.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Kamis, 10 April 2014

ISRAILIYAT DALAM HADIS NABI


*Desri Nengsih*
a.    Pengertian Isrȃȋliyȃt
Secara etimologi, Israiliyat adalah bentuk jama’ dari kata tunggal Isrȃȋliyah, yakni bentuk kata yang di-nisbahkan pada kata Isrȃȋl,[1]  yang berasal dari bahasa Ibrani, isra berarti hamba, il berarti Tuhan.[2]
Secara terminologi, Imam Dzahabiy mengemukakan bahwa kata Isrȃȋliyȃt sekalipun pada mulanya menunjukkan kisah-kisah yang bersumber dari Yahudi, akan tetapi juga dipergunakan oleh ulama tafsir dan hadis dengan memperluas pengertian tersebut kepada semua cerita lama yang masuk yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani atau musuh-musuh Islam lainnya yang sengaja dibuat untuk merusak akidah kaum muslimin.[3]
Abu Syahbah juga mengemukakan bahwa Isrȃȋliyȃt adalah berbagai pengetahuan (ma’ȃrif) yang berasal dari Yahudi dan Nasrani yang terdapat dalam kitab Injil, berupa informasi tentang kisah-kisah para Nabi dan yang lainnya.[4]
b.   Tranformasi Isrȃȋliyȃt ke dalam Tafsir dan Hadis
Adanya tranformasi Isrȃȋliyȃt ke dalam tafsir dan hadis sudah dimulai semenjak zaman sahabat. Keterangan ini diperkuat adanya beberapa sahabat yang berperan dalam proses ini, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbȃs, Ibnu Mas’ȗd, dan lain-lain. Namun, keterlibatan mereka ini masih berada dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Mereka hanyalah menanyakan sebatas penjelas kisah-kisah al Quran dan itupun tidak disertai dengan sikap memberi penilaian benar atau salah, bahkan sering juga mereka menolak riwayat tersebut jika memang bertentangan dengan ajaran Islam.[5]
Para sahabat  sangat berhati-hati dalam menerima riwayat tersebut. Namun, sikap kehati-hatian ini tidak diikuti oleh generasi sesudahnya. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa mereka menafsirkan al Quran dengan isrȃȋliyȃt tanpa terlebih dahulu meneliti kualitasnya. Kondisi seperti ini semakin parah ketika mereka membuang sanad-nya, sehingga menyulitkan generasi berikutnya untuk membedakan mana yang sahih dan mana yang tidak sahih. Semakin parah lagi ketika riwayat itu dikodifikasikan dalam tafsir al-Quran, sehingga hal ini berdampak dengan munculnya berbagai kitab tafsir yang memuat isrȃȋliyȃt yang sulit lagi dibedakan kualitasnya.[6] 
c.    Sumber-Sumber dan Proses Penyebaran Isrȃȋliyȃt
Isrȃȋliyȃt pada umumnya berasal dari tokoh-tokoh Yahudi yang kemudian masuk Islam, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. [7]
Adapun proses penyebaran isrȃȋliyȃt ini antara lain:[8]
1.    Perbedaan metodologi antara al-Quran, Taurat, dan Injil
Al-Quran pada umumnya mengemukakan kisah-kisah umat terdahulu secara global dan ringkas, karena dimaksudkan hanya sekedar memberikan ibrah (pelajaran) bagi manusia. Sedangkan Taurat dan Injil mengemukakannya secara terperinci perihal pelaku, waktu, dan tempatnya. Ketika menginginkan pengetahuan secara terperinci tentang kisah-kisah tersebut, umat Islam datang bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggapnya lebih tahu. Di sini terjadi proses tanya jawab antara masyarakat Arab dengan kelompok Yahudi dan Nasrani.
2.    Rendahnya kebudayaan masyarakat Arab
Menjelang kelahiran Islam, kebudayaan masyarakat Arab relatif lebih rendah dari pada kebudayaan ahl alkitȃb, karena kehidupan mereka yang nomadik dan ummi. Meskipun ahl al-kitȃb di sekitar jazirah Arab juga selalu berpindah-pindah, namun pengetahuan mereka terhadap sejarah masa lampau jauh lebih dalam.
3.    Justifikasi dalil-dalil naqliah
Adanya dalil-dalil naqli, baik dari al-Quran maupun dari hadis yang dipahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb tentang kisah-kisah masa lampau. Atas dasar itu pulalah ada di kalangan sahabat, tabi’in maupun generasi sesudahnya yang menerima sekaligus menyebarkan Isrȃȋliyȃt ini ketengah-tengah umat Islam.
4.    Heterogenitas penduduk
Menjelang masa kenabian Muhammad Saw.  jazirah Arab juga dihuni oleh kelompok ahl al-kitȃb. Tekanan dan penyiksaan yang dilakukan bangsa Romawi menyebabkan mereka melakukan imigrasi ke jazirah Arab. Mayoritas Yahudi berdomisili di Madinah, dan komunitas Nasrani di kota Najran (Yaman). Keberadaan kedua komunitas ini menyebabkan terjadinya kontak antara mereka dengan bangsa Arab. Pada waktu Islam datang kontak tersebut tetap berlangsung, karena di Madinah banyak berdiam orang-orang Yahudi.
5.    Rute perjalanan niaga masyarakat Arab
Kebiasaan berniaga bangsa Arab adalah apabila musim panas, mereka pergi ke Syam dan bila musim dingin tiba mereka pergi ke Yaman. Kedua tempat ini merupakan tempat yang banyak didiami oleh ahl al-kitȃb, terutama orang-orang Yahudi. Sehingga tidaklah mengherankan bila hubungan antara mereka dengan bangsa Arab terjadi dengan baik (harmonis).
d.   Klasifikasi Isrȃȋliyȃt
Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Isrȃȋliyȃt dalam tiga bagian, yaitu;[9]
1.    Isrȃȋliyȃt yang sejalan dengan Islam
2.    Isrȃȋliyȃt yang tidak sejalan dengan Islam
3.    Isrȃȋliyȃt yang tidak termasuk bagian pertama dan kedua (mauqȗf)
Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu kepada keterangan-keterangan Nabi.[10]Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut, melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi yang memunculkan klasifikasi tersebut. Itulah sebabnya, pengklasifikasian di atas hanyalah bersifat ijtihad dan tidak bersifat mengikat.
Studi kritis terhadap pengklasifikasian isrȃȋliyȃt di atas memperlihatkan bahwa kenyataannya, tidak semua berita yang bersesuaian dengan syariat Islam berarti ber-sanad-kan shahȋh. Survei terhadap pemalsuan hadis pun membuktikan bahwa di antara hadis-hadis yang dipalsukan oleh kelompok-kelompok tertentu banyak juga yang isinya sesuai dengan syariat Islam. Misalnya hadis-hadis yang berisi dorongan untuk melakukan ibadah (fahdȃil al-a’mȃl). Hal itu tidak menutup kemungkinan terjadi pada riwayat isrȃȋliyȃt, sebab ahl al-kitȃb yang menjadi sumber isrȃȋliyȃt dapat saja merekayasa isi isrȃȋliyȃt sedemikian rupa agar sesuai denga syariat Islam yang sama sekali tidak terdapat dalam Injil dan Taurat.
Rosihon Anwar mengklasifikasi isrȃȋliyȃt dari tiga sudut pandang yang berbeda dengan merujuk kepada pengklasifikasian yang dilakukan oleh imam Dzahabiy, yaitu[11]
1.    Sudut Pandang Kualitas Sanad
Sudut pandang ini memperlihatkan dua bagian, yaitu isrȃȋliyȃt yang shahȋh dan isrȃȋliyȃt yang dha’ȋf.
a.    Isrȃȋliyȃt yang shahȋh[12], seperti riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dari Ibnu Jarir al-Thabari, dari al-Mutsanna, dari ‘Usman bin ‘Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atha’ bin Abi Rabbah. Atha’ berkata:
لقيت عبد الله بن عَمْرو بن العاص، فقلت: أخبرني عن صفة رسول الله صلى الله عليه وسلم في التوراة. فقال: أجل، والله إنه لموصوف في التوراة بصفته في القرآن: يا أيها النبي إنا أرسلناك شاهدًا ومبشرًا ونذيرًا، وحرزًا للأميين، وأنت عبدي ورسولي، سميتك المتوكل، لا فظٍّ ولا غليظ ، ولا يدفع بالسيئة السيئة ولكن يعفو ويغفر، ولن يقبضه حتى يقيم به الملة العوجاء، بأن يقولوا: لا إله إلا الله. فيفتح به أعينا عُمْيًا وآذانًا صُمًّا، وقلوبا غُلْفًا [13]

Artinya:”Aku bertemu ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan berkata kepadanya:ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan dalam kitab Taurat!, ‘Abdullah bin ‘Amr berkata: Ya, demi Allah sesungguhnya sifat Rasulullah di dalam Taurat sama seperti yang diterangkan di dalam al-Qur’an:”Wahai Nabi “Sesungguhnya kami (Allah) mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara orang-orang yang Ummi, engkau hambaku dan Rasulku, Aku menamakanmu dengan al-Mutawakil, engkau (Muhammad) tidak kasar dan tidak pula keras, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi memaafkan dan mengampuni, dan Allah tidak akan mencabut nyawanya sebelum agama Islam tegak dan lurus, yaitu dengan ucapan:” laa Ilaaha illa Allah”. Lalu Allah akan membuka mata yang buta, membuka telinga yang tuli, membuka hati yang tertutup”.

b.    Isrȃȋliyȃt yang dha’ȋf[14], seperti atsar yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad bin ‘Abdurrahman dari Abi Hȃtim al-Rȃziy, kemudian di-nukil-kan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menguraikan surat Qaf (50):1. Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya atsar tersebut adalah atsar yang gharȋb yang tidak shahȋh, dan ia menganggapnya sebagai cerita khurafat Bani Israil”.[15]
إن الإمام أبا محمد عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي، رحمه الله، أورد هاهنا أثرا غريبا لا يصح سنده عن ابن عباس فقال:حدثنا أبي قال: حدثت عن محمد بن إسماعيل المخزومي: حدثنا ليث بن أبي سليم، عن مجاهد، عن ابن عباس قال: خلق الله من وراء هذه الأرض بحرًا محيطًا، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الدنيا مرفوعة عليه. ثم خلق الله من وراء ذلك الجبل أرضا مثل تلك الأرض سبع مرات. ثم خلق من وراء ذلك بحرا محيطًا بها، ثم خلق من وراء ذلك جبلا يقال له "ق" السماء الثانية مرفوعة عليه، حتى عد سبع أرضين، وسبعة أبحر، وسبعة أجبل، وسبع سموات. قال: وذلك قوله: { وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ }.[16]

Artinya:”................dari Ibnu ‘Abbas semoga Allah meridhoinya berkata”Allah telah menciptakan di bawah ini laut yang melingkupnya, di dasar laut ia menciptakan sebuah gunung yang disebut gunung Qaf, langit dunia ditegakkan di atasnya. Di bawah gunung tersebut Allah menciptakan bumi seperti bumi ini yang jumlahnya tujuh lapis, kemudian di bawahnya Ia menciptakan laut yang melingkupnya. Di bawahnya lagi ia menciptakan sebuah gunung lagi yang bernama gunung Qaf. Langit jenis kedua diciptakan di atasnya sehingga jumlah semuanya tujuh lapis langit. Kemudian ia berkata”uraian ini merupakan maksud dari firman Allah: وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ(Q.S: Luqman:27)”.

2.    Sudut Pandang Kaitannya dengan Islam
Sudut pandang ini dibagi menjadi dua bagian juga, yaitu:
a.    Isrȃȋliyȃt yang sejalan dengan Islam. Contoh: isrȃȋliyȃt yang menjelaskan bahwa sifat-sifat Nabi itu adalah tidak kasar, tidak keras dan pemurah.
b.    Isrȃȋliyȃt yang tidak sejalan dengan Islam. Contoh: Isrȃȋliyȃt yang disampaikan oleh Ibnu Jarir dan Basyir, dari Yazid, dari Sa’id, dan dari Qatadah yang berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman AS. Isrȃȋliyȃt itu menggambarkan perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh seorang Nabi seperti minum Arak.
c.    Isrȃȋliyȃt yang tidak sejalan dengan pertama dan kedua (mauqȗf) /kisah isrȃȋliyȃt yang didiamkan oleh syariat Islam. Yang dimaksud dengan hal ini adalak kisah-kisah isrȃȋliyȃt yang bersifat menjelaskan hal-hal yang umum dan merinci hal-hal yang singkat. Kisah-kisah ini tidak ada yang memperkuatnya dan juga tidak ada yang menolaknya. Seperti periwayatan  Ibnu Katsir dari al-Saddiy tentang kisah sapi betina ketika memberikan tafsiran surat al-Baqarah ayat 67 sampai 74.[17](lihat tafsir Ibnu Katsir)
3.    Sudut Pandang Materi
Sudut pandang ini juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a.    Isrȃȋliyȃt yang berhubungan dengan akidah, seperti Isrȃȋliyȃt yang menjelaskan firman Allah surat az-Zumar ayat 67:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Artinya:“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, padahal bumi dan seisinya berada dalam genggaman-Nya pada hari kiamat. Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”.

            Isrȃȋliyȃt tersebut menjelaskan bahwa seorang ulama Yahudi datang menemui Nabi dan mengatakan bahwa langit diciptakan di atas jari.[18]
b.    Isrȃȋliyȃt yang berhubungan dengan hukum, seperti Isrȃȋliyȃt yang berasal dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang berbicara tentang hukum rajam dalam Taurat.
c.    Isrȃȋliyȃt yang berhubungan dengan nasehat, hikmah, kisah, dan sejarah, seperti Isrȃȋliyȃt yang mengemukakan tentang kapal Nabi Nuh yang terbuat dari kayu jati dengan panjangnya delapan puluh sikut, dan lebarnya lima puluh sikut, yang dipenuhi kaca luar dan dalamnya, dan dilengkapi dengan alat-alat yang tajam yang dapat membelah air.
e.    Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Isrȃȋliyȃt
Sebelum mengemukakan hukum meriwayatkan kisah-kisah Isrȃȋliyȃt, terlebih dahulu penulis kemukakan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. yang ada kaitannya dengan kedudukan periwayatan Isrȃȋliyȃt.
1.    Dalil-dalil yang melarang
Adapun dalil-dalil yang melarang meriwayatkan isrȃȋliyȃt, di antaranya:
a.    Banyaknya ayat-ayat al-Quran yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani telah merubah dan menyembunyikan kebenaran isi kitab suci mereka, dan mereka sangat berambisi sekali untuk mengacaukan akidah umat Islam, serta pengetahuan mereka sebenarnya hanyalah berupa angan-angan, dugaan, dan ilusi belaka yang menyebabkan mereka tidak dapat dipercayai sebagai sumber sejarah. Seperti firman Allah Swt:
 وَمِنَ الَّذِينَ هِادُواْ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِن بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَـذَا فَخُذُوهُ وَإِن لَّمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُواْ وَمَن يُرِدِ اللّهُ فِتْنَتَهُ فَلَن تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللّهِ شَيْئًا أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللّهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya:”........dan di antara orang-orang Yahudi itu sangat suka mendengar (berita-berita) bohong, dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan,”jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah-ubah) terimalah, dan jika kamu diberi bukan yang ini, maka hati-hatilah. Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikitpun engkau tidak akan mampu meolak sesuatupun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar”. (al-Ma’idah:41).

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ

Artinya:”Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga”. (al-Baqarah: 78).

b.    Rasulullah Saw. melarang umat Islam secara terang-terangan untuk mengambil  sesuatu dari kaum Yahudi. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhȃriy:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا عَلِىُّ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا ( آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ[19]

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, menceritakan kepada kami ‘Usman bin ‘Umar, membertahukan kepada kami ‘Ali bin al-Mubarak dari Yahya bin Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah RA berkata:”pada suatu hari ahl al-kitȃb membaca Taurat dengan bahasa ‘Ibrani dan diuraikan dengan bahasa Arab kepada orang-orang Islam, maka Rasulullah Saw. bersabda:”janganlah kamu membenarkan (perkataan) ahl al-kitȃb dan jangan pula kamu dustakan mereka, berkatalah kamu sekalian “kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami (ayat al Qur’an)”.

c.    Rasulullah Saw. menegur Umar bin Khattab ketika melihat lembaran dari ahl al-kitȃb ada pada Umar.
حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مُجَالِدٌ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيِ.[20]

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Suraij bin al-Nu’mȃn, menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengkabarkan kepada kami Mujȃlid dari al Sya’bȋ, dari Jabir bin ‘Abdillah bahwa ‘Umar bin al-Khattȃb Ra. datang kepada Nabi SAW dengan membawa sebuah kitab yang didapatnya dari sebagian ahl al kitȃb, lalu dibacakannya kepada beliau, maka serta merta Rasulullah Saw. marah seraya mengatakan”apakah kamu ragu dan bimbang padanya wahai ibn al-Khattȃb?, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepadamu dengan membawa ajaran yang putih dan jernih. Janganlah kamu bertanya kepada mereka tentang sedikitpun, maka mereka memberitahukan kepadamu dengan kebenaran, lalu kamu mendustakannya, atau memberitahukan kepadamu dengan kebatilan, lalu kamu membenarkannya. Demi yang jiwaku di tangan-Nya, kalau Musa Aa. hidup niscaya ia akan mengikuti”.

d.   Para sahabat menegur orang yang pergi kepada Bani Israil dan mengambil cerita Isrȃȋliyȃt dari mereka. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhȃriy dari ‘Abdullah bin ‘Abbȃs:
  حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ ، كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَكِتَابُكُمُ الَّذِى أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَحْدَثُ الأَخْبَارِ بِاللَّهِ ، تَقْرَءُونَهُ لَمْ يُشَبْ ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللَّهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ ، فَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ، لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أَفَلاَ يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ ، وَلاَ وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلاً قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِى أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ.[21]

Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir, menceritakan kepada al Laits bin Yunus, dari Ibnu Syihȃb dari Ibnu ‘Abbas Ra. berkata:”Wahai umat Islam, bagaimana kalian bertanya kepada ahl al kitȃb?padahal kitab suci kalian yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad Saw. adalah yang paling banyak menceritakan cerita dengan (wahyu) Allah, yang mana kalian membacanya tidak akan usang, dan Allah telah mengatakan kepada kalian bahwa ahl al kitȃb telah mengubah-ubah yang ditulis Allah dan menganti-ganti dengan tangan mereka, lalu mereka mengatakan:” ini adalah (kitab) yang datang dari Allah, untuk membeli dengannya harga yang murah, apakah yang telah datang kepada kalian dari ilmu pengetahuan (al Qur’an) itu tidak menghentikan kalian dari bertanya kepada mereka (ahl al kitȃb)? Tidak! Demi Allah, tidaklah pernah sama sekali seorangpun dari kalangan mereka menanyakan kepada kalian tentang apa yang telah diturunkan kepada kalian”.

            Berdasarkan dalil-dalil di atas adanya larangan untuk mengambil informasi dari ahl al-kitȃb karena kitab Taurat dan Injil yang sampai kepada generasi sekarang sudah tidak asli lagi, sehingga kebenaran informasi tersebut dikeragui, apalagi watak dan karakter orang-orang Yahudi dan Nasrani yang jelek sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat di atas mengindikasikan bahwa informasi dari mereka tidak dapat dipercayai.
2.    Dalil-dalil yang membolehkan
Ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. secara tegas dan eksplisit ada yang membolehkan untuk mengembalikan sebagian persoalan kepada ahl al-kitȃb dan membolehkan juga bertanya tentang suatu yang ada pada mereka. Hal ini dapat dilihat pada ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw.  berikut:
a.    Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb. Sebagaimana firman Allah Swt. Surat Yunus ayat 94:

فَإِن كُنتَ فِي شَكٍّ مِّمَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَؤُونَ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءكَ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Artinya:”Maka jika engkau (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang yang membaca kitab sebelummu. Sungguh telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang ragu”.

            Allah mengizinkan kepada Nabi-Nya untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb, demikian pula mengizinkan kepada umatnya untuk bertanya kepada meraka. Hal ini berdasarkan suatu ketetapan syara’, bahwa semua perintah Allah kepada Nabi-Nya, juga diperintahkan kepada umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.[22]
b.    Perintah mengembalikan persoalan kepada Taurat. Sebagaimana firman Allah swat.  surat Ali Imran ayat 93:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِـلاًّ لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُواْ بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Artinya:” semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah (Muhammad), maka bawalah Taurat dan bacalah, jika kamu orang-orang yang benar”.

c.    Penegasan bahwa Allah menjadi saksi antara Nabi Muhammad Saw. dan orang-orang yang mempunyai ahl al-kitȃb. Sebagaimana firman Allah Swt. Surat ar-Ra’du ayat 43:

 وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَسْتَ مُرْسَلاً قُلْ كَفَى بِاللّهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِندَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ

Artinya:”Dan orang-orang kafir berkata (Engkau Muhammad) bukanlah seorang Rasul. Katakanlah cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu al kitȃb menjadi saksi antara aku dan kamu”.

            Yang dimaksud dengan orang yang mempunyai ilmu al-kitȃb menurut pandangan mufassir adalah setiap ahl al-kitȃb yang mempunyai ilmu tentang Taurat dan Injil. Itu semua menunjukkan kebolehan mengembalikan persoalan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan maksud firman Allah:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِن كَانَ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَكَفَرْتُم بِهِ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى مِثْلِهِ فَآمَنَ وَاسْتَكْبَرْتُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Artinya:”Katakanlah,”terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu jika sebenarnya (al Qur’an) ini datang dari Allah, dan kamu menginkarinya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui (kebenaran) yang serupa denga (yang disebut dalam) al Qur’an lalu dia beriman; kamu menyombongkan diri sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim”. (Al Ahqaf:10).

d.   Hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhȃriy dalam kitab shahȋh-nya:

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ[23]
Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ȃshim al Dhahhȃk bin Makhlad, mengkabarkan kepada kami al Auzȃ’ȋ, menceritakan kepada kami Hassan bin ‘Athiyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdillah bin ‘Amru bahwasannya Nabi SAW berkata:” sampaikanlah olehmu apa saja yang berasal dariku walau satu ayat, ceritakanlah olehmu apa yang kamu peroleh dari Bani Israil (hal itu) tidak ada salahnya, siapa saja yang berbuat kedustaan atas namaku, maka bersiaplah untuk menempati tempat di neraka”.

e.    Hadis yang diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnad-nya bahwa Nabi Saw. mendengar sebagian orang Yahudi yang sedang membaca kitab.
حَدَّثَنَا رَوْحٌ وَعَفَّانُ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ عَفَّانُ عَنْ أَبِيهِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ابْتَعَثَ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِدْخَالِ رَجُلٍ إِلَى الْجَنَّةِ فَدَخَلَ الْكَنِيسَةَ فَإِذَا هُوَ بِيَهُودَ وَإِذَا يَهُودِيٌّ يَقْرَأُ عَلَيْهِمْ التَّوْرَاةَ فَلَمَّا أَتَوْا عَلَى صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْسَكُوا وَفِي نَاحِيَتِهَا رَجُلٌ مَرِيضٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَكُمْ أَمْسَكْتُمْ قَالَ الْمَرِيضُ إِنَّهُمْ أَتَوْا عَلَى صِفَةِ نَبِيٍّ فَأَمْسَكُوا ثُمَّ جَاءَ الْمَرِيضُ يَحْبُو حَتَّى أَخَذَ التَّوْرَاةَ فَقَرَأَ حَتَّى أَتَى عَلَى صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتِهِ فَقَالَ هَذِهِ صِفَتُكَ وَصِفَةُ أُمَّتِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ مَاتَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ لُوا أَخَاكُمْ[24]

Artinya:” Telah menceritakan kepada kamu Rȗh dan ‘Affȃn al Ma’nȃ berkata, menceritakan kepada kami Hamȃd bin salamah dari ‘Ȃthȃ’ bin al Sȃ’ȋb dari Abȋ ‘Ubaidah bin ‘Ȃbdillah bin Mas’ud, ‘Affȃan berkata dari ayahnya Ibnu Mas’ȗd berkata:”sesungguhnya Allah Swt. mengutus NabiNya untuk memsukkan orang kesyurga. Kemudian Nabi Saw. masuk ke dalam kanisah (tempat ibadah Yahudi), ternyata ada seorang Yahudi yang sedang membaca kitab Taurat kepada mereka. Ketika mereka tiba pada sifat-sifat Nabi, mereka diam semuanya. Di antara mereka terdapat seorang yang sakit, lalu Nabi bertanya kepada mereka: mengapa kamu sekalian berhenti?, Orang sakit itu berkata: Mereka telah sampai pada bagian yang menjelaskan tentang sifat Nabi, lalu mereka diam. Lalu orang sakit itu merangkak untuk mengambil kitab Taurat, lalu dibacakannya sampai pada bagian yang menjelaskan sifat Nabi Saw. dan umatnya. Kemudian orang itu berkata “ ini adalah sifat engkau dan umat engkau, aku brsaksi tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi pula bahwa engkau adala utusanNya. Kemudian ia meninggal dunia, maka Nabi Saw. berkata kepada sahabatnya, dia adalah saudara kamu”.

f.     Telah menjadi ketetapan bahwa sebagian sahabat mengembalikan sebagian persoalan kepada ahl al-kitȃb yang telah masuk Islam, bertanya tentang sebagian isi dari kitab-kitab mereka, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud maupun sahabat-sahabat lainnya.
Dalil-dalil di atas menerangkan bahwa dalam kitab Taurat maupun Injil yang asli terkandung informasi tentang Nabi Muhammad Saw. dan nabi-nabi sebelumnya, sehingga ketika orang-orang ahl al-kitȃb masih meragukan kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw., maka dipersilakan untuk melihat kepada kitab-kitab mereka, pasti mereka akan mendapatkan kebenaran itu.
3.    Menyelesaikan antara dalil-dalil yang melarang dan membolehkan
Adanya dalil-dalil yang melarang dan dalil-dalil yang lahirnya membolehkan menerima periwayatan dari ahl al-kitȃb yang dikenal dengan isrȃȋliyȃt menunjukkan, bahwa dalam hal-hal tertentu periwayatan itu bisa saja dibenarkan dan dalam hal-hal tertentu juga dilarang untuk menerimanya. Untuk menyelaraskan apa yang telah dikemukakan di atas, imam al-Dzahabiy mengemukakan hal-hal sebagai berikut:[25]
a.    Pengetahuan dalam Islam tidak hanya terbatas di sekitar ruang lingkup kaum muslimin dan di sekitar batasan syariat yang khusus dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan sejarah kehidupan dan perjuangan yang panjang saja, akan tetapi pengetahuan itu berkaitan dengan umat-umat terdahulu dan agama-agama yang telah lalu. Pengetahuan Islam mengambil dari ahl al- kitȃb dalam rangka memperkuat kebenaran ajaran Islam, serta membuang kebatilan yang tidak sesuai dengan petunjuk Islam.
Adanya ayat-ayat al-Quran yang mengandung perintah untuk mengembalikan sebagian persoalan kepada ahl al-kitȃb adalah untuk menegaskan bahwa adanya Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. yang diberikan wahyu dan mukjizat kepada mereka sebagaimana halnya Nabi Muhammad Saw. diberikan wahyu oleh Allah. Kemudian ayat-ayat tersebut juga berisi tantangan bagi orang-orang yang masih meragukan, bahwa al-Quran itu benar-benar berasal dari Allah. Kebenaran itu terbukti, bahwa apa yang diinformasikan dalam al-Quran ternyata sama dengan apa yang telah menjadi pengetahuan orang-orang Yahudi dan Nasrani terutama yang berkaitan dengan agama mereka. Sebab itu, di sini dapat dipahami bahwa tujuan penginformasian itu adalah untuk memperlihatkan kebenaran-kebenaran terutama bagi ahl al-kitȃb yang dengannya diharapkan mereka mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
b.    Adanya perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk bertanya kepada ahl al-kitȃb, menunjukkan kebolehan mengembalikan persoalan kepada mereka, akan tetapi tidak dalam semua masalah. Yaitu pada berita-berita yang dibenarkan al-Quran, serta untuk menegakkan hujjah kepada orang-orang yang mengingkarinya. Jika mereka menjelaskan keterangan yang terdapat dalam diri mereka sesuai dengan apa yang datang dari Allah, maka tegakkan hujjah tersebut. Jika mereka berusaha untuk menyamarkan atau menyembunyikannya, maka Allah mengingatkan Nabi-Nya terhadap perbuatan mereka, sehingga mereka terhalang dengan keinginannya.
c.    Dalam penerimaan terhadap informasi dari ahl al-kitȃb, tidak boleh menerimanya dengan mutlak, begitupula sebaliknya tidak boleh menolaknya dengan mutlak. Kaum muslimin boleh menerima sesuatu yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Kesesuaian ini menunjukkan bahwa apa yang diterima itu, bersih dari pergantian dan perubahan. Mereka pun harus menolaknya bila hal itu bertentangan dengan apa yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah Nabi Saw., atau tidak sesuai dengan akal sehat. Atas dasar itu, maka semua berita dari Bani Israil yang sesuai dengan syariat Islam, boleh meriwayatkannya. Adapun yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan akal sehat, harus ditinggalkan. Sedangkan isrȃȋliyȃt yang didiamkan oleh syariat Islam tidak ada alasan yang membenarkan atau mendustakan, akan tetapi mengandung kemungkinan antara keduanya, maka hukumnya juga didiamkan, karena ada kemungkinan benar atau salah.
d.   Apabila berita yang didiamkan syariat Islam tidak diperkuat dan tidak pula disalahkan, dan kedatangannya dibawa oleh sahabat yang bukan berasal dari ahl al-kitȃb atau tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil berita dari mereka, maka apabila dipastikan kebenarannya, hukumnya sama dengan bagian pertama, yaitu harus diterima dan jangan ditolak. Tetapi jika berita yang tidak pasti itu diterima dari tabi’in, maka hukumnya harus dibiarkan, maksudnya jangan diputuskan benar atau salahnya, sebab besar kemungkinan orang tersebut menerima dari ahl al-kitȃb.
e.    Selama ada halangan untuk mengambil riwayat dari ahl al-kitȃb sebagaimana pada permulaan Islam, yaitu khawatir terjadinya fitnah, maka sebagaimana telah ditetapkan syariat, bahwasannya halangan (illat) itu akan bergerak sama dengan yang dihalanginya (ma’lȗl), baik keberadannya maupun ketiadaannya. Pada masa sekarang ini tetap dilarang untuk mengambil ataupun meriwayatkannya. Sedangkan bagi orang-orang yang telah dalam ilmunya, tajam pandangannya yang dengannya bisa membedakan yang hak dengan yang batil, maka tidak dilarang baginya untuk mengambil ataupun meriwayatkan dalam aturan batas syara’.
Jadi, menurut uraian al-Dzahabiy di atas, hukum meriwayatkan isrȃȋliyȃt  yang sesuai dengan syariat, dapat dibenarkan dan dibolehkan. Akan tetapi yang bertentangan dengan syariat harus ditolak dan diharamkan meriwayatkannya, kecuali untuk menerangkan kesalahannya. Sedangakan yang didiamkan oleh syariat jangan dihukumi dengan apapun, baik membenarkan maupun mendustakan, dan boleh meriwayatkannya karena sebagian besar yang diriwayatkan itu kembali kepada cerita-cerita dan berita-berita bukan kepada masalah akidah ataupun masalah hukum. Cara meriwayatkannya hanyalah sekedar mengemukakan hikayatnya saja, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitabnya tanpa melihat apakah cerita itu benar atau salah.
f. Ciri-Ciri Isrȃȋliyȃt
No
Sanad
Matan
1
Awal sanad-nya berupa rawi yang bersal dari ahli kitab (sumber primer)
Berupa kisah-kisah yang aneh dan asing
2
Atau awal sanad-nya berupa rawi sahabat/tabi’in/tabi’ tabi’in yang terkenal sering menerima dari ahli kitab (sumber primer)
Berupa kisah-kisah masa lampau
3
Sanadnya tidak sampai kepada Nabi
Umumnya berupa kisah-kisah yang panjang

Padang, 11 April 2014

[1]Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Isrȃȋliyȃt fi al-Tafsȋr wa al-Hadȋs, (Damaskus: Lajnah al-Nasyr fȋ Dȃr al-Ȋmȃn, 1985M), h. 19.
[2]Muhammad Farid Wajdi, Daȋrah al-Ma’ȃrif, (Beirut: Dȃr al-Fikr, 1964M), h. 14.             
[3]Muhammad Husain al Dzahabiy, al-Isrȃȋliyȃt......, h. 19.
[4]Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Isrȃȋliyȃt wa al-Maudhȗ’ȃt fȋ Kutub al-Tafsȋr, ( Cairo: Maktabah al-Sunnah, 2005M), h. 13-14.
[5]Muhammad Husain al Dzahabiy, al-Isrȃȋliyȃt......, h. 22-38
[6]Ibid
[7]Rosihon Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyat dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999M), h. 37-38
[8]Ibid, h. 38-41
[9]Ibid, h. 32
[10]Umpamanya ada keterangan Nabi yang  membolehkan dan melarang meriwayatkan isrȃȋliyȃt. Bertolak dari hadis itu, kemudian ulama mengklasifikasikan isrȃȋliyȃt kepada yang sejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengan Islam. Namun, ada juga keterangan Nabi yang menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tik pula mendustakan ahl al kitȃb. Berdasarkan hal ini, kemudian ulama pun membuat klasifiksai isrȃȋliyȃt kepada mauqȗf.
[11]Rosihon Anwar,Op.Cit., h. 33
[12] Yang dimaksud dengan isrȃȋliyȃt yang shahȋh adalah pengkabaran yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
[13] Abu Al-Fida’ al-Hafiz al-Dimasq Ibnu al-Katsir, Tafsȋr al Qur’ȃn al ‘Azhȋm, (Cairo: Dȃr Thȋbah li Al-Nasyr wa al-Tauzȋ’, 1420 H/ 1999 M), juz. 1, h. 401.
[14] Yaitu pengkabaran yang menyalahi atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
[15]Muhammad Husain Al Dzahabi, al Isrȃȋliyȃt.....h, 48-49.
[16]Abu Al Fida’ al-Hafidz al-Dimasq Ibnu al-Katsir, Op. Cit, h. 394
[17]Muhammad Husain al-Dzahabiy, al Isrȃȋliyȃt...., h. 50-51
[18]Ibid
[19]Abu ‘Abdillah Muhammad Ismȃȋl, Shahȋh al-Bukhȃriy, (Riyadh: Dȃr al-Afkȃr al-Dauliyah li al-Nasyr, 1998M), hadis no. 7362, h. 1402. Kitab: al-‘I’Tishȃm bi al-Kitȃb wa al-Sunnah,  Bab: la Tasalȗ Ahl al-kitȃb ‘an Syai’in.
[20]Abu ‘Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilȃl bin Asad bin al-Syainiy, Musnad Ahmad, (Beirut: Muassah al Risȃlah, 1420 H/1999 M), hadis no. 15156, juz. 23, h. 339.
[21]Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃȋl, Op. Cit, hadis no. 2685, h.511. Kitab: as Syahȃdah, Bab: la Yus’al ahl al Syirk ‘an al Syahȃdah wa Ghairihȃ,
[22]Muhammad Husain al Dzahabiy, al Isrȃȋliyȃt...., h. 57-58
[23]Abu ‘Abdillah Muhammad Ismȃȋl, Op. Cit, hadis no. 3461, h. 666. Kitab: Ahȃdȋs al-Anbiyȃ’, Bab: mȃ Zukira ‘an Banȋ Isrȃȋl.
[24]Ahmad bin Hanbal, Op. Cit, hadis no. 3755, juz. 8, h. 281.
[25] Muhammad Husain al Dzahabiy, al Isrȃȋliyȃt...., h. 60-67

0 komentar: