.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Minggu, 30 Maret 2014

Kehujjahan Hadis Ahad dalam Masalah Akidah


Untuk masalah yang bukan berhubungan dengan akidah, para ulama sepakat bahwa hadis shahȋh dapat dijadikan sebagai sebagai hujjah, walaupun periwayatannya bersifat ahȃd. Namun, untuk hal-hal yang berhubungan dengan akidah yang dituntut untuk mempercayai dan meyakininya, ternyata tidak semua hadis Rasulullah Saw. yang derjatnya shahȋh dapat dijadikan hujjah.

Sebagian ulama dari kalangan Theologia[1], dan sebagian ulama ushul[2] mengatakan; bahwa akidah sebagai pondasi kebenaran ajaran Islam berlandaskan kepada dalil-dalil pasti dan meyakinkan (qath’ȋ), dan hal ini terbatas pada  al-Qur'an dan hadis mutawȃtir saja. Adapun hadis yang bernilai ahȃd tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah ini, sebab ia hanya memberikan pengertian yang sifatnya zhanniy (dugaan yang kuat tentang sesuatu). Hal yang senada juga diungkapkan oleh Mahmȗd Syaltȗt bahwa para ulama sepakat, sesungguhnya hadis ahȃd tidak dapat memberikan faedah dalam masalah akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah gaib.[3]

Pendapat yang dikemukakan di atas dinilai berbahaya oleh Mustafa Ya’qub, sebab hal ini akan membawa kepada konsekwensi gugurnya sebagian besar ajaran Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam.[4]Selanjutnya ia memberikan klarifikasi bahwa para ulama khususnya muhaddisȋn tidak pernah mengatakan bahwa hadis ahȃd tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah akidah, namun hadis shahȋh dan hasan sajalah yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah, syari’ah, dan akhlak meskipun hadis tersebut diriwayatkan secara ahȃd.[5] Dengan demikian, yang menjadi sandaran bagi mereka adalah shahȋh atau tidaknya hadis tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh imam al-Syȃfi’iy.[6] Namun, untuk menunjukkan sikap kehati-hatian terhadap hadis ahȃd tersebut para ulama juga menetapkan syarat-syarat tertentu untuk menerimanya seperti halnya yang dilakukan oleh imam Malik dan imam Abu Hanifah,[7] namun bukan berarti mereka menolak hadis tersebut.

Di samping itu, Mustafa Ya’qub juga menjelaskan bahwa ada ayat-ayat  yang dapat dijadikan argumen untuk menggunakan hadis Ahȃd sebagai dalil dalam masalah akidah, yaitu:


وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ


Artinya:.Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang), mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (at-Taubah:122).



Menurutnya kata “thȃ’ifah” yang berarti satu atau dua orang menunjukkan bahwa kewajiban memperdalam pengetahuan agama (tafaqquh fi al-dȋn) dan menyampaikan kepada orang lain (indzȃr) tidak mesti dilakukan secara berombongan. Ini berarti ajaran dari Nabi Muhammad Saw. hanya disampaikan kepada kita oleh satu atau dua orang saja, tetap sah dan dibenarkan.[8]

Di samping itu, menurutnya zhann yang terpuji dapat dijadikan landasan dalam masalah akidah, sebab al-Quran sendiri sering menyebutkan hal-hal yang diyakini oleh umat Islam dengan istilah “zhan”, seperti firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 46:

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ



Artinya:”(Yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhan-Nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.


Mustafa Ya’qub mengungkpakan bahwa dalam ayat di atas ungkapan “yazhunnȗn” (mereka ber-zhann) berkaitan dengan masalah akidah, yakni bertemu dengan Allah Swt. dan kembali kepada-Nya. Ini berarti bahwa zhann (dugaan yang kuat tentang sesuatu) dapat dijadikan landasan dalam akidah. Karena itu, kata “yazhunnȗn” yang secara semula berarti “mereka mengira” kini diterjemahkan menjadi mereka meyakini.[9]         

Di sisi lain fakta sejarah juga menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus para sahabat secara perorangan ke berbagai daerah untuk mengajarkan agama Islam (tentunya termasuk permasalahan akidah). Jika saja penjelasan agama tersebut harus disampaikan oleh sejumlah orang yang mencapai kategori mutawȃtir, tentu masyarakat tersebut tidak menerima dakwah yang mereka sampaikan.[10] Bukan hanya itu, bahkan para sahabat sendiri pada waktu itu tidak pernah mempermasalahkan jumlah orang yang menyampaikan berita dari Nabi Muhammad Saw. kepada mereka, seperti halnya Rasul mengutus Abu Ubaidah ke Yaman untuk mengajarkan agama Islam kepada mereka. Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahȋh-nya:


حَدَّثَنِى عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - وَهُوَ ابْنُ سَلَمَةَ - عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَهْلَ الْيَمَنِ قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا ابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً يُعَلِّمْنَا السُّنَّةَ وَالإِسْلاَمَ. قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِ أَبِى عُبَيْدَةَ فَقَالَ « هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّةِ[11]


Artinya:”............dari Anas bin Malik berkata bahwasannya penduduk Yaman mendatangi Rasulullah Saw., lalu mereka berkata”ya Rasulullah utuslah kepada kami seseorang yang akan mengajarkan kepada kami sunnah dan Islam . lalu Rasul mengambil tangan Abu Ubaidah dan berkata”ini adalah amȋn (kepercayaan) umat ini”. 



            Di samping itu, Umar bin Khattab juga pernah mengatakan bahwa seorang sahabat Anshar; apabila tidak bertemu dengan Rasulullah Saw., saya mendatanginya dengan menyampaikan kabar dari Rasul Saw., dan jika saya yang tidak bisa hadir, maka orang tersebut akan datang kepadaku membawa kabar dari Rasulullah Saw.[12] Dengan demikian, peristiwa yang dilakukan para sahabat  ini menunjukkan bahwa satu orang dari kalangan mereka sudah cukup untuk menerima hadis yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) maupun amal-amal positif (al-af’ȃl).

Menyikapi ketidaksepakatan ulama mengenai ke-hujjah-an hadis ahȃd dalam masalah akidah tersebut, menarik sekali untuk disimak kehati-hatian ulama yang berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Dalam hal ini, mereka membedakan antara hadis-hadis untuk masalah pokok akidah (ushȗl al-‘aqȃ-id atau al-‘aqȃ’id al-asȃsiyah) dengan hadis-hadis yang terkait dengan masalah cabang akidah (furȗ’ al-‘aqȃ’id atau al-‘aqȃid al-far’iyyah).[13]

Berkenaan dengan masalah pokok-pokok keimanan (akidah), seperti eksistensi (wujud) Allah, keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya, keimanan kepada malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, takdir, kebangkitan setelah mati, dan pembalasan amal di akhirat, menurut ulama hanya dapat ditetapkan dengan argumen logika yang jelas, nash al-Quran, serta hadis-hadis yang bernilai mutȃwatir, baik secara lafzhiy (redaksional) maupun maknawi.[14]Adapun persoalan-persoalan akidah yang bukan merupakan pokok keimanan (akidah), menurut ulama sebagaimana diungkapkan Abu Zahw boleh saja ditetapkan dengan hadis ahȃd yang berkualitas shahȋh, yaitu tidak bertentangan dengan al-Quran, hadis mutawȃtir, kesepakatan ulama (ijma’) dan logika pikiran yang sehat. Di antara hal-hal yang dicontohkan ulama sebagai masalah-masalah cabang akidah ialah; mensifati Allah dengan sifat-sifat yang sempurna secara detail, menyebut Allah dengan nama-nama yang agung (al-asmȃ’ al-husnȃ), serta berbagai berita, mengenai persoalan-persoalan gaib seperti azab dan nikmat kubur dan rincian kejadian-kejadian hari kiamat. [15]

Syaikh Rabȋ’ bin Hȃdȋ ‘Umair al-Madkhaliy mengungkapkan bahwa dalil-dalil zhanniy yang kuat atau hadis ahȃd yang shahȋh akan yang memfaedahkan ilmu dan terlebih lagi jika jalur jalur sanad hadis tersebut banyak atau mengungkapkan persoalan-persoalan  yang juga dinyatakan dalam al-Quran atau sesuai dengan ijma’ ulama.[16] Ibnu Hajar juga menambahkan bahwa hadis ahȃd itu memfaedahkan ilmu apabila didukung oleh indikasi-indikasi (qarȋnah) lain, seperti, diriwayatkan oleh imam al-Bukhȃriy dan imam Muslim atau diriwayatkan melalui berbagai jalur yang terbukti terhindar dari masuknya para periwayat yang berkualitas dha’ȋf, cacat, serta tidak mengandung pengertian yang gharȋb.[17]

Di samping beberapa hal di atas, juga ditemui adanya syubhat (celaan) terhadap hadis ahȃd ini, yaitu mereka menerima penetapan hadis ahȃd dalam masalah hukum dan tidak menerimanya dalam masalah akidah.[18] Maka, dalam hal ini di satu sisi mereka menerima tapi hanya untuk masalah hukum dan di sisi lain menolaknya jika terkait dengan masalah akidah. Imam Al-Bȃniy mengatakan; bahwa jika dilihat ke dalam sumber pen-syari’at-an Islam tidak pernah ditemukannya perbedaan dalam hal ini, namun khabar ahȃd yang berstatuskan shahȋh memfaedahkan ilmu yang qath’iy dan digunakan dalam menetapkan masalah akidah dan hukum.[19

writer: Desri Nengsih
           Marapalam, 30 Maret 2014



[1]Contohnya ulama Mu'tazilah dan ulama Muta’akhirȋn, seperti: Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim Usman dan lain-lain. Lihat Yusuf al-Wabil, Op. Cit., h. 39


[2]Taqiy al-Dȋn Abȗ al-Baqȃ’ Muhammad bin Ahmad bin Abd al-‘Azȋz bin ‘Aliy al-Futȗhiy lebih dikenal dengan Ibn al-Najjȃr, Syarh al-Kaukab al-Munȋr, (Cairo: Maktabah ‘al-‘Ibkȃn, tth), juz. 2, h. 352.


[3]Mahmȗd Syaltȗt, al-Islȃm ‘Aqȋdah wa Syarȋ’ah, (Cairo: Dȃr al-Syurȗq, 2011M), h. 658-61


[4]Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995M), h. 133


[5]Ibid


[6]Muhammad Nȃshir al-Dȋn al-Albȃniy, al-Hadȋs Hujjah fȋ al-‘Aqȃ’id wa al-Ahkȃm, Tȗnis: Dȃr al-Salafiyah, 1986M), h. 61. Lihat juga Yusuf al-Wabil, Op. Cit., h. 40


[7]Dalȃl Muhammad Abȗ Sȃlim, Syibh al-Hadȋs wa ar-Rd ‘alaihȃ, (Cairo: Maktabah al-Azhar, 2010M), h. 20-22. Seperti Imam Malik mensyaratkan jika hadis tersebut tidak menyalahi ijma’ ahl al-Madȋnah. Seperti itu juga dengan Abu Hanifah jika hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan beberapa persyaratan lainnya. Hal ini mereka lakukan adalah untuk menunjukkan sikap kehati-hatian dan tidak untuk menolak hadis tersebut. 


[8]Mustafa Ya’qub, Op. Cit.,  h. 135


[9]Ibid


[10] Syuhudi Ismail, hadis Nabi......, h. 87-88


[11]Abu Husain Muslim bin al-Hajjȃj al-Qusyairiy al-Naisȃbȗriy, Op.Cit., h. 985. Kitab: Fadhȃ’il al-Shahȃbah, Bab: Fadhȃ’il Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Hadis no. 2419


[12] Yusuf al-Wabil, Op. Cit., h. 46. Lihat juga Musthafa al-Sibȃ’iy. Op. Cit., h. 164-176


[13] Ushȗl al-Aqȃ’id atau al-‘Aqȃ’id al-Asȃsiyah adalah akidah-akidah pokok yang disepakati dalam Islam yang wajib dianutdan dibela setiap muslim. Sedangkan Furȗ’ al-‘Aqȃ’id atau al-‘Aqȃ’id al-Far’iyyah adalah akidah-akidah cabang yang dipersilisihkan oleh sesama teologi Islam. Akidah ini tidak wajib dianut dan juga tidak wajib ditolak. Dengan kata lain, boleh saja dianut dan dibela, tetapi juga boleh ditolak dan diserang. Lihat, Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001M), h. 19


[14] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadȋs wa al-Muhaddisȗn ‘Inȃyah al-Ummah al-Islȃmiyah bi al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo: Maktabah al-Taufȋqiyah, tth), h. 212-214.


[15]Ibid


[16]Rabȋ’ bin Hȃdȋ ‘Umair al-Madkhaliy, Hujjiyah Khabar al-Ahȃd fȋ al-‘Aqȃ’id wa al-Ahkȃm, (Cairo: Dȃr al-Minhȃj, 2005M), h. 152


[17]Muhammad Muhammad Abu Zahw, Op. Cit.


[18] Muhammad Nȃshir al-Dȋn al-Albȃniy. Op.,Cit, h. 51


[19] Ibid, h. 67