.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Sabtu, 05 April 2014

PEMAHAMAN HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL



*Desri Nengsih*
1.    Pemahaman Hadis secara Tekstual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tekstual mengandung makna naskah yang berupa:[1]
a. Kata-kata asli dari pengarang
b. Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau  alasan
c. Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan lain lain.
Berdasarkan asal kata tekstual di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan pemahaman hadis secara tekstual adalah memahami hadis berdasarkan makna lahiriah, asli, atau sesuai dengan arti secara bahasa.
Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang tersurat pada redaksi (matan) hadis dipahami sesuai dengan makna lughawi-nya, sehingga langsung dapat dipahami oleh pembaca. Cakupan makna dan kandungan pesan yang ingin disampaikan oleh hadis dapat ditangkap oleh pembaca hanya dengan membaca teks (kata-kata) yang terdapat di dalamnya. Karena makna-makna tersebut telah dikenal dan dipahami secara umum dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadis dengan cara seperti ini dapat dikategorikan sebagai salah satu pendekatan pemahaman hadis yang paling sederhana dan mendasar. Karena hanya dengan membaca lafaz hadis dan memahami makna lughawi-nya pembaca dapat menarik pemahaman dan gagasan ide yang dimiliki hadis.
Bila diklasifikasikan menurut bentuk matan-nya, maka hadis-hadis yang dapat dipahami dengan pendekatan ini adalah hadis-hadis yang bersifat jawȃmi' al-kalȃm yaitu ungkapan yang singkat namun mengandung makna yang padat. Di antara contoh hadis tersebut ialah hadis yang menjelaskan tentang “perang itu adalah siasat”, seperti berikut:
 حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَصْرَمَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ سَمَّى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْحَرْبَ خُدْعَةً[2]
Artinya:"Abu Bakar bin Ashram telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah telah mengkabarkan kepada kami, Ma’mar telah mengkabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw. berkata:”Perang itu adalah siasat".

Pemahaman  terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal serta tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu. Perang yang dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama saja dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat. [3]

2.    Pemahaman Hadis secara Kontekstual
Sebagaimana halnya al-Quran yang ayat-ayatnya turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (baik berupa kasus atau pernyataan sahabat) atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan asbȃb al-nuzȗl, begitu juga halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw. Di antaranya ada yang muncul dengan dilatar- belakangi oleh suatu peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut asbab wurȗd al-hadȋs, yang dalam tulisan ini disebut dengan konteks.[4]
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual ternyata tak selamanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di tengah masyarakat, sehingga memunculkan kesan bahwa sebagian hadis Rasulullah Saw. terkesan tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan dan tak mampu mewakili pesan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw. [5]
Pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang dimaksud di sini adalah memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan perkataan lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.[6]
Dari pengertian di atas, ada dua cara yang dapat digunakan dalam memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
a.    Analisis terhadap kata-kata yang terdapat dalam teks
Dalam kaitannya dengan hadis, maka konteks di sini berarti bagian kalimat hadis yang dapat menambah dan mendukung kejelasan makna. Dengan menganalisa dan memahami lebih dalam kata demi kata dalam matan hadis tersebut akan membantu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas.
b.    Situasi yang ada hubungannya dengan kejadian
Dalam istilah hadis, situasi yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis disebut dengan asbab wurȗd al-hadȋs yang disebut juga dengan konteks. Dengan demikian, memahami hadis Rasul yang muncul lebih kurang 14 abad yang silam tidak bisa dicukupkan hanya dengan memahami teks atau redaksi hadis dari sudut gramatika bahasa saja. Akan tetapi lebih jauh harus disertai dengan kajian tentang keterkaitannya dengan situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut (asbab al-wurȗd) secara khusus atau dengan memperhatikan konteksnya secara umum.
Mengkaji asbȃb al-wurȗd dalam memahami hadis sangat membantu untuk memperoleh makna yang lebih representative, sehingga kesalahpahaman terhadap hadis Nabi Saw. dapat dihindarkan. Sekaligus dapat dijadikan pisau analisis untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, nasakh atau mansȗkh dan lain sebagainya.[7]
Dengan demikian, jelaslah bahwa menggunakan asbȃb al-wurȗd sebagai pisau analisis dalam memahami hadis Rasulullah Saw. mampu menyibak tabir rahasia dari makna sebuah hadis, sehingga kekhawatiran terhadap penilaian bahwa adanya hadis Nabi Saw. yang tidak up to date dapat dihindari. Inilah di antara pentingnya fungsi asbȃb al-wurȗd dalam kajian hadis ini.
Akan tetapi fakta yang tak dapat dipungkiri adalah di samping banyaknya hadis yang memiliki asbȃb al-wurȗd yang jelas, juga terdapat hadis yang tidak memiliki latar historis yang khusus. Oleh karena itu, untuk memahami hadis kategori kedua ini Said Agil Husin al-Munawar menawarkan untuk menganalisis pemahaman hadis dengan menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis bahkan pendekatan psikologis.[8]
Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Adapun pendekatan sosiologis adalah memahami hadis Rasulullah Saw. dengan mengkaji kondisi dan situasi masyarakat saat munculnya hadis tersebut.[9] Sedangkan pendekatan antropologis yaitu dengan memperhatikan terbentuknya hadis pada tataran nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Pedekatan selanjutnya adalah pendekatan psikologis, dimana dengan pendekatan ini memahami hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan psikis Nabi Saw. dan masyarakat, khususnya sahabat yang dihadapi Nabi Saw. yang turut melatarbelakangi munculnya hadis. [10]
Aplikasi pemahaman hadis dengan pendekatan historis-sosiologis-antropologis adalah seperti hadis berikut:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَهْلِ أَبِي الْأَسَدِ عَنْ بُكَيْرٍ الْجَزَرِيِّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ بِعِضَادَةِ الْبَابِ فَقَالَ الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ .[11]

Artinya:" Waki’ telah menceritakan kepada kami, A'masy telah menceritakan kepada kami dari Sahl Abi al-Asad dari Bukair al-Jazariy dari Anas berkata:”kami berada di rumah salah seorang Anshar, lalu Nabi Saw. datang, kemudian berdiri membelakangi pintu lalu bersabda:"Pemimpin itu dari suku Quraisy, dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan kamu juga mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya".

Ibnu Hajar al-'Asqalaniy telah membahas hadis tersebut secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali dari kalangan Mu'tazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraisy. Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari suku Quraisy. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imȃmah al-'uzhma). [12]
Menurut al-Qurthubiy, kepala negara disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.[13]
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi Saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah dan berlaku secara universal.
Apabila kandungan di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi Saw., maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu dinyatakan, Nabi Saw. berada dalam fungsinya sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial. Yakni sangat mengutamakan orang suku Quraisy. Hal ini tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur'an misalnya yang menyatakan bahwa orang yang paling utama dihadapan Allah Swt. adalah orang yang paling bertaqwa[14]. Jadi, hadis ini dikemukakan Nabi Saw. sebagai ajaran yang bersifat temporal.
Pemahaman hadis seperti ini lebih kontekstual, akomodatif dan dinilai lebih komunikatif dengan perkembangan zaman. Karena memahami hadis Rasulullah Saw. dengan pendekatan sosiologis, antropologis dan psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan tetapi, tentu dengan tujuan tetap mempertahankan ruh, semangat, dan nilai yang terkandung di dalam hadis tersebut. Seluruh ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga keorisinilan hadis Nabi Saw. terutama dari sudut pemahamannya dan agar tujuan syari'at (maqȃshid al-syarȋ'ah) sebagai rahmatan lil 'ȃlamȋn dapat dicapai.
Pendekatan pemahaman hadis secara kontekstual seperti ini sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Imam al-Syafi'iy dalam menjelaskan hadis-hadis mukhtalif. Menurutnya faktor penyebab timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah karena tidak mengetahui asbȃb al-wurȗd suatu hadis, atau dengan kata lain karena tidak memperhatikan konteksnya.[15] Dengan demikian, jelaslah bahwa memahami hadis dengan memperhatikan konteksnya tidak saja dapat mengantarkan penemuan maksud hadis yang lebih representatif melainkan juga menemukan pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai kontradiksi, sehingga hadis dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebagai seorang pemerhati dan juga termasuk salah seorang ahli hadis, Yusuf al-Qaradhawiy turut menawarkan cara untuk memahami hadis selain yang telah dipaparkan di atas. Menurutnya, untuk memahami hadis dengan baik adalah dengan cara:[16]
a.    Memahami sunnah dengan isyarat atau petunjuk al-Quran
b.    Mengimpun hadis-hadis setema
c.    Kompromi atau tarjih terhadap hadis-hadis kontradiktif
d.   Memahami hadis dengan situasi dan kondisi serta tujuannya
e.    Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap
f.     Membedakan hakikat dan majazi
g.    Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib
h.    Memastikan makna kata-kata dalam hadis
Langkah-langkah dalam memahami hadis yang diterapkan oleh Yusuf al-Qaradhawiy ini juga dipakai oleh ulama lain seperti Muhammad al-Gazaliy yang beliau tuangkan dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Judul asli: al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadȋs, penerjemah: Muhammad al-Baqir).
Adapun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya dalam memahami hadis, terutama hadis-hadis ahkam (hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum syari'at) adalah pendekatan kaidah ushul, yaitu memahami hadis-hadis Rasulullah Saw. dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena untuk memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-istinbath-kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat kaitannya dengan kajian ilmu ushul.[17] Pendekatan dengan memperhatikan kaidah ushul ini telah dipraktekkan oleh Imam al-Syafi'iy dalam menyelesaikan permasalahan pemahaman hadis-hadis mukhtalif.
Usaha memahami hadis Nabi Saw. ternyata menghembuskan angin segar di kalangan ulama, karena mereka laksana mendapatkan ilham dan sekaligus telah membuka wacana pemikiran bagi intelektual muslim hingga abad ini. Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk memahami hadis dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang benar. Semua usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan panduan dalam kehidupan.








[1]Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001M), h.916
[2] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismȃ’ȋl al-Bukhȃriy, Op. Cit., h. 579. Kitab: Al-Jihȃd, Bab: al-Harb Khad’ah, Hadis no. 3029
[3]Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 11
[4]Istilah konteks mengandung arti: 1) bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, 2) situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Besar, Op.Cit., h. 458
[5]Maizudin, Kajian Islam, Jurnal Ilmu-Ilmu ke Islaman, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), h. 115
[6] Edi Safri, Op.Cit, h. 103
[7]Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Histori-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001M), h.9
[8]Ibid., h.24
[9]Buchari M. Op,Cit, h. 183
[10]Maizudin, Op.Cit., h. 118
[11]Ahmad bin Hanbal, Op. Cit., juz. 20, h. 249. Hadis no. 12900
[12]Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalȃniy, Op. Cit., h. 526-536
[13] Ibid, h. 118
[14]Lihat al-Qur'an surat al-Hujarat ayat 13
[15]Edi Safri, Op. Cit., h. 104
[16]Yȗsuf al-Qaradhȃwiy, Op. Cit.,
[17]Edi Safri, Op Cit., h. 98

0 komentar: