.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Kamis, 17 April 2014

SEJARAH HADIS NABI SAW -Part II - HADIS MASA KODIFIKASI


*Desri Nengsih*

Hadis merupakan sumber hukum utama setelah al-Qur’an, keberadaannya merupakan suatu bukti nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung didalamnya (al-Qur’an), karena hadis pada hakikatnya adalah sebagai penjelas atau praktek dari ajaran al-Qur’an, bahkan dalam sebagian hukum adanya hadis yang tersendiri dalam menetapkannya tanpa adanya nash dari al-Qur’an. Semua ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya keberadaan hadis terhadap al Qur’an, yang keduanya merupakan dwi tunggal yang tak bisa dipisahkan, namun bukan berarti kedudukan keduanya sejajar. Sebagaimana Muhammad Abu Syahbah mengatakan ”Sekiranya tanpa sunnah, niscaya al-Qur’an tak akan dikenal, al-Qur’an akan menjadi sesustu yang asing[1].
Beranjak dari hal tersebut, maka merupakan hal yang sangat penting sekali untuk mengkaji sejarah pengkodifikasian hadis yang sangat berbeda sekali dengan pengkodifikasian al-Qur’an yang sudah terjamin keotentikan dan kevaliditasannya yang sejak awal telah mendapat perhatian khusus baik dari Rasululllah sendiri maupun dari kalangan sahabat untuk menghafal, menulis dan mengkompilasikannya. Adapun hadis pengkodifikasiannya secara resmi baru dimulai pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz pada tahun 99H, merupakan renggang waktu yang jauh sekali dari Rasulullah. Sehingga keadaan ini sangat memicu sekali timbulnya berbagai pertikaian tentang keotentikan hadis dan baru mencapai masa keemasan atau kecemerlangannya pada abad ketiga Hijriyah yang dikenal dengan “’ashru al zahaby[2]”.
Maka dalam tulisan kali ini melanjutkan dari tulisan sebelumnya, penulis akan mencoba untuk memaparkan tentang sejarah hadis masa kodifikasi, yang terdiri dari beberapa permasalahan pokok yaitu: pengertian kodifikasi (al tadwîn) dan penulisan (al kitâbah) serta perbedaan antara keduanya. Kemudian dilanjutkankan dengan latar belakang timbulnya pengkodifikasian hadis, upaya dan hasil yang dicapai serta perkembangan pembukuan hadis sampai sekarang. Hingga kita dapat mengetahui bagaimana kesungguhan para ahli hadis dalam memelihara dan menjaga sumber syari’at yang kedua ini dari pemusnahan dan pemalsuan.
A.  Pengertian penulisan (al Kitâbah) dan kodifikasi (al Tadwîn) serta perbedaan keduanya.
Al kitâbah adalah masdar dari kataba, yaktubu, kitâbatan yang bermakna khoththohu yaitu menulis sesuatu[3]. Adapun yang dimaksud dengan kitâbah al hadîs adalah penulisan hadis yang dilakukan oleh inisiatif perorangan tanpa adanya perintah dari penguasa negara (khalifah) atau penulisan hadis yang dilakukan oleh individu karena kepentingan pribadi. Seperti halnya sudah terjadi dari masa Rasulullah dengan banyaknya dari sahabat yang menulis hadis Nabi pada waktu itu, meskipun jumlah hadis yang mereka tulis berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari  sahabat pada waktu itu menjadikan hadis-hadis yang sudah ditulisnya sebagai koleksi pribadi mereka.
Adapun kodifikasi yang dalam bahasa arab dikenal dengan al tadwîn dan dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan codification yaitu bermakna mengumpulkan dan menyusun[4]. Dan imam al Zahrâni mengatakan bahwa tadwîn adalah:
تَقْيِيْدُ المُتَفَرِّقِ المُشَتَتِ وَجَمْعُهُ في دِيْوَانٍ أو كِتَابٍ تَجْمَعُ فيه الصُّحُفُ[5]
“Mengikat yang berserak-serak kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”.

Adapun tadwîn al hadîs atau kodifikasi hadis disini adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis Nabi atas perintah resmi dari khalifah bukan dilakukan atas perorangan atau untuk kepentingan pribadi[6].
Kodifikasi hadis yang dimaksud disini adalah penulisan, penghimpunan dan pembukuan hadis-hadis Nabi yang dilakukan berdasarkan perintah resmi dari khalifah ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz (99-110H\717-720M), khalifah kedelapan Bani Umayyah, yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama diberbagai daerah hingga pada masa-masa berikutnya hadis-hadis terbukukan dalam kitab-kitab hadis.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara penulisan (Kitâbah) dan kodifikasi (Tadwîn) hadis adalah:
1.  Kitâbah al hadîs dilakukan oleh perorangan\individu, sedangkan tadwîn al hadîs dilakukan oleh lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat.
2.  Kegiatan kodifikasi hadis (tadwîn al hadîs) tidak hanya menulis, tetapi juga mengumpulkan, menghimpun serta mendokumentasikannya.
3.  Kegiatan Kitâbah al hadîs sudah dimulai pada masa Rasulullah, sedangkan tadwîn al hadîs baru nampak gerakannya pada abad kedua Hijriyah yang diprakarsai oleh ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz.
4.  Tadwîn al hadîs dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggap kompeten terhadapnya, sedangkan Kitâbah al hadîs dilakukan oleh  setiap orang untuk kepentingan pribadi.

Dari perbedaan diatas jelas sekali bahwa kitâbah bukanlah tadwîn, tadwîn adalah marhalah kedua setelah kitâbah. Oleh karena itu, sunnah ditadwînkan pada awal abad kedua Hijriyah setelah terlebih dahulu melalui proses kitâbah yang sudah ada semenjak masa Rasulullah. Sehingga dari sini dapat kita pahami, bahwa untuk memelihara sunnah tidak hanya melalui kitâbah saja, akan tetapi kitâbah besama hafalan seperi halnya yang dilakukan oleh ahli-ahli hadis dalam perjalanannya melakukan kodifikasi hadis.
B.  Sejarah hadis masa kodifikasi
Ide pengkodifikasian hadis Nabi secara tertulis pertama kali dikemukakan oleh ‘Umar bin al Khattab (wafat tahun 23H\644M). Untuk merealisasikan idenya, ‘Umar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi ketika itu, sebagaimana diceritakan dari ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Umar ketika berkeinginan untuk menuliskan hadis-hadis Nabi, dia meminta pendapat para sahabat dan bermusyawarah bersama mereka, hingga semuanya sepakat untuk menuliskannya, namun setelah ‘Umar melakukan istikharahnya kurang lebih satu bulan, dia berazam bahwa ia tidak akan melakukan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis karena khawatir umat Islam akan berpaling dari al Qur’an dan sibuk dengan hadis[7].
Sebagian ulama berpendapat, sebagaimana dalam kitab Thabaqât ibn Sa’ad, Tahzîb al Tahzîb dan Tazkirah al Huffâzh, bahwa pengumpulah hadis sudah dimulai pada masa ‘Abd al ‘Aziz bin Marwan bin Hakam (w. 706M) yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Mesir[8]. Ia memerintahkan Katsir bin Murrah al Hadhramiy (w. 688M) seorang tabi’in dari Himsa yang pernah bertemu dengannya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis Rasulullah yang diterimanya dari para sahabat[9]. Tetapi menurut pendapat mayoritas ulama hadis, kodifikasi hadis secara resmi pertama kali dilakukan pada masa ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz ketika menjadi khalifah Bani Umayyah (99 – 101H), anak dari ‘Abd al‘Aziz bin Marwan bin Hakam, yang mana pada waktu itu tidak ada lagi larangan dalam menulis hadis. Menurut ahli hadis, bahwa apa yang terjadi pada masa ‘Abd al‘Aziz bin Marwan lebih bersifat gagasan, atau kalaupun sudah terjadi kodifikasi, lingkungannya lebih sempit hanya dalam batas wilayah Mesir saja tidak keseluruhan wilayah Islam sebagaimana masa ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz.
Dengan demikian, bahwa kodifikasi hadis secara resmi terjadi pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah[10]dengan mengirim surat keseluruh pejabat dan ulama dibeberbagai daerah untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis Nabi[11]. Dan diantara ulama hadis pada waktu itu yang berhasil menghimpun dan mengumpulkan hadis Nabi atas perintah Khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab al Zuhri (w. 124H\742M)[12]. Dia berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal yang kemudian dikirim oleh khalifah keberbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya[13]. Sehingga ia dikenal dengan orang yang pertama kali melakukan pengkodifikasian hadis atas perintah khalifah.
C.  Latar belakang ide pengkodifikasian hadis
Munculnya ide pengkodifikasian hadis yang dipelopori oleh ‘Umar bin Abd al ‘Aziz  dilatar belakangi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
1.    Faktor internal pengkodifikasian hadis[14]
Adapun faktor internal dilakukannya pengkodifikasian hadis adalah:
a). Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, karena hadis disamping sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur’an, juga merupakan panduan bagi umat  Islam dalam menjalankan ibadah dalam kehidupan sehari-hari serta pemberi petunjuk kepada manusia untuk keselamatan menempuh kehidupan dunia dan akhirat.
b). Sudah terbentukya potensi dalam diri umat Islam seiring dengan sudah tersedianya sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan, dan pembukuan hadis, dan kepandaian tulis baca yang semakin meluas dikalangan bangsa Arab serta semakin bersemangat memelihara dan membina sunnah Nabi, baik dalam mencari, memahami, menghafal, dan menyebarkannya.  
c). Sudah adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis saat itu, karena al Qur’an telah dihafal oleh ribuan orang, telah dikumpulkan dan dibukukan, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara al Qur’an dan Hadis.
d). Para periwayat dan penghafal hadis semakin berkurang pada akhir abad 1 H karena banyak yang meninggal dunia dalam berbagai peperangan. Inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kodifikasi hadis, sebagaimana terlihat dalam naskah-naskah surat yang dikirimkan khalifah kepada para ahli hadis diberbagai daerah.
e). Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian meriwayatkannya karena hadis merupakan sebuah warisan yang sangat berharga sebagaimana Nabi Saw mangatakan bahwa beliau meniggalkan dua hal yang jika umat Islam berpegang pada keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya yaitu al Qur’an dan Sunnah.

2. Faktor eksternal pengkodifikasian hadis
Penyebab dilakukannya kodifikasi hadis yang bersifat eksternal atau karena pengaruh yang datang dari luar adalah:
      a). Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar keberbagai daerah. Dengan tersebarnya para sahabat atau penghafal hadis diberbagai daerah, hadis-hadis dikhawatirkan lama kelamaan hilang bersamaan dengan meniggalnya para penghafal hadis didaerah tersebut.
        b). Kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan aliran di kalangan umat Islam semakin marak seperti khawarij, syiah, raudhah dan lain-lain. Keadaan ini, apabila dibiarkan terus akan merusak kemurnian ajaran Islam, juga dikhawatirkan akan bercampurnya antara hadis yang shahih dengan hadis yang tidak shahih, sehingga upaya menyelamatkan hadis dengan cara membukukannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.
Dengan demikian jelaslah bahwa faktor terpenting dilakukannya pengkodifikasian hadis adalah semata-mata untuk menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari kepunahan dan pemalsuan.
D.  Upaya pengkodifikasian hadis dan hasilnya
Semenjak munculnya ide pengkodifikasian hadis dari ‘Umar, maka segala usaha dan upaya dilakukannya agar hadis-hadis Nabi segera terkumpul dan tersebar keberbagai penjuru. Hal itu dimulai ‘Umar dengan cara mengirim surat keberbagai ulama diberbagai belahan yang berisikan agar segera menulis hadis-hadis Nabi yang ada disana ataupun dengan cara mentasji’ atau memberikan motivasi-motivasi tentang pentingnya untuk menulis dan menghimpun hadis. Sebagaimana ‘Umar menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr Bin Hazm (w. 117H) yang pada waktu itu menjabat sebagai gubenur  dikota Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis Nabi dari para penghafalnya yang ada dikota Madinah,
     و َ كَتَبَ عُمَرُ بنُ عَبْدِ العَزِيْزِ إلي أَبِى بَكْرٍ حَزْمٍ : أُنْظُرْ مَا كان منْ حَدِيْث رسول الله صلى الله عليه وسلم فأْكْتُبْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دروسَ العلمِ  و ذَهابَ  العلماء......[15]
Kemudian ‘Umar juga menginstruksikan kepadanya agar mengumpulkan hadis-hadis Nabi yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al Rahman al Anshary (seorang murid kepercayaan ‘Aisyah) dan al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr ( seorang fuqaha’ dikota Madinah).
Instruksi yang sama juga diterima oleh Muhammad bin Syihab al Zuhri (w. 124H) seorang ulama besar dikota Hijaz dan Syam, yang dinilai oleh khalifah sebagai orang yang banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Sebagaimana ‘Amr bin Dinar mengakui keutamaanya dengan berkata : ”Aku tidak melihat ada orang yang yang pengetahuannya terhadap hadis melebihi al-Zuhri”, ‘Umar bin ‘Abd al‘Aziz , Ayyub dan al Layts juga berkata: “ tidak ada ulama yang lebih tinggi kemempuannya khususnya dibidang hadis dari pada Muhammad bin Syihab al Zuhri.
Ketika instruksi tersebut sampai kepada mereka, awalnya para ahli hadis sebenarnya enggan untuk menulis  hadis yang ada pada mereka atau hadis yang ada dalam hafalan mereka, karena tingkat intelektualitas mereka diukur dengan hafalan bukan dengan tulisan. Ini terlihat dari ungkapan sebagian mereka:
إن الأمراء أكرهونا على كتابة الأحاديث[16]
Namun karena alasan yang rasional dari instruksi tersebut ditambah lagi banyaknya bertebar hadis-hadis palsu, maka para ahli berupaya untuk merealisasikan perintah khalifah dan memberikan respon positif terhadap perintah tersebut, sehingga terjadilah gerakan pengkodifikasian hadis diberbagai daerah. Maka dari sinilah terjadinya dan munculnya gerakan besar-besaran dalam melakukan kodifikasi hadis, dimana gubernur disetiap daerah melakukan pen-tadwin-an hadis dari ahli-ahli hadis yang ada didaerah tersebut, baik dengan cara menghadiri majlis-majlis ilmu atau datang menemui mereka untuk mencatat dan mendengarkan hadis dari mereka. Sehingga hadis-hadis berhasil dikumpulkan dan dibukukukan dalam kitab-kitab hadis. Adapun pada saat ini tidak hanya perkataan Nabi yang mendapat perhatian ulama hadis tetapi juga perkataan  para sahabat. Sebagaimana Abu Zanad ‘Abdullah bin  Zakwan[17] mengatakan:
كنا نطوف مع الزهري على العلماء ومعه الألواح والصحف يكتب كل ما سمع[18]
Hasil catatan dan penghimpunan hadis berbeda-beda antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya. Abu Bakar bin Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah yang menurut ulama kurang lengkap, karena hasil karyanya tidak digandakan dan tidak disebar luaskan keberbagai wilayah. Sedangkan al Zhuhri berhasil menghimpunnya lebih lengkap. Karena itu, para ahli hadis dan sebagian besar sejarawan mengatakan al Zuhri lah sebagai kodifikator hadis pertama atas perintah khalifah karena beliaulah pertama kali yang berhasil mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan menggandakannya untuk disebarkan keberbagai wilayah sebelum wafatnya khalifah. Sebagaimana pernyataannya ”Umar bin ‘Abd al ‘Aziz memerintahkan kami untuk menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku, kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaanya[19]. Sungguhpun demikian, kitab hadis-hadis himpunan mereka tidak ada yang sampai kepada kita, namun hasil dari karya mereka tersebut telah dihimpun dan di-nukil-kan oleh ulama atau ahli-ahli hadis setelah mereka kedalam buku-buku hadis yang sudah tersebar sekarang ini. 
E.  Perkembangan Usaha Pembukuan Hadis
a.    Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah
Pada abad kedua ini, para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis tidak melakukan penyaringan dan pemisahan hadis, masih dalam tahap melanjutkan perjuangan yang sudah dirintis oleh para pendahulu tokoh hadis seperi al Zuhri. Oleh karena itu, maka buku-buku hadis pada abad ini masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, bahwa seleksi hadis pada abad ini disamping memasukkan hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab-kitab tersebut terdapat hadis-hadis marfû’, mauqûf, dan hadis-hadis maqtû[20]. 
Diantara karya ulama pada abad kedua ini yang sampai kepada kita adalah kitab Al Muwaththa’ oleh Malik bin Anas ( 93- 179H), yang disusun pada tahun 143H, pada masa khalifah al Manshur, dalam kitab ini tidak hanya memuat hadis Rasul saja, tetapi juga perkataan sahabat dan tabi’in bahkan juga terdapat pendapat Imam Malik sendiri atau praktek ulama dan masyarakat Madinah[21].
Kemudian setelah itu, muncul ahli-ahli hadis sesudahnya seperti: al Awzâ’i (w.150H) yang menyusun kitab al-Mushannaf, Muhammad bin Ishaq (w. 151H) yang menyusun kitab al-Maghâzî wa al Siyâr, Syu’bah bin al Hajjâj (w. 160H) yang juga menyusun kitab al-Mushannaf, al Laits bin Sa’ad (w. 175H) yang juga menyusun kitab al-Mushannaf, Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198H) dengan karyanya juga al-Mushannaf[22] dan beberapa ulama lainnya dengan berbagai macam karya-karya mereka. Diantara kitab-kitab tersebut yang sering mendapat perhatian para ulama dan banyak dijadikan sebagai rujukan dalam kajian-kajian hadis dan sirah adalah  al-Muwatha’ dan kitab al-Maghâzî wa al Siyâr yang terkenal dengan al Sirah al Nabawiyah. Sehingga dari sini dapat kita pahami bahwa hadis pada abad ini walaupun masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in, namun sudah adanya pemisahan antara hadis-hadis umum dengan hadis-hadis tafsir dan sirah.
Pada abad kedua ini, juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadis yang telah ada semenjak khalifah ‘Ali bin Abi Thalib (w. 41H) sehingga menyebabkan ahli hadis pada abad ini tergugah untuk mempelajari para periwayat hadis, meskipun pada masa ini belum terbentuknya ilmu al-Jarh wa al-Ta’dîl dalam bentuk disiplin ilmu yang mandiri, namun kegiatan tela’ah terhadap ahwâl al ruwâh (keberadaan para periwayat hadis) saat ini sudah diintensifkan[23].
b.   Kodifikasi Hadis abad III Hijriyah
Abad ketiga ini merupakan masa kejayaan dan kecemerlangan hadis, dimana pada abad ini ilmu-ilmu Islam secara umum dan ilmu hadis secara khusus berkembang diseluruh penjuru dunia, maka pada masa ini mulailah bermunculan kegiatan rihlah dalam mencari ilmu atau hadis, sebagaimana dipaparkan oleh Imam Khatib al Baghdadi dalam bukunya yang berjudul” al-Rihlah fî thalabi al Hadîs”, sehingga hadis yang ditulis  pada abad ini bukan dengan cara menukil dari kitab lain, akan tetapi hadis yang langsung mereka dengar dari para guru mereka. Boleh dikatakan bahwa hadis secara keseluruhan telah berhasil dibukukan diabad ini, hingga ulama menyebutnya dengan” ‘asru al zahaby fî al hadîs”( masa keemasan\kecemelangan hadis).
Kegiatan para ahli hadis pada abad ini berbeda dengan abad sebelumnya, yang mana abad ketiga ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in, periode penyeleksian ini terjadi pada masa Bani ‘Abbasiyah, yakni pada masa khalifah al Ma’mun sampai al Muktadir (sekitar tahun 201-300H). Hal ini terjadi karena pada abad sebelumnya belum ada pemisahan antara hadis marfû’, mauqûf dan maqthû serta antara hadis yang dha’îf dan yang shahih ataupun dari hadis yang maudhû.
Para periwayat hadis pun pada abad ini tidak luput dari sasaran penelitiaan ahli hadis untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan dan lain sebagainya, sehingga mulailah bermunculan penyusunan ilmu rijal, disamping itu juga munculnya para ulama penghafal hadis dan pengkritik riwayat hadis[24], dan pada saat inilah mulai dibentuknya kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan sebuah hadis sahih atau tidaknya[25], maka bermunculanlah pada abad ini Ilmu al Jarh wa al Ta’dîl li ar Râwî yang dipelopori oleh Ibnu Abi Hâtim al Râzy(w. 327H), Ilmu Gharîb al hadîs, Ilmu Mukhtalîf al hadîs wa musykiluhu, Ilmun Nâsikh wa Mansûkh, Ilmu ‘Ilal al Hadîs[26].
Adapun diantara metodelogi penulisan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis pada abad ini adalah:
1.      Memisahkan hadis dari perkataan sahabat dan tabi’in
Hal ini dilakukan oleh para ulama hadis dengan menuliskan hadis berdasarkan perawi tertinggi atau dikenal dengan istilah Masânîd. Namun penulisan hadis dengan cara seperti ini mempunyai sisi negatif dan sisi positif, sisi positifnya adalah hadis Nabi terpisah dari perkataan sahabat dan tabi’in, adapun sisi negatifnya adalah kesulitan dalam mencari hadis karena hadis-hadis yang sama maudhûnya tidak dikumpulkan dalam bab khusus, begitu juga ditemukan kesulitan dalam menghukumi hadis karena didalamnya terdapat hadis sahih dan dha’îf. Diantara kitab-kitab musnad yang ditulis pada abad ini adalah:
a.       Musnad Abu Dâud Sulaimân bin Jârûd al Thayâlisy (w. 204H), merupakan ahli hadis yang pertama yang menyusun hadis dalam bentuk musnad.
b.      Musnad Abu Bakr ‘Abdullah bin Zubair bin ‘Isa al Humaidy ( w. 219H)
c.       Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241H)
d.      Musnad Asad bin Musa al ‘Umawi (w. 212H)
e.       Musnad Musaddad bin Musarhad al Bashry( w. 228H)
f.       Dan lain-lain
Diantara kitab-kitab musnad tersebut, musnad karya Ahmad bin Hanbal lah yang terlengkap dan paling luas cakupannya[27].
2.      Menjelaskan hadis-hadis yang sekilas kelihatan ta’arud atau bertentangan secara zhahir serta menjawab syubhat yang dilontarkan pada hadis tersebut.
Diantara kitab-kitab hadis yang ditulis pada abad ini yang berkaitan dengan hal ini adalah:
a.       Kitab Iktilâfu al hadîs oleh Imam as Syafî’i
b.      Kitab Iktilâfu al hadîs oleh ‘Ali bin al Madîny
c.       kitab Ta’wîl Mukhtalaf al hadîs oleh Ibnu Quthaibah
3.      Melakukan penulisan hadis berdasarkan bab-bab fiqih
Karena hadis-hadis yang disusun pada kitab-kitab musnad berdasarkan perawi tertinggi, sehingga kesulitan dalam menemukan maudhû’ hadis dan masih bercampurnya antara hadis yang sahih, hasan dan Dha’îf , maka pada pertengahan abad ketiga Hijriyah ini bangkitlah ulama-ulama hadis untuk mengumpulkan hadis-hadis  yang sahih saja dan menyusunnya berdasarkan bab-bab fiqih. Sehingga memudahkan bagi thâlib al hadîs dalam mencari maudhû’ hadis yang mereka inginkan serta langsung mengetahui hukum hadis tersebut.
Diantara ahli-ahli hadis pada abad ini yang menyusun kitabnya berdasarkan bab-bab fiqih adalah:
a.       Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ’îl al Bukhâri (194 – 256H\810 – 870M) dengan karyanya yang terkenal al Jâmi’ al Shahîh al Bukhârî
b.      Kemudian usaha Imam Bukhari ini diikuti oleh muridnya Muslim bin al Hajjâj al Qusyairy (204 – 261H\817 – 875M) dengan karyanya Shahîh al Muslim.
c.       Pada saat yang hampir bersamaan Abu Dâud Sulaimân bin al ‘Asy’as bin Syadâd bin ‘Amr bin ‘Amir al Sijistany (202 – 275H\819 – 888M) juga  menyusun kitab Sunan abu Dâwud, yang mana dalam bukunya ini tidak hanya khusus hadis sahih saja seperti halnya kitab Imam Bukhari dan Muslim, teapi juga terdapat hadis Sahih, hasan dan dha’if[28].
d.      Kemudian Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al Turmudzy (209 – 279H\824- 892M) dengan karyanya Sunan al Turmudzy.
e.       Kemudian Ahmad bin Syu’aib al Khurâsâni al Nasâ’i (215 – 303H\830 – 915M) dengan karyanya Sunan al Nasâ’î
f.       Kemudian Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Abdillah bin Majah (207-273H\824 – 887M) juga menyusun kitab hadis yang berjudul Sunan Ibnu Mâjah.
Keenam kitab hadis diatas oleh ulama hadis disebut dengan kutub al Sittah, meskipun sebagian ulama ada yang tidak memasukkan Sunan Ibnu Mâjah kedalam kelompok yang enam karena kitab sunan ini dinilai lebih rendah dari kitab-kitab hadis yang lain, menurut menurut mereka (ahli hadis) kitab pokok yang keenam itu adalah al Muwaththa’ karya Imam Malik. Walaupun demikian diantara kitab-kitab tersebut yang  menempati peringkat utama dan pertama adalah Shahîh al Bukhârî kemudian shahîh al Muslim.
c.    Kodifikasi Hadis abad ke IV Hijriyah
Jika pada abad pertama, kedua dan ketiga hadis berturut – turut mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yang sistem pengumpulannya didasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka pada abad keempat ini sampai abad seterusnya tradisi seperti ini sudah jauh berkurang, sehingga metode penulisan hadis yang dilakukan oleh ahli hadis pada abad ini juga sangat berbeda dengan usaha yang dilakukan oleh ahli-ahli hadis sebelumnya.
Hadis-hadis yang dikumpulkan oleh ahli hadis pada abad ini kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab hadis karya ulama mutaqoddimin[29], atau menghimpun karya ulama-ulama abad III yang terpencar ataupun meringkasnya dengan sedikit penambahan, dengan kata lain pembukuan hadis pada periode ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yang sudah ada.
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh para ulama, ada beberapa metodologi penulisan hadis diabad ini, yaitu:
1.      Meriwayatkan hadis-hadis yang sahih sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, seperti: Shahîh Ibnu Hibbân oleh Ibnu Hibbân al Busty (w. 354H), Shahîh Ibnu Khuzaimah oleh Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah an Naisabûry (w. 311H).
2.      Menghimpun hadis atas dasar syarat yang yang ditetapkan salah seorang imam, sedang hadis yang dikumpulkan tersebut tidak diriwayatkan oleh imam tersebut, atau dikenal dengan istilah al Mustadrakât. Seperti: al Mustadrâk ‘ala  al Shahîhain karya Abu ‘Abdillah al Hâkim(w. 405H).
3.      Meriwayatkan hadis yang telah diriwayatkan salah seorang imam akan tetapi sanadnya adalah sanad dari muallif sendiri atau dikenal dengan nama al Mustakhrajât. Seperti: Mustakhraj shahîh al Muslim oleh al Hâfizh Abu ‘Awânah (w. 316H), Mustakhraj Shahîh al Bukhârî karya al Hâfizh bin Mardawayh (w. 416H), Mustakhraj ‘ala al Shahîhain oleh Ibnu al Akram (w. 344H) .
4.      Menyusun hadis berdasarkan nama-nama rawi, baik yang merupakan guru langsung dari penulis atau para perawi diatasnya (râwî al a’la) yang disusun berdasarkan huruf mu’jam atau dikenal dengan istilah al Ma’âjim. Seperti: al Mu’jam al Kabîr, al Mu’jam al Awshat, al Mu’jam al Shaghîr, oleh Imam al Thabrâny (w. 360H).
5.      Menghimpun hadis berdasarkan bab-bab fiqih seperti halnya sudah dilakukan juga pada abad ketiga, seperti: Al Sunan oleh Imam al Hâfizh al Daruquthny (w. 385H).
Itulah beberapa metodelogi penulisan hadis yang dilakukan oleh ahli-ahli hadis diabad keempat ini dalam rangka mencurahkan perhatian dan khidmah mereka terhadap Sunnah beserta karya-karyanya.
d.   Kodifikasi Hadis abad ke V Hijriyah hingga runtuhnya Khilafah ‘Abbasiyah
Metodelogi penyusunan kitab-kitab hadis pada periode ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh ahli-ahli hadis pada abad keempat. Pada masa ini diantara usaha yang dilakukan oleh ahli hadis adalah menghimpun karya-karya ulama mutaqoddimin, merapikan atau meringkasnya, adapun rihlah ‘ilmiyah pada saat ini sudah jarang sekali terjadi. Dan periode ini atau kodifikasi hadis pada masa ini dipelopori oleh ulama-ulama hadis terkemuka seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu ‘Asakir, Al Munziry,Ibnu al Shalah, Khatib al Bagdadi, Ibnu al Jauzy yang sangat atunsias sekali mencurahkan perhatian mereka terhadap karya ulama-ulama hadis terdahulu.
Dengan demikian, usaha ulama-ulama hadis pada periode ini meliputi beberapa hal berikut[30]:
1.      Mengumpulkan hadis-hadis Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab hadis, seperti yang dilakukan oleh Ismâ’îl bin Ahmad  yang lebih dikenal dengan nama Ibnu al Furrât (w. 414H) dengan karyanya al Jam’u Baina al Shahîhain.
2.      Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam (kutub al sittah)   dalam sebuah kitab, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al Haq bin ‘Abd al Rahmân al Syibly yang lebih dikenal dengan nama Ibnu al Khurrâth dengan kitabnya al Jâmi’.
3.      Mengumpulkan hadis dari berbagai kitab kedalam satu kitab, sebagaimana dilakukan oleh al Imam Husain bin Mas’ûd  al Baghâwy (w. 516H) dengan kitabnya Mashâbîh al Sittah, yang kemudian karyanya ini diseleksi oleh Muhammad bin ‘Abdillah al Khatîb  dengan nama Misykâtu al Mashâbîh yang sudah banyak disyarah ulama diantaranya Imam al Baydhâwy.
4.      Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Thaimyah dengan kitabnya Muntaqâ al Akbâr  fî al Ahkâm yang kemudian disyarah oleh al Syawkâny dengan nama Naylu al Awthâr, Targhîb wa al Tarhîb karya Imam al Munziry(w. 656H), ‘Umdatu al Ahkâm karya Imam al Maqdisy (w. 600H) dan lain-lain.
5.      Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sebagai petunjuk kepada materi hadis secara keseluruhan, seperti Ibrâhîm al Dimasyqy (w. 400H) yang menyusun kitab Athrâf ‘ala al Shahîhain, Muhammad Thâhir al Maqdisy (w. 507H) karyanya Athrâf Kutub al Sittah, Abu al Qâsim ‘Ali bin al Hasan yang dikenal dengan Ibnu ‘Asâkir (w. 571H) dengan karyanya Athrâf Sunan al Arba’ah, dan lain-lain.
Kalau diperhatikan buku-buku hadis yang dihasilkan ulama hadis pada periode ini, pada umumnya adalah penyusunan-penyusunan sekedar untuk mempermudah  dalam membaca dan menilai kesahihan sebuah hadis. Misi mereka adalah berkhidmat kepada sunnah  dan memberikan usaha maksimal dalam memudahkan orang lain.
e.    Kodifikasi Hadis sejak runtuhnya Khilafah ‘Abbasiyah  hingga sekarang
Pada periode ini rihlah ‘ilmiyah yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli hadis boleh dikatakan tidak ada sama sekali, sehingga menyebabkan terputusnya hubungan keilmuan antara negara-negara Islam. Penyebab utamanya adalah bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh barat pada saat ini untuk memecah belah dunia Islam boleh dikatakan berhasil[31]. Akan tetapi walaupun keadaan yang tidak stabil pada saat itu dan banyaknya masalah-masalah yang muncul dikalangan umat Islam, namun para ulama hadis tetap mengerahkan semangat dan perhatian mereka terhadap buku-buku hadis karya ulama-ulama pada abad sebelumnya, walaupun usaha yang mereka lakukan itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis pada abad keempat dan setelahnya, baik itu dengan menyusun kitab-kitab takhrîj, jâmi’, athrâf ataupun memberikan syarh, namun itu sudah menunjukkan bahwa betapa besar perhatian mereka untuk berkhidmah terhadap sunnah dan memeliharanya.
Diantara usaha-usaha yang dilakukan ahli hadis pada periode ini dalam rangka memelihara sunnah beserta karya-karya mereka adalah[32]:
1.    Melakukan pen-takhrij-an hadis dari bermacam-macam buku.
Seiring dengan berjalannya waktu, telah terjadinya ekspansi wilayah Islam keberbagai jazirah dan telah berkembangnya berbagai ilmu pengetahun, maka muncullah karya-karya ulama dibidang tafsir, aqidah, tasauf dan lain-lain, namun sebagian besar dari karya-karya tersebut tidak memperhatikan atau memaparkan takhrij hadis dan bahkan kadang-kadang juga tidak didapati derjat hadis yang ada didalamnya. Melihat hal yang demikian, maka bangkitlah ulama-ulama hadis pada periode ini untuk melakukan pen-takhrij-an hadis terhadap berbagai macam buku keilmuan yang sudah tersebar untuk dirujuk kembali kepada sumbernya yang asli. Seperti:
a.       Takhrîj Ahâdîs Tafsir al Kassyâf oleh al Zailâ’i(w. 762H)
b.      Nashbu al Râyah li Takhrîj Ahâdîs al Hidâyah oleh al Zailâ’i
c.        Al Talkhîs al Habîr fî takhrîj Ahâdîs al Râfi’î oleh Ibnu Hajar (w. 852H)
d.      Takhrîj Ahâdîs al Syifâ oleh al Suyûthy
e.       Takhrîj Ahâdîs al Mukhtashar al Kabîr oleh Muhammad bin Ahmad ‘Abd al Hâdi al Maqdisy (w. 744H). dan lain-lain.
2. Men-takhrij hadis-hadis yang masyhur dikalangan masyarakat.
Karena sudah banyaknya hadis-hadis yang berkembang dimasyarakat terutama dalam masalah hukum, namun sebagian dari hadis tersebut terdapat yang bukan hadis shahîh, akan tetapi ada yang dha’îf bahkan hadis maudhû yang dijadikan oleh masyarakat awam sebagai hujjah. Maka pada periode ini bermunculanlah ulama-ulama hadis yang melakukan takhrij terhadap hadis-hadis yang masyhur dikalangan masyarakat, kemudian menyusunnya dalam sebuah buku. Seperti: al Maqâshid al Hasanah fî Bayân Katsîr min al Ahâdîs al Musytahirrah ‘ala al Sinah oleh al Hâfizh Syams al Din Muhammad bin ‘Abd al Rahmân as Sakhâwy (831-902H), Kasyf al Khafâ’ wa mazîl al Ilbâs ‘ammâ Isytaharrah min al Hadîs ‘ala Alsinah an Nâs oleh Imam Ismâ’îl bin Muhammad al ‘Ajlûny (w.1162H), al Lâî al Mantsûrah fî al Ahâdîs al Masyhûrah oleh al Hâfizh Ibnu Hajar al ‘Asqalâny (w. 852H) dan lain-lain.
3. Meriwayatkan hadis–hadis yang ada dibuku tertentu akan tetapi tidak ditemukan   dibuku lainnya, atau lebih dikenal dengan istilah Zawâid[33].
Pada periode ini muncullah ulama-ulama mengarang beberapa kitab zawâid, diantaranya: Zawâid Sunan Ibnu Mâjah ‘ala al Kutub al Khomsah, Ittihâf al Maharrah bi Zawâid al Masânîd al ‘asyarah, Zawâid al Sunan al Kubrâ ‘ala al Kutub al Sittah, ketiga kitab zawâid ini karya al Bushairy (w. 840H) dan lain-lain.
4. Menghimpun hadis-hadis dari satu atau sejumlah buku tertentu dengan hanya mencantumkan bagian atau kalimat pertama dari matan hadis atau ungkapan tertentu yang cukup menggambarkan isi hadis, atau dikenal dengan istilah Athrâf[34].
Pada masa ini juga muncul kitab-kitab athrâf hadis sebagaimana halnya juga sudah dipelopori oleh ulama-ulama hadis pada abad sebelumnya. Diantara kitab Athrâf hadis yang muncul pada periode ini adalah: Ittihâf al Maharrah bi Athrâf al ‘Asyarah dan Athrâf al Ahâdîs al Mukhtârah keduanya ini merupakan karya Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Athrâf Shahîh Ibnu Hibbân oleh Abu Fadhl al ‘Irâqy, dan lain-lain.
5. Mengumpulkan beberapa kitab hadis, kemudian menjadikannya satu dengan melakukan perubahan-perubahan dalam cara penyusunannya atau dikenal dengan istilah al Jawâmi’[35].
Tidak hanya pada abad kelima, pada abad ini atau periode ini juga disusun kitab al jawâmi’, diantara kitab-kitab al jawâmi’ pada periode ini adalah: Jâmi’ al Masânîd wa al Sunan al Hâdi li Aqwami Sunan oleh al Hâfizh Ibnu Katsîr (w. 774H), Jam’u al Jawâmi’ oleh ‘Abd al Rahmân bin Abi Bakr al Suyûthy (w. 911H) dan lain-lain.
     6. Menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan bab-bab fiqih
Pada periode ini juga disusun kitab-kitab hadis berdasarkan pembahasan bab-bab fiqih sebagaimana juga sudah dilakukan pada abad-abad sebelumnya, diantara karya-karya ulama pada periode ini yang menyusun buku-buku hadis berdasarkan bab-bab fiqih adalah: al Ilmâm fî Ahâdîs al Ahkâm oleh Ibnu Daqîq al ‘Id (w. 702H), Taqrîb al Asânîd wa Tartîb al Masânîd oleh Zain al Din Abi al Fadhl ‘Abd al Rahîm bin al Husain al ‘Irâqy (725-806H), Bulûgh al Marâm min Ahâdîs al Ahkâm oleh Ibnu Hajar (w. 852H) dan lain-lain.
Secara umum demikianlah gambaran upaya-upaya yang dilakukan oleh ahli-ahli  hadis dari masa kemasa untuk menjaga sunnah, namun kalau kita perhatikan upaya-upaya itu hampir berakhir diabad ke XIV, adapun setelah itu umat Islam lebih disibukkan dengan masalah furu’
Maka hadis yang sampai kepada kita saat sekarang ini telah mengalami beberapa proses yang panjang, penyaringan yang ketat, dan klasifikasi yang tepat, ini merupakan hasil dan usaha serta perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh-tokoh hadis terdahulu untuk berkhidmah terhadap sunnah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan hadis sampai sekarang, sekaligus merupakan suatu bukti nyata bahwa proses keilmuan Islam juga memiliki karakteristik tersendiri tanpa meniru budaya bangsa lain. Semoga hal ini menjadikan kita semakin bersemangat dan kembali bangkit untuk menekuni dan menjaga warisan yang sangat berharga ini.
F.   Kesimpulan
Rencana pengkodifikasian hadis-hadis Nabi secara tertulis pertama kali sudah dikemukakan oleh ‘Umar bin al Khatab, namun dengan berbagai pertimbangan rencana tersebut batal dilaksanakan, alasan utamanya adalah karena pada waktu itu masih berlangsungnya pengumpulan al Qur’an sehingga dikhawatirkan umat Islam akan meninggalkan al Qur’an dan sibuk dengan hadis.
Adapun kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al ‘Aziz dengan memerintahkan kepada gubernur disetiap daerah agar segera mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafalnya yang ada di daerah tersebut dan menuliskannya, diantara tokoh-tokoh yang terlibat dalam kodifikasi ini adalah Abu Bakr bin Hazm yang pada saat itu sedang menjabat sebagai gubernur dikota Madinah dan Ibn Syihab al Zuhri yang dikenal sebagai kodifikator hadis pertama atas perintah khalifah, dengan hasil karyanya yang lebih lengkap dibanding Abu Bakr bin Hazm karena ia berhasil mengumpulkan hadis dalam satu kitab sebelum wafatnya khalifah yang kemudian dikirim oleh khalifah keberbagai daerah.
Bercermin dari hasil dan usaha perjuangan mereka, maka para pecinta hadis setelah mereka yang mempunyai semangat tinggi untuk berkhidmah terhadap sunnah bangkit melanjutkan perjuangan yang telah mereka rintis, sehingga muncullah ahli-ahli hadis setelah al Zuhri yang berhasil mengkodifikasikan hadis dengan berbagai metodologi yang mereka lakukan dari masa kemasa agar Sunnah ini tetap terjaga yang merupakan warisan yang sangat berharga dari Rasulullah, sebagaimana sabdanya:
أخبرنا أبو بكر بن إسحاق الفقيه أنبأ محمد بن عيسى بن السكن الواسطي ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا صالح بن موسى الطلحي عن عبد العزيز بن رفيع عن أبي صالح عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إني قد تركت فيكم شيئين لن تضلوا بعدهما : كتاب الله و سنتي ….[36]

Artinya:“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat  setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnahku” (HR. al-Hakim dari Abu Hurairah).       
Dengan demikian, maka berlanjutlah dan berkembanglah kodifikasi hadis dengan munculnya berbagai macam buku-buku hadis yang mempunyai metodologi penulisan yang berbeda-beda, yang mana semuanya itu memudahkan bagi thâlib al hadîs dalam mempelajari sunnah setelah mereka, karena itu sudah sebaiknya kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya bagi para tokoh hadis yang sudah berdedikasi tinggi dalam  melakukan pengkodifikasian hadis.  Wallâhul Musta'an waHuwa  A’lâm bi al-Shawâb
                                                               
 Marapalam, 17 April 2014


DAFTAR KEPUSTAKAAN         

Abu Zahw, Muhammad Muhammad. Al Hadîs wa al Muhaddisûn. Kairo: Maktabah al  Taufiqiyyah. 1378H                                   
Al Sibâ’iy, Musthafa. Al Sunnah wa Makânatuhâ fî al Tasyrî’ al Islâmi. Kairo: Dar al Salam. 2008
Al Khatîb, Muhammad ‘Ajjâj. Al Sunnah Qobla al Tadwîn. Kairo: Dar al Fikr. 1971
Mazîd, ‘Ali ‘Abd al Bâsit. Manâhij al Muhaddisîn fî al Qarni al Awwal al Hijri Hatta ‘Ashrinâ al Hâdhir. Kairo: Maktabah al Jâmi’ah al Azhariyyah. 2010
Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad. Difâ’ ‘an al Sunnah. Kairo: Maktabah al Sunnah. 1989
Thâhûn, Ratîbah Ibrâhîm Khithâb. Mabâhits fî ‘Ilmi al Takhrîj wa Dirâsah al Asânîd. Kairo: Univ. al Azhar. 2004
Abu Sâlim, Dalâl Muhammad sayyid. Manâhij al Muhaddisîn min al al Qarni al Tsâlis Hatta ‘Ashrina al Hâdhir. Kairo: Univ. al Azhar. 2009
Al Zahrâni, Muhammad bin Mathîr. Tadwîn al Sunnah al Nabawiyyah Nasyaatuhu wa Tathawwirahu min al Qarni al Awwal ila Nihâyah al Qarni al Tâsi’ al Hijri. Madinah al Munawwarah: Dar al Khudhairy.  1998
Al Asqalâni, Ibnu Hajar. Fathu al Bâri bi Syarhi Shahîhi al Bukhâri. Kairo: Dar al Hadis. 1998
Al Naisyabûry, Muhammad ‘abdillah Abu ‘Abdillah al Hâkim. Mustadrâk ‘ala al Shahîhain. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah. 1990 
Manshûr, Ibnu. Lisânu al ‘Arabi. Kairo: Dar al Ma’arif.
Idri, M.ag. Studi Hadis. Jakarta: Kencana. 2010
Mu’jam al Wajîz. Kairo: Wazirah Tarbiyah wa al Ta’lîm. 2004
Soetari, Endang. Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press. 1997



       [1]  Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Difa’ ‘an  al Sunnah, Maktabah Al Sunnah, Kairo, 2007, h. 13.
       [2]  Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, Manâhij al  Muhaddisîn min al Qarni al Awwal ila ‘Ashrinâ al Hâdhir,      Univ. Al Azhar, Kairo , h. 16
       [3] Ibnu Manshur, Lisânu al ‘Araby, Dar al Ma’ârif, Kairo, juz 5, h. 3816
       [4] Mu’jam al wajîz, wazirah Tarbiyah wa al Ta’lîm, Kairo, 2004, h. 240
      [5] Mhd bin Mathîr al Zahrâni. Tadwîn al Sunnah al Nabawiyyah Nasyaatuhu waTathowwirahu min al Qarni al Awwal ila Nihâyah al Qarni al Tâsi’ al Hijri, Dar al Khudhairi, Madinah al Munawwarah, 1998
      [6] Idri, M. Ag, studi hadis, Jakarta: Kencana, 2010, h.  93
      [7] Mhd. Ajjaj al Khatîb, Al Sunnah Qobla al Tadwîn, Dar al Fikr, Kairo, 1971, h. 310.
  Mustafa al Sibâ’I, Al Sunnah wa Makânatuhâ  fî al Tasyri’ al Islâmî, Dar Al Salam, Kairo, 2008, h. 103
      [8]  Mhd. Ajjaj al Khatîb , op.cit, h. 332
      [9]  Idri, M.ag, op.cit, h. 94
      [10] Ibid, h 94
    Lihat juga Mustafa al Sibâ’i, op. cit, h. 104 dan  Mhd. Abu Zahw, Alhadîs wa al Muhaddisûn,Maktabah al Taufiqiyyah, Kairo, h. 127 dan Mhd. Mathîr al Zahrâni, op. cit, h. 99
      [11] Mhd. Abu Zahw, op.cit, h. 128
      [12] Ibid
      [13] Idri, M.ag, op.cit, h. 95
      [14] Ibid, h. 49, lihat juga: Endang Soetari, Ilmu Hadis, Amal Bakti Press, bandung, 1997, h. 55-56
       [15] Ibnu  Hajar al Asqalany, Fathul Bârî Bisyarhi Shohîhi al Bukhârî, Dar al Hadis, Kairo,1998,  Juz 1, Kitab: al Ilmu, Bab: Kaifa Yuqbadu al Ilmu, h. 236.
       [16] Muhammad Ajjal  al Khatîb, op.cit, h. 334. Artinya” para penguasa memaksa kami untuk menulis hadis-hadis..
       [17]  Seorang ulama hadis yang hidup semasa dengan Ibnu Syihab Az zuhri
       [18] Dalal Muhammad Sayyid Abu Salim, op.cit, h. 13. Artinya” Kami bersama Az  Zuhri mendatangi ulama-ulama hadis dan bersama az Zuhri itu ada pena dan shuhuf lalu dia menulis setiap apa yang dia dengar.
       [19] Muhammad Ajjaj al Khatîb, op.cit, h. 332
       [20]  Musthafa al Syibâî, op.cit, h 105
     Ali Abdi Bâsit Mazîd, Manâhij al Muhaddisîn min alQarni al Awwal al Hijriy ila ‘Asrinâ al Hâdhir, Maktabah Jâmi’ah al Azhar, Cairo, 2010, h. 219-228
     Dalal Mhd. Sayyîd Abu Sâlim, op.cit, h. 13-14
       [21]  Idri Mag, op.cit, h. 95
       [22]  Muhammad ‘Ajjaj al Khatîb, op.cit, h. 339
     Musthafa al Syibâî, op.cit, h. 105
       [23] Idri, M. ag, op.cit, h. 96
       [24]  Mhd. Mathîr al Zahrânî , op.cit, h. 109
       [25] Idri, M. ag, op.cit, h. 97
       [26] Dalal Mhd. Sayyîd Abu Sâlim, op.cit, h. 88 - 110
       [27] Muhammad ‘Ajjaj al Khatîb, op.cit, h 339
       [28] Dalal Mhd. Sayyîd Abu Sâlim, op.cit, h. 71
       [29] Ulama mutaqoddimûn adalah ulama-ulama hadis sebelum abad keempat Hijriyah, sedangkan ulama hadis yang terlibat dalam kodifikasi hadis pada abad keempat sampai seterusnya disebut dengan ulama mutaakhirûn.
       [30]‘Ali Abdi Bâsit Mazîd, op.cit, h. 462-467
       [31] Ibid, h. 471
       [32] Ibid, h. 478-485
       [33] Ratîbah Ibrâhîm Khithâb Thâhûn,Mabaâhits fî ‘ilmi al Takhrîj wa Dirâsah al Asânîd, Univ. Al Azhar, Kairo, 2004, h. 153
      [34] Ibid, h. 78
      [35] Ibid, h. 148
       [36] Muhammad bin Abdillah Abu ‘Abdillah al Hâkim al Naisyabûry, Mustadrâk ‘ala al Shahîhain, Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, Beirut, 1990, Kitab: al ‘Ilm, Juz. 1, h. 172.

0 komentar: