.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Kamis, 10 April 2014

FAWATIH AL-SUWAR




Salah satu ciri kemukjizatan Al-Qur’an adalah bagaimana Allah Swt. mengawali surat-surat di dalamnya dengan huruf-huruf hijaiyah yang terpisah-pisah atau terpotong-potong (al-ahruf  al-muqatha’ah). Huruf-huruf ini dalam studi ilmu-ilmu Al-Qur’an biasa disebut dengan fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat). Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk menggali hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Mayoritas ulama sepakat bahwa fawatih al-suwar termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih, sebab yang dapat mengetahui makna huruf-huruf ini hanyalah Allah Swt. Namun di lain pihak masih ada kelompok mufassir yang berpendirian di samping hanya diketahui ta’wilnya oleh Allah Swt., juga dapat diketahui oleh manusia, tentunya dengan pemahaman yang memadai untuk mengajukan solusi yang sangat variatif.
Hampir menjadi kesepakatan umum bahwa Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an dengan aspek-aspek kemukjizatannya yang antara lain adalah aspek kehalalan berbanding keharaman, aspek keorisinalitasannya, aspek yang dapat dipahami bangsa Arab secara khusus, dan aspek ta’wil yang hanya diketahui oleh Allah Swt. semata. Adapun pembahasan tentang fawatih al-suwar ini termasuk ke dalam aspek yang disebutkan terakhir, yaitu bagian yang ta’wilnya hanya diketahui oleh Allah Swt. semata, dan manusia tidak memiliki otoritas untuk menta’wilkannya.[1]
A.      Pengertian Fawatih al-Suwar
Dari segi bahasa, fawatih al-suwar terdiri dari dua kata, yaitu kata فـواتـح  jamak dari فـاتـح yang berarti permulaan, pembukaan, dan atau pendahuluan.[2] Dan kata السـوار jamak dari  سـورةyang berarti المنـزلة جمع سـور (surat atau kumpulan surat),[3] maksudnya adalah kumpulan dari sejumlah ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan sudah ditentukan jumlahnya. Jadi yang dimaksud dengan fawatih al-suwar adalah pembuka-pembuka surat, dikarenakan posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yang terputus, huruf tersebut sering disebut dengan huruf muqaththa’ah (huruf yang terpisah-terpisah), karena posisi dari huruf-huruf tersebut yang cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun tidaklah berbeda dari lafal yang diucapkan pada huruf hijaiyah.[4]
Menurut Ibn Abi al-Isba’  dalam kitab Al-Khawathir al-Shawanih fi Asrar al-Fawatih yang ditulisnya, dia menggunakan istilah ‘al-Fawatih’ dengan arti jenis-jenis perkataan yang membuka surat-surat dalam Al-Qur’an. Jenis-jenis perkataan itu dibagi menjadi sepuluh kelompok; salah satunya adalah huruf-huruf tahajji (dibaca dengan cara dieja), atau yang biasa kita sebut dengan al-fawatih. Sementara Sembilan jenis lainnya adalah pujian: pujian kepada Allah, baik tahmid maupun tasbih; nida’  (seruan); jumlah khabariyah (kalimat berita); qasam (sumpah); syarat, perintah, doa, dan ta’lil (alasan).[5] Begitu pula dengan Ibn Akhdhar yang berpendapat bahwa fawatihu al-suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dinamakan dengan al-ahruf al-muqaththa’ah (huruf-huruf terpisah), karena posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan.[6]
Mengenai hal ini Al-Zarkasyi berpendapat :
“aspek tersebut merupakan bagian dari sesuatu yang ghaib, seperti ayat-ayat yang membicarakan tentang terjadinya hari kiamat, turunnya hujan, apa yang ada dalam rahim, interpretasi tentang roh, dan huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqaththa’ah). Semua ayat-ayat mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an menurut ahlu al-haq tidak ada tempat bagi ijtihad untuk menafsirkannya dan memang tidak ada jalan untuk menuju kesana kecuali dengan cara mengikuti salah satu dari ketiga hal berikut, yaitu berdasarkan dari nash Al-Qur’an, penjelasan dari Nabi Saw., atau berdasarkan kesepakatan (ijma’) ummat atas ta’wilnya. Jika tidak terdapat penjelasan secara tauqifi dari ketiganya, maka dapat kita ketahui bahwa yang mengetahui ta’wilnya hanyalah Allah Swt. semata”.[7]
Sebagaimana teks-teks mengenai hari kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim dan tentang roh, kutipan di atas mengenai teks yang terkait dengan fawatih al-suwar yang bebentuk huruf-huruf muqaththa’ah merupakan teks-teks yang menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah Swt. sukar dita’wilkan oleh manusia. Sehingga, atas dasar inilah kemudian para sarjana Muslim awal menjadikan ayat-ayat yang semacam ini (fawatih al-suwar) sebagai bagian dari ayat-ayat mutasyabihat, yang hanya dapat diketahui ta’wilnya oleh Allah saja, sebagimana halnya pengetahuan tentang hari kiamat, turunnya hujan, apa yang ada rahim, dan pengetahuan tentang roh.
B.       Bentuk-bentuk Fawatih al-Suwar
Dalam Al-Qur’an terdeteksi sepuluh macam bentuk fawatih al-suwar atau pembuka surat yaitu:[8]
1.         Pembukaan surat dengan lafalالثنـــاء  atau pujian. Ada empat belas surat yang dimulai dengan puji-pujian kepada Allah. Lima surat di antaranya dengan tahmid ( الحمـــدلله ) yaitu pada surat al-Fatihah, al-An’am, al-Kahfi, Saba’, dan Fathir. Tujuh dengan tasbih dalam bentuk masdar, fi’il madhi, dan fi’il mudhari’ yakni al-Isra, al-Hadid, al-Hasyr, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-Tagahabun, dan al-A’la. Dua surat, al-Furqan dan al-Mulk dengan ungkapan تبـــرك .
2.         Pembukaan surat dengan lafal النــداء atau seruan. Ada sepuluh surat yang dimulai dengan seruan seperti Ya ayyuhal Mudatstsir (al-Mudatstsir), Ya ayyuhal Muzammil (al-Muzammil), Ya ayyuhan Nabiyu (al-Ahzab, al-Tahrim, dan al-Thariq), dan Ya ayyuhal Ladzina Amanu (al-Nisa, al-Hajj, al-Ma’idah, al-Hujarat, dan al-Mumtahanah).
3.         Pembukaan surat dengan kalimat الخبــري (khabar atau berita). Dua puluh tiga surat dimulai dengan kalimat berita, yaitu surat al-Anfal, al-Taubah, al-Nahl, al-Anbiya’, al-Mukminun, al-Nur, al-Zumar, Muhammad, al-Fath, al-Qamar, al-Rahman, al-Mujadilah, al-Haqqah, al-Ma’arij, Nuh, al-Qiyamah, ‘Abasa, al-Balad, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Qari’ah, al-Takatsur, dan al-Kautsar.
4.         Pembukaan surat dengan kalimat القســـم atau sumpah. Ada lima belas di antaranya surat al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najmu, al-Mursalat, al-Nazi’at, al-Buruj, al-Thariq, al-Fajr, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, dan al-Ashr.
5.         Pembukaan surat dengan hurufالشــرط  (syarat). Surat al-Waqi’ah, al-Munafiqun, al-Takwir, al-Infithar, al-Insyiqaq, al-Zalzalah, dan al-Nashr adalah tujuh surat yang dimulai dengan huruf syarat.
6.         Pembukaan surat dengan kalimat الأمـــر atau perintah. Enam surat yaitu al-Jin, al-‘Alaq, al-Kafirun, al-Ikhlash, al-Falaq, dan al-Nas.
7.         Pembukaan surat dengan kalimat  الاسثفهـــامatau pertanyaan. Juga enam surat yaitu al-Jatsiyah, al-Naba’, al-Ghasiyah, Alam Nasyrah, al-Fil, serta al-Ma’un. 
8.         Pembukaan surat dengan lafal الدعــاء (doa atau kutukan. Dengan lafal ini terdapat di tiga tempat yaitu al-Muthaffifin, al-Humazah, juga surat al-Lahab.
9.         Pembukaan surat dengan kata التعليــل yang berarti karena. Kata ini hanya terdapat setempat yaitu surat al-Quraisy.
10.     Pembukaan surat dengan huruf المقطعــة (terpotong) atau التهجـــي (hijaiyah). Secara redaksional, bentuk-bentuk fawatih al-suwar yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, di antaranya:[9]
a.         Fawatih al-suwar yang terdiri dari satu huruf. Untuk jenis yang pertama ini dapat dijumpai di tiga tempat, yaitu surat Shad yang diawali dengan huruf ص ; Qaf yang diawali dengan huruf ق ; dan al-Qalam yang diawali dengan huruf  ن.
b.        Fawatih al-suwar yang terdiri dari dua huruf. Jenis yang kedua ini dapat dijumpai pada sepuluh tempat. Tujuh di antaranya diawali dengan dua huruf حـــم , sehingga biasa disebut juga dengan nama حَـــوَمٍ yang merupakan bentuk jamak dari حـــم . Ketujuh surat dimaksud adalah al-Mukmin, Fushshiiat, al-Syuara’,[10] Al-Zukhruf, al-Dukhan, al-Jatsiyah, serta al-Ahqaf. Sementara itu, tiga tempat lain adalah surat Thaha yang diawali dengan huruf طـــه ; al-Naml yang diawali dengan طـــس ; dan Yasin yang diawali dengan يـــس .
c.         Fawatih al-suwar yang terdiri dari tiga huruf, hal ini dapat ditemukan pada 13 tempat, enam di antaranya diawali dengan huruf الـــم , yaitu pada surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum, Luqman dan al-Sajadah. Lima surat lainnya diawali dengan huruf-huruf الـــر , yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr. Sedangkan dua surat lainnya lagi diawali dengan huruf-huruf طـســم , seperti yang terdapat pada surat al-Syu'ara dan al-Qashash.
d.        Fawatih al-suwar yang terdiri dari empat huruf, di antaranya terdapat pada dua tempat, surat al-A’raf yang diawali dengan المـــص dan al-Ra’d yang diawali dengan المـــر .
e.         Fawatih al-suwar yang terdiri dari lima huruf. Untuk jenis yang terakhir ini dapat ditemui hanya pada satu tempat, yaitu surat Maryam yang diawali dengan كــهــيــســص .

Dari kelima kategori fawatih al-suwar yang berbentuk huruf-huruf muqaththa’ah pada 29 tempat atau surat dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas, jika dihitung secara tidak berulang, maka terdiri dari empat belas bentuk, yaitu:
الم        = pada permulaan surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Ankabut, al-Rum,
               Luqman, dan al-Sajadah
الر        = pada permulaan surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr
الص     = pada permulaan surat al-A’raf
المر      = pada permulaan surat al-Ra’d
كهيعص = pada permulaan surat Maryam
طه        = pada permulaan surat Thaha
طسم      = pada permulaan surat al-Syu’ara’
طس      = pada permulaan surat al-Naml
يس       = pada permulaan surat Yasin
ص       = pada permulaan surat Shad
حم        = pada permulaan surat al-Mu’min, Fushilat, al-Zukhruf, al-Dukhan, al-
               Jatsiyah, dan al-Ahqaf
حمعسق = pada permulaan surat al-Syura
ق         = pada permulaan surat Qaf
ن          = pada permulaan surat al-Qalam

Adapun huruf-huruf hijaiyah yang paling banyak digunakan secara berurutan adalah huruf ,ك ,ق ,ع ,ي ,ص ,ط ,س ,ر ,ه ,م ,ل ,ا  dan ن . Dari sini dapat diketahui bahwa Al-Qur’an menggunakan huruf-huruf itu, hampir separoh dari jumlah keseluruhan huruf-huruf hijaiyyah yang dikenal. Jika dilakukan penelitian lebih lanjut maka akan ditemukan bahwa ayat-ayat setelah huruf-huruf muqaththa’ah berbicara tentang tema Al-Qur’an, misalnya :

كهيعص ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا

Artinya: Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hambanya, Zakaria.[11]
طسم تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ
Artinya: Thaa Siin Miim. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan.[12]

يس وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ

Artinya: Yaa Siin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah.[13]
Perbedaan karaktristik lain adalah dari segi penempatannya yang berulang-ulang pada surat yang berlainan, misalnya ,الر ,الم   dan  حم. Ada juga yang hanya ditempatkan dalam satu surat, semisal huruf ن . Juga akan ditemukan bahwa surat-surat yang dimulai dengan huruf yang sama, isi dan ciri-cirinya juga hampir sama dan hal itu tidak dijumpai pada surat-surat yang lain.
C.      Sikap Para Ulama terhadap Fawatih al-Suwar
Dari kesepuluh bentuk fawatih al-suwar, yang sering menimbulkan kontroversi di antara para ulama adalah pembuka surat yang berbentuk huruf-huruf muqaththa’ah, ini terbukti dari berbagai pembahasan yang dilakukan oleh para ulama. Sepanjang sejarah, para ulama telah berusaha untuk memahami dan menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam huruf-huruf penggalan (huruf muqaththa’ah) tersebut. Dari usaha-usaha yang telah dilakukan itu, setidaknya terdapat dua kubu ulama dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1.        Penafsiran yang memandang huruf-huruf tersebut termasuk ke dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah Swt. semata.
Kelompok yang disebutkan pertama ini, lebih banyak dianut oleh ulama salafi, menghadapi permasalahan demikian, mereka lebih bersikap hati-hati. Kelompok ini dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki solusi yang jelas dan bahkan tidak mengajukan solusi apapun mengenai makna fawatih al-suwar ini. Hal ini disebabkan karena mereka berpendapat bahwa huruf-huruf yang mengawali surat Al-Qur’an itu sudah dikehendaki Allah Swt. sejak zaman azaly, dan berfungsi sebagai argumen untuk mematahkan kesanggupan manusia dalam membuat yang semisal dengan Al-Qur’an.[14] Menurut mereka bahwa fawatih al-suwar itu merupakan kelompok ayat-ayat mutasyabih yang tidak dapat diketahui ta'wilnya kecuali hanya Allah Swt. semata.
Di antara para ulama yang berpendapat demikian adalah Ali bin Abi Thalib, yang mengatakan: “Sesungguhnya setiap Kitab Suci mempunyai keistimewaan (shafwah), dan keistimewaan Kitab Suci ini (Al-Qur’an) adalah huruf-huruf tahajji (hijaiyah)”. Juga ucapan Abu Bakar al-Shiddiq: “Setiap Kitab Suci mempunyai rahasia, dan rahasia Kitab Al-Qur’an adalah huruf-huruf yang mengawali surat-surat (awailu al-suwar)”. Demikian juga para ahli hadis yang mengetengahkan sebuah riwayat yang datangnya dari Ibn Mas’ud bahwa Khulafa al-Rasyidin berkata: ‘Sesungguhnya huruf-huruf ini (fawatih al-suwar) merupakan ilmu yang tertutup dan mengandung rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Swt. semata”.[15]
Pendapat lain dikemukakan oleh Imam Al-Syafi bahwa huruf-huruf awal surat merupakan rahasia Al-Qur’an. Sehingga banyak para mufassir yang hanya memperkirakan maknanya. Hal ini disibabkan keterbatasan pemahaman dan latar belakang pengetahuan mereka, untuk makna hakiki ayat-ayat itu dikembalikan kepada Allah Swt. Menurut Al-Suyuthi, pembukaan-pembukaan surat (awailu al-suwar) atau huruf-huruf potongan (al-huruf al-muqatta’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya. Pendapat ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Swt., menurut Al-Suyuti, adalah pendapat yang mukhtar (terpilih).[16]

2.        Penafsiran yang memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan kata atau kalimat tertentu yang mempunyai kemungkinan untuk dita’wilkan maknanya.
Kelompok yang disebutkan terakhir ini berpendapat bahwa “huruf-huruf misterius” atau fawatih al-suwar atau huruf-huruf muqaththa’ah yang terdapat dalam Al-Qur’an disamping hanya diketahui ta’wilnya oleh Allah Swt., juga dapat diketahui oleh manusia. Mereka memandang bahwa huruf-huruf itu sebagai singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat tertentu. Mereka mengajukan solusi yang sangat bervariasi tentang pemaknaan huruf-huruf tersebut.
Penafsiran yang berkembang mengenai huruf-huruf ini dapat dilihat pada kitab Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Zarkasyi dan Al-Itqan fi ‘Ulum al- Qur’an karya Al-Suyuthi. sebagai berikut:[17]
الم           = al-rahman, ana Allah a’lam, atau Allah lathif majid
الر          = al-rahman, atau ana Allah ara
الص        = Allah al-rahman al-shamad, al-mushawwir, ana Allah afdhal, ana Allah
                 al-shadiq, dan alam nashrah laka shadrak’
المر         = ana Allah a’lam wa ara
كهيعص   = kafin hadin amin aziz shadiq, karim hadin hakim ‘alim shadiq, al-malik
                 Allah al-aziz al-mushawwir, al-kafi al-hadi al-alim al-shadiq, kafin ha-
                din  amin ‘alim shadiq, atau ana al-kabir al-hadi aliyyun amin shadiq
طه          = dzu al-thawl
طسم        = dzu al-thawl al-quddus al-rahman
طس        = dzu al-thawl al-quddus
يس          = Ya sayyid al-mursalin
ص          = shadaqallah, uqsimu bi al-shamad al-shani’ al-shadiq, shadi ya Muham-
                 mad ‘amalaka bi al-qur'an, atau shadi muhammad qulub al-ibad
حم           = al-rahman al-rahim
حمعسق    = al-rahman al-‘alim al-quddus al-qahir
ق            = qadir, qahir, qudli al-amr, atau uqsimu bi quwatin qalb muhammad
ن            = al-rahman, nur, nashir, atau al-hut

Pandangan tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan kata atau kalimat tertentu, seperti terlihat di atas, sebagian besarnya bersumber dari Ibn Abbas, salah seorang sepupu Nabi, yang dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar dalam tafsir Al-Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius tersebut telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak terbatas. Seseorang bisa saja mengartikan huruf-huruf itu selaras dengan gagasan yang dikehendakinya, baik dengan pijakan artifisial ataupun tanpa pijakan yang masuk akal. Satu-satunya pemaknaan yang agak logik adalah pemaknaan huruf  ن  di awal surat al-Qalam sebagai al-hut (ikan). Huruf  ن  yang dialihkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan”, dan dalam ayat 48 surat yang sama, Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shahib al-hut juga bernama dzu al-nun.[18]
Pendapat kelompok kedua ini juga diperkuat dengan pendapat Imam Mujahid berkenaan dengan firman Allah Swt.tentang ayat-ayat mutasyabihat:
... وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ
Artinya: ... padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.[19]

Seandainya orang-orang yang mendalami ilmunya tidak dapat mengetahui ayat-ayat mutasyabihat, dan hanya mengatakan “kami beriman kepadanya”, ini artinya bahwa mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang yang bodoh (al-jahil), sebab kesemuanya -baik yang pandai maupun yang bodoh- akan mengatakan hal yang sama. Sampai saat ini, kami belum melihat para mufassir yang berusaha menahan diri dalam menghadapi Al-Qur’an. Mereka mengatakan: “Ini termasuk ayat-ayat mutasyabih yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah semata”, tetapi mereka tetap menafsirkannya, bahkan mereka menafsirkan huruf-huruf penggalan (muqaththa’ah)”.[20] Sama halnya dengan pendapat Ibnu Qatadah, menurut beliau bahwa tidak mungkin Allah Swt. menurunkan sesuatu yang ada di dalam Al-Qur’an kecuali akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi hamba-Nya, dan tentu ada sesuatu yang bisa menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki-Nya.[21]
Senada dengan pendapat ulama-ulama di atas, untuk melegitimasi doktrin-doktrinnya kelompok Theologi biasanya juga menafsirkan Al-Qur’an pada tema fawatih al-suwar, kelompok golongan Syi’ah misalnya, yang mengatakan bahwa jika pengulangan dalam kelompok huruf itu dibuang, akan terbentuklah sebuah pernyataan  صراط علي علي حق (jalan yang ditempuh Ali adalah kebenaran). Sebagaimana Syi’ah, ulama golongan Sunni juga tidak ketinggalan membuat pernyataan sebagai bantahan terhadap Syi’ah bahwa yang benar menurut mereka adalah مع السنة  طريقك صح (telah benar jalanmu dengan mengikuti sunnah).[22]
Tidak hanya dari kalangan Islam, orang-orang Yahudi juga tertarik mencoba menta’wilkan makna huruf-huruf tersebut. Bagi mereka bahwa huruf-huruf penggalan (huruf al-muqatha’ah) tersebut penafsirannya berhubungan dengan angka-angka, sehingga dapat diketahui berapa lama dominasi Islam secara politis. Hal ini bisa ditunjukkan oleh riwayat Ibn Ishaq dari Ibn Abbas tentang seorang Yahudi Abu Yasar bin Akhthab dan saudaranya Hayy bin Akhthab serta beberapa orang lainnya pernah menjumpai Rasulullah Saw. kemudian berdialog tentang ramalan keberlangsungan agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya mengacu pada isi kitabnya masing-masing. Mereka meramalkan lama waktu atau masa keberlangsungan agama Islam dengan berpedoman kepada jumlah huruf-huruf muqaththa’ah, namun pada akhirnya mereka menemui kesulitan.[23]
Model penta’wilan seperti di atas, dijadikan landasan bagi kebanyakan orang-orang salaf untuk menyingkap masa dan keberlangsungan dunia dan alam semesta. Al-Suhailiy merupakan salah seorang yang berpendapat demikian. Mengenai hal ini Ibn Khaldun mengatakan, bahwa Al-Suhailiy mengumpulkan huruf-huruf penggalan (al-huruf al-muqatha’ah) pada awal surat setelah membuang huruf-huruf yang diulang-ulang. Ia mengatakan jumlahnya ada 14 huruf yang dikumpulkan dalam suatu perkataan Alam Yasti’ Nashshu Haqqi Karihin. Kemudian ia menghitungnya dengan perhitungan jumal (bi hisab al-jumali), sehingga jumlahnya ada 703 yang dihubungkan dengan jumlah tahun sebelum diutusnya Nabi. Ini merupakan masa kelangsungan agama Islam. Lebih lanjut ia mengatakan: Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa yang demikian itulah yang dimaksudkan oleh huruf-huruf tersebut.[24]
Menurut Ibn Khaldun bahwa penta’wilan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap huruf-huruf yang demikian tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk memperkirakan usia suatu agama. Menurutnya, ada dua alasan kenapa penta’wilan yang demikian harus ditolak, yaitu pertama, bahwa dalalah (petunjuk) huruf-huruf tersebut pada angka (al-arqam) bukanlah makna yang bersifat alamiyah (thabi’iyah) atau rasional (‘aqliyah), tetapi merupakan dalalah urfiyah (makna konvensional); kedua, bahwa orang-orang Yahudi menjadikan makna yang demikian lebih dekat kepada ke-baduwi-annya dan ke-ummy-annya dalam pengertian kultural (al-tsaqafiy wa al-hadhariy). Oleh karenanya pendapat dan ijtihad mereka tidak dapat dijadikan kesimpulan dalam persoalan seperti ini.[25]
Kaum Orientalis juga tidak ketinggalan berusaha memaknai lafal-lafal tersebut. W. Montgomery Watt dalam bukunya Bell’s Introduction to the Quran memaparkan bahwa Noldeke -orientalis asal Jerman- adalah orang yang pertama kali mengemukkan dugaan bahwa huruf-huruf itu menunjukkan nama-nama para pengumpul ayat pada surat tersebut. Seperti huruf س   sebagai kependekan nama dari Sa’id bin Waqash,  م  nama Mughirah, ن  kependekan dari Utsman bin Affan, dan ه untuk Abu Hurairah. Cara ini diikuti oleh Hircfeld dengan hasil pemikirannya yang sedikit berbeda. Beda halnya dengan Alan Jones berdasarkan beberapa hadits, ia berpendapat bahwa pada beberapa kesempatan, kaum muslimin meneriakkan semboyan perang Hamim (artinya mereka akan dibantu). Selanjutnya Ia menekankan bahwa huruf-huruf itu merupakan simbol mistik yang memberikan kesan bahwa kaum muslimin mendapat bantuan dari Allah. Namun akhirnya Watt mengakui bahwa dalam kasus-kasus ini, pemecahan masalah oleh Noldeke, Hircfeld dan Jones tidak masuk akal.[26]
Gagasan-gagasan tentang makna huruf-huruf misterius yang diajukan kelompok terakhir ini juga telah terjerat ke dalam wilayah spekulasi yang tidak terbatas. Sekalipun demikian, kedua pandangan telah meletakkan preseden yang cukup solid untuk spekulasi tafsir sarjana-sarjana Muslim belakangan tentang makna fawatih al-suwar. Meskipun penafsiran-penafsiran yang muncul belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan masih belum dapat keluar dari gagasan-gagasan klasik tersebut, sekalipun beberapa di antaranya telah dilengkapi dengan improvisasi atau varian lainnya.

D.      Hikmah Fawatih al-Suwar
Al-Qur’an yang diturunkan di tengah masyarakat Quraisy notabene ahli  dalam kebahasaan, tentunya mempunyai keistimewaan dalam aspek kebahasaan mengingat eksistensinya sebagai mukjizat. Dengan pembahasan fawatih al-suwar ini akan terungkaplah mukjizat yang terkandung di dalamnya serta menyadari keterbatasan akal manusia dalam memahami sesuatu yang sifatnya ghaib. Selanjutnya niscaya akan memberikan pemahaman ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa digunakan.[27]
Berkaitan dengan hal di atas, Al-Sya’by pernah berkata:
إن لكل كتاب سر او سر هذا القرأن فواتح السور
Artinya: Sesungguhnya bagi tiap-tiap kitab memilki rahasia, dan sesungguhnya rahasia Al-Qur’an ini adalah pembukaan-pembukaan surat.[28]

Menurut sebagian mufassir, bentuk fawatih al-suwar ini berfungsi untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan akal mereka. Meskipun Al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf ejaan yang mereka kenal, datang dalam bentuk tersusun dari beberapa huruf, bahkan ada yang hanya satu huruf tunggal, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang setanding dengan Al-Qur’an. Pendapat lain, mengenai fawatih al-suwar dapat digunakan sebagai tanbih (peringatan) sebelum melontarkan uraian Al-Qur’an, dalam arti menyadarkan perhatian pendengar, dikarenakan setelah adanya huruf-huruf tersebut pada umumnya Allah Swt. menerankan perihal al-Kitab dan kenabian. Ini berbanding terbalik dengan kata-kata peringatan yang biasa digunakan dalam bahasa Arab.[29]
Tentang siapa yang diperingatkan oleh Allah Swt. sebagian ulama sepert Al-Khuwaibi, berpendapat bahwa Nabi Muhammad-lah yang diperingatkan agar di tengah-tengah kesibukan dunianya, beliau berpaling kepada Jibril untuk mendengarkan ayat-ayat yang disampaikan kepadanya. Klarifikasi dilakukan oleh Rasyid Ridha, menurutnya tanbih tersebut ditujukan kepada orang-orang musyrik Mekah, di saat mereka mengajurkan untuk tidak mendengarkan Al-Qur’an di waktu Nabi membacanya, ketika mendengar huruf-huruf muqaththa’ah ini mereka heran dan merasa penasaran untuk mendengarkan bacaan Nabi, hal ini juga dapat ditujukan pada Ahli Kitab Madinah.[30]
Fungsi lain fawatih al-suwar adalah untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-bentuk penyampaiannya, dengan sarana pujian melalui huruf-huruf. Selain itu, ia dipandang merangkum segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini, surat al-Fatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat di dalam Al-Qur’an.[31]
Pernyataan bahwa Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum bagi umat Islam memiliki keistimewaan baik dari segi makna maupun dari bahasa tidaklah merupakan sebuah pernyataan yang tidak berdalil. Allah Swt. telah beberapa kali menyampaikan perihal keistimewaan Al-Qur’an. Satu lagi keistimewaan Al-Qur’an yang terungkap dengan adanya pembahasan fawatih al-suwar yang  dalam Al-Qur’an biasa disebut juga dengan awa’ilu al-suwar, al-ahruf al-muqaththa’ah atau yang dalam terminologi sarjana Barat dijustifikasi sebagai huruf-huruf misterius (the mystical letters of the Qur’an).
Tanpa menafikan bentuk yang lainnya, pembahasan yang dilakukan para ulama terhadap bentuk huruf muqatta’ah sebagai pembuka surat-surat Al-Qur’an mendapatkan perhatian lebih dan tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sehingga tidak mengherankan jika huruf-huruf tersebut sering dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, hanya Allah Swt. yang dapat mengetahui maknanya, meskipun masih ada pihak yang berpendapat boleh mencoba menta’wilkannya dengan kedalaman ilmu.[32]
Penting untuk diketahui bahwa dengan membahas fawatih al-suwar yang berbentuk huruf-huruf mistis dalam Al-Qur’an, setiap orang akan selalu berusaha untuk menafsirkan makna apa yang terkandung di dalamnya. Hal yang demikian memberikan udara pemikiran yang berbeda dan bersifat kontinuitas karena penggalian makna yang tidak bersifat  dogmatis, pemahaman yang berbeda ini  disebabkan perbedaan setiap orang dalam  menanggapi sebuah gambaran inderawi.
Inilah kemungkinan salah satu rahasia mengenai kebenaran hakiki yang terdapat dalam Al-Qur’an serta hanya berada pada sisi Allah Swt. secara mutlak. Allah A’lam bi al-Shawab.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.)

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th)

Al-Zarkasyi, Badruddin, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972)

Amal, Taufiq Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta; FkBA, 2001)

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Boullata, Issa J., Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Tangerang: Lentera Hati, 2008)

Chirzin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999)

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya

Hidayat, Rahmad Taufiq, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989)

Ichwan, Mohammad Nor, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008)

Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-haya’at Turas al-Arabi, 1992), juz VI

Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1978)

Wahid, H. Ramli Abdul, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Watt, W. Montgomery, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburg University Cress)

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), cet. VIII

Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabi, 1998)

Zaini, Hasan & Hasnah, Radhiatul ‘Ulum Al-Qur’an, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2010)


[1] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), h. 167
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), cet. VIII, h. 307
[3] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar al-haya’at Turas al-Arabi, 1992), juz VI, h. 427
[4] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999) h. 62. Lihat juga Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum Al-Qur’an, (Batusangkar: Stain Batusangkar Press, 2010), h. 165
[5] Issa J. Boullata, Al-Qur’an yang Menakjubkan, (Tangerang: Lentera Hati, 2008) h. 290-291
[6] Ibid
[7] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972), h. 166
[8] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 206-207. Lihat juga Rahmad Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989), h. 176-178. Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum..., h. 166
[9] Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.), h. 234-235. Lihat juga Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 135-136. Mohammad Nor Ichwan, Studi..., h. 171-173. Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum..., h. 169-169.
[10] Surat al-Syuara’ ini secara khusus termasuk dalam kategori surat-surat yang diawali dengan dua huruf, sekalipun setelah huruf حــم   dilanjutkan dengan tiga huruf  عســق
[11] SQ. Maryam: 1-2. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
[12] SQ. al-Syura: 1-2. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
[13] SQ. Yaasiin: 1-2. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
[14] Subhi al-Shalih, Mabahits..., h.236
[15] Ibid
[16] H. Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h.103
[17] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan..., h. 166. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h. 206-207. Subhi al-Shalih, Mabahits..., h. 174
[18] Surat al-Qalam ayat 1 dengan arti “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Salah satu tafsiran terhadap huruf ن, -dikalangan ulama yang memaksakan untuk mencari ta’wil fawatih al-suwar- adalah al-Hut atau ikan. Hal ini dapat dimunasabahkan pada ayat 48 “Maka Bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).  Lihat Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta; FkBA, 2001), h. 218
[19] QS. Ali Imran: 7, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
[20] Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan..., jilid I, h. 73
[21] Rosihon Anwar, Ulumul..., h. 136
[22] Term sunnah yang terdapat pada pernyataan tersebut merujuk kepada aliran theologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Lihat Subhi al-Shalih, Mabahits..., h.237
[23] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabi, 1998), h. 189-190
[24] Ibid
[25] Ibid..., h.190-191
[26] W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburg University Cress), h. 64
[27] Rosihon Anwar, Ulumul..., h. 142
[28] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h.206
[29] Ibid..., h. 206-207 Lihat juga Ramli Abdul Wahid. Ulumul..., h. 104.
[30] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h.207. lihat juga Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1978), h. 330
[31] Hasan Zaini & Radhiatul Hasnah, ‘Ulum..., h. 174
[32] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan..., h. 208 Lihat juga Subhi al-Shalih, Mabahits..., h.283

0 komentar: