.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Rabu, 26 Maret 2014

KAEDAH KESAHIHAN MATAN HADIS



 *Desri Nengsih*
Ulama hadis yang melakukan penelitian sanad tidak langsung menganggap bahwa hadis yang sudah shahȋh sanad-nya langsung dianggap shahȋh matan-nya. Namun, terlebih dahulu diteliti apakah matan-nya juga shahȋh, sebab bisa jadi sebuah hadis yang shahȋh sanad-nya tetapi belum tentu shahȋh juga matan-nya.

Buchari mengatakan bahwa dari syarat hadis shahȋh sebenarnya dapat dinyatakan bahwa ada dua syarat yang terkait dengan ke-shahȋh-an matan hadis, yaitu matan hadis tersebut terhindari dari syȃdz dan ‘illat.[1] Apabila matan hadis terhindar dari dua hal tersebut, maka baru dinyatakan bahwa hadis tersebut shahȋh matan-nya. Misalnya, jika hadis itu sudah shahȋh sanad-nya tapi ketika diteliti matan-nya bertentangan dengan hadis lain yang juga shahȋh, maka hadis tersebut dianggap syȃdz matan-nya dan bisa membuat hadis tersebut sebagai hadis dha’ȋf.

Ulama hadis cenderung mengatakan bahwa syȃdz banyak terjadi pada matan hadis dan bukan pada sanad, karena syȃdz ini akan diketahui jika matan hadis tersebut dibandingkan dengan hadis lain, maka akan diketahui terjadinya idrȃj (redaksi hadis yang tidak teratur).[2] Kegiatan meneliti syȃdz dan ‘illat pada matan hadis juga sulit, sama halnya dengan meneliti syȃdz dan ‘illat pada sanad.

Berkaitan dengan penelitian matan, ulama hadis membuat undang-undang yang beragam. Di antaranya dalam kitab mu’ashir (naqd al-matan) yang disimpulkan oleh al-Adlibi, yaitu:[3]

1.    Tidak bertentangan dengan al-Qur'an

2.    Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat darinya

3.    Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah

4.    Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi Saw.

Dari empat tolak ukur di atas, tiga di antaranya lebih mengarah kepada makna hadis, sementara tolak ukur nomor empat mengarah kepada redaksi hadis. Apabila terpenuhi syarat shahȋh matan hadis di atas baru dianggap hadisnya sebagai shahȋh matan hadis.

Dari penjelasan ulama hadis dari kitab-kitab yang mereka tulis, Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis sebagai berikut:[4]

1.    Meneliti matan dengan meneliti kualitas sanad-nya

Sanad dan matan hadis memiliki kedudukan yang sama pentingnya untuk diteliti dalam melihat kualitas status ke-hujjah-an suatu hadis. Namun, dalam melakukan kegiatan penelitian para muhaddisin mendahulukan penelitian terhadap sanad-nya, setelah itu baru dilakukan penelitian terhadap matan hadis, karena penelitian matan akan berguna jika sanad hadis-nya sudah jelas ada dan shahȋh. Jika sanad hadisnya tidak ada dan tidak shahȋh, maka percuma untuk meneliti matan-nya.

2.    Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna

Terjadinya perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna (riwȃyah bi al-ma’na). Ulama hadis berpendapat terjadinya perbedaan lafaz tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanad-nya sama-sama shahȋh.[5]

Sebagai konsekwensi dari perbedaan lafaz pada matan hadis yang semakna, maka diperlukan metode muqȃranah (perbandingan). Metode ini tidak hanya ditujukan pada lafaz matan saja, tetapi juga pada sanad. Dengan menggunakan metode ini akan dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan pada sanad dan matan hadis tersebut masih dapat ditoleransi atau tidak, sehingga dari hasil penelitian yang telah diupayakan itu lebih dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Rasulullah.[6] Selain itu, dengan metode muqȃranah ini akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyȃdah, idrȃj dan lain-lain yang dapat berpengaruh pada matan yang bersangkutan, khusunya dalam ke-hujjah-annya.

3.    Meneliti kandungan matan

Setelah meneliti susunan lafaz, langkah selanjutnya adalah meneliti kandungan matan hadis. Dalam meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama. Untuk mengetahui ada atau tidaknya matan lain yang memiliki topik masalah yang sama, perlu dilakukan takhrȋj al-hadȋs bi al-maudhȗ’. Apabila ternyata ada matan lain yang bertopik yang sama, maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Dan jika sanad-nya memenuhi syarat, maka dilakukanlah kegiatan muqȃranah kandungan matan hadis tersebut. Jika kandungan matan yang dibandingkan ternyata sama, maka dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap matan tersebut hampir rampung, hanya tinggal memeriksa keterangan masing-masing matan dari berbagai kitab syarh untuk mengetahui lebih jauh hal-hal yang berhubungan dengan matan yang diteliti. Jika ternyata hasil penelitian sejalan dengan dalil yang lebih kuat, maka dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap matan hadis tersebut telah berakhir. Namun, sebaliknya jika didapati pertentangan dengan dalil yang lebih kuat, maka penelitian masih terus berlanjut sampai ditemukan jawaban tentang hal tersebut.

Memperhatikan tahapan-tahapan penelitian di atas, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan. Jika matan yang diteliti ternyata shahȋh, maka dalam mengambil kesimpulan dinyatakan bahwa hadis yang diteliti berkualitas shahȋh.






[1]Buchari, Kaedah Ke-shahȋh-an Matan Hadits, (Padang: Azka, 2004M), h. 211
[2]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991M), h. 135. Contoh hadis yang terjadi idrȃj di dalamnya adalah: hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi:
"اسبغوا الوضوء، ويل للأعقاب من اللنار" Dalal Abu Salim menagatakan: kata-kata اسبغوا الوضوء adalah mudraj dari perkataan Abu Hurairah sebagaimana dijelaskan dalam periwayatan Bukhariy. Lihat:Qism al-Hadȋs wa ‘Ulumuhu, Syubhȃh haula al-Sunnah, (Cairo: Universitas al-Azhar, 2008M), h. 13.
[3] Shalȃh al-Dȋn bin Ahmad al-Adhlabiy,Al-Adlibiy, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind Ulamȃ’ al-Hadȋs al-Nabawiy (terj, Metodologi Kritik Matan Hadis), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004 M), h. 238
[4]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian....., h. 121-122
[5]Shalȃh al-Dȋn bin Ahmad al-Adhlabiy, Op. Cit., .h. 254
[6]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian..., h. 134-135

0 komentar: