan dalil-dalil. Atas argument ini maka menurut mereka tidak diperlukan lagi hadis Rasulullah untuk menjelaskan al-Qur`an.

2.      Al-Qur’an adalah sebagai penjelas atas segala sesuatu dan menyelasaikan permasalahan yang diperselisihkan. Mereka mengutip beberapa ayat antara lain:

...وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ[20]                                                                                                     …dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk
    menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
    gembira bagi orang-orang yang  berserah diri. (QS.16:89)

...مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ[21]
              Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
                 Tuhanlah  mereka dihimpunkan (QS:6:38)

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ لِمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللّهُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ[22] 

manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

      Kelompok inkar al-sunnah berasumsi bahwa ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu tentang ajaran agama sudah termuat dalam al-Qur’an dan telah merincinya sehingga tidak perlu hadis atau sunnah. Apabila sunnah diperlukan untuk menjelaskan dan merinci maka al-Qur’an telah meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi keterangan Allah sendiri, hal ini mustahil terjadi.

3.      Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang sampai kepada kita melalui proses yang tidak terjamin keauntentikannya dan tidak ada yang menjamin keterpeliharaan hadits Nabi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa sesuatu yang tidak autentik tidak layak dijadikan sebagai sumber ajaran agama .[23] Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah dalam surat al-Hijr :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[24] 

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh Kami benar-benar memelirakannya. (QS. 15:9)

4.      Rasul sendiri melarang ummatnya menjadikkan hadis-hadis beliau sebagai sumber ajaran agama di samping Al-Qur’an. Hal ini seiring dengan larangan Rasul terhadap sahabat mencatat dan menuliskan hadis-hadis beliau. Sebagaimana diriwayatkan oleh muslim:
” Janganlah kamu tuliskan apa-apa yang daripadaku, dan siapa yang menulisnya daripadaku selain Al-Qur’an, hendaklah ia hapus...”(lihat postingan hadis masa pra kodifikasi).

Mereka beranggapan bahwa Rasulullah sendiri sebenarnya melarang ummatnya untuk menjadikan hadis beliau sebagai sumber ajaran agama selain Al-Qur’an.
Berdasarkan beberapa argument yang mereka ajukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menolak otoritas hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Jadi bagi paham inkar al-sunnah, hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. (sunnah) tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dan tidak perlu ditaati dan diamalkan. Paham ini jelas mengakibatkan runtuhnya ajaran- ajaran pokok Islam yang merupakan sendi agama seperti shalat dan zakat, karena butuh pedoman kepada hadts Nabi dalam pelaksanaannya.

2. Menolak Sunnah yang tidak terdapat prinsipnya dalam al- Qur`an
Yaitu mereka yang tidak mengakui otoritas hadis- hadis untuk menentukan hukum baru selain yang ditentukan oleh al- Qur`an. Mereka juga memakai dalil yang pertama untuk mendukung argumen mereka, sehingga menurut penulis kelompok satu dan dua termasuk golongan yang ekstrim. 
3.  Menolak hadis ahȃd dan menerima hadis mutawȃtir
Hadis ahȃd adalah hadis yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi kepada satu atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya. Sedangkan hadis mutawȃtir adalah hadis yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada sejumlah rawi yang adil dan tepercaya dan demikian seterusnya.[25]

Mereka hanya menerima hadis- hadis yang mutawȃtir sebagai hujjah dan menolak hadis- hadis ahȃd, walaupun hadis- hadis tersebut memenuhi persyaratan sebagai hadis sahih. Sebagai argumennya mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra` :
í وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ.... [26] 
 Janganlah kamu mengikuti apa- apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan    tentangnya...”.
Surat an- Nisa` :
وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ 4 [27]                                                                         
                   Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar

  E. Kritik Ahli terhadap Penginkar  al- Sunnah
                        Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan menyesatkan umat. Tujuan  mereka adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dengan gencar menolak argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Salah seorang ulama yang paling gigih mempertahankan otentitas kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur`an adalah Imam Syafi’i sehingga ia dikenal sebagai Pembela Sunnah.

                        Menurut Imam Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa al-Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah Saw. Mengikuti Rasulullah sama halnya dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk mendukung argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil al-Qur`an surat al-Jum`ah:

 هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ  [28]            

            Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”

               Di samping ayat diatas juga dikemukakan surat al-Ahzab  :

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا[29]

                Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan  Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.”

                       Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan al- Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.. Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah Allah kepada dan  isteri- isteri Rasulullah agar mereka menyampaikan  dua hal yang diajarkan  Rasulullah  ketika berada di rumah mereka. Ke dua  hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam al-Qur`an dan  al- Hikmah yakni Hadis Rasulullah.[30]

                       Berdasarkan pendapat imam Syafi`i tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah tidak pintar dalam memahami bahasa Arab , dan tidak dapat membedakan makna- makna yang terdapat dalam al- Qur`an. Nampaknya mereka menafsirkan ayat al- Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu semata. Alasan mereka bahwa al- Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadis, karena al- Qur`an sudah memuat segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran Islam. Pendapat mereka ini sangat bertentangan dengan pendapat imam Syafi`i. Dimana menurut imam Syafi`i  al- Qur`an hanya mengandung ajaran yang bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an yang bersifat umum yang tata cara pelaksanaannya dibutuhkan penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk Allah.

                        Menurut Argumen yang dikemukakan oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadis- hadis Nabi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam Syafi`i memberikan penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat karena kata “Azzikru” dalam surat al- Hijjr ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik al- Qur`an maupun sunnah untuk menjelaskan al- Qur`an.[31]

                         Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah  menjamin sunnah Rasulullah sebagaimana Allah menjamin kitab-Nya. Bukti sejarah juga menunjukkan dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya untuk mempelajari dan meneliti serta menghafal dan  menuliskan al- Qur`an dan sunnah.

                         Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan dan menolak autentitas penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah disebabkan karena menurut mereka bahwa hadis- hadis ditulis pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak terpelihara. Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis yang secara resmi dan penulisan hadis di zaman Rasulullah atas prakarsa perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan yang ditulis pada zaman Rasulullah adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadis- hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al- Shahifah al- shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir bin Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub, Shahifah Jabir bin Abdullah  yang berisikan masalah ibadah, haji, dan khutbah Rasulullah.[32]

                        Memperhatikan penemuan-penemuan ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan bahwa hadis- hadis Rasulullah  telah ditulis atas prakarsa sahabat dan tabi`in jauh sebelum penulisan hadis secara resmi. Atas dasar penjelaan dari al- Qur`an dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas diragukan kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al- Qur`an. Pada dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap kedudukan dan fungsi sunnah sebagai hujjah dalam Islam timbul akibat  dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya untuk menghancurkan Islam. 


          [1] Qur`an Surat al- Isra` Ayat: 9
          [2] Wahbah al- Zuhaili, Usul al- Fiqh al- Islam, Damaskus : Dar al- Fkr, 1986, Jild. I, Hal. 456
          [3] M, Quraish Shihab, Membumikan Al- Qur`an, Jakarta: Mizan, 1992, Cet. Ke 2, hal. 122
          [4] Abdul Aziz Dahlan, Dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996, Cet. Ke 1. Jild.III., hal. 718
          [5] Ulama hadits mendefenisikan sunnah sebagai semua yang muncul dari Rasulullah baik itu perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemanusiaan atau akhlak atau jalan baik sebelum menjadi rasul atau sesudahnya. Lihat: Muhammad `A`jaj al- Khatib, Ushul al- Hadits, Beirut: Dar al- Fikr, 1989, hal.19 dan 26, dan Musthafa al- Siba`I al- Sunnah wa makanatuhu fi al- Tasyr` al- Islami, Beirut: Maktabah al- Islamiyat, 1978, hal. 47
          [6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam , Ensiklopedi Islam , Jild.II, Jakarta: PT.Ikhtiar baru Van Houve, 1994, Cet. Ke 2, hal.225
          [7] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hal.428
          [8] Edi Safri, al- Imam al- Syafi`i , Metode Penyelesaian Hadits- Hadits Mukhtalif, Padang, IAIN IB Press, 1999, hal. 34
         [9] Musthafa al- Shiba`i, Inkar Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Madjid, Judul Asli, al- Sunnah wa Makanatuha fi al- Tsyri al- Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke 1, hal.116
          [10] Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik, Jakarta: Hayfa Press, 2004, Cet. Ke 1, hal. 57
          [11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,  Loc.Cit.
          [12] M, Syuhudi Ismail, Hadits Nabi  Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Ke 1, hal.14
          [13] Muhammad bin Idris al- Syafi`i, al- Umm, Jild.VII, Beirut: Dar al- Fkr, Tth,  hal 287
          [14] Muhammad abu Zahw, al- Hadits wa al- Muhaddisun aw Inayat al- Ummat al- Islamiyat abi al- Sunnah al- Nabawiyat, TK. Al- Maktabat al- Taufiqiyat,Tth, hal. 282
          [15] Edi Safri , Op.Cit., hal. 41
          [16] Dewan Redaksi  Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal 226
          [17] Ibid.
          [18] Edi Safri, Imam Syafi`i, Op.Cit., hal. 35
          [19] Qur`an Surat As-l-syu’ara Ayat: 195
          [20] Qur`an Surat  an-Nahl Ayat:89
          [21] Qur`an Surat  al- An`am Ayat 38
        [22] Qur`an Surat  al- Baqarah Ayat 213
          [23] Musthafa al- Shiba`i, al-Hadits , Op.Cit. , Hal.224
          [24] Qur`an Surat Al- Hijr: Ayat .9
[25] Musthafa al- Shiba`i, Op.Cit., hal.245
[26] Qur`an Surat Al- Isra` Ayat. 36
[27] Qur`an Surat, an-Nisa` Ayat.71
[28] Qur`an Surat Al- Jum`ah Ayat 2
[29] Qur`an Surat al- Ahzab Ayat.34
[30] Imam Syafi`i, Op.Cit., Hal. 228
[31] Ibid.
[32] M. Quraish Shihab, Op.Cit., Hal. 129

0 komentar: