.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Senin, 14 April 2014

SEJARAH HADIS NABI SAW - part 1 - " HADIS MASA PRA KODIFIKASI"


*Desri Nengsih*

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis Nabi Saw. dapat diklasifikasikan dalam beberapa periode, yaitu
1    1.     Hadis pada masa Nabi Muhammad Saw
2    2.     Hadis pada masa sahabat
      3.     Hadis pada masa tabi’in
4    4.     Hadis masa kodifikasi
Dalam pemabahasan kali ini penulis hanya akan memaparkan tiga poin yang pertama saja, yang dalam hal ini penulis menyebutnya dengan “Hadis Masa Pra Kodifikasi”.  Adapun untuk poin nomor empat akan dilanjutkan pada pembahasan berikutnya, karena poin yang nomor empat ini juga terbagi ke dalam beberapa periode. Maka untuk lebih jelas dan lebih rincinya, penulis juga akan memaparkannya secara tersendiri pada pembahasan berikutnya.
1.    Hadis pada Masa Rasul Saw
Ketika kita membicarakan hadis pada masa Rasul berarti membicarakan hadis pada masa awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadis. Rasul Saw. membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadis. Maka masa ini disebut dengan ‘ashr al-wahy wa al-takwȋn”, yaitu masa wahyu dan pembentukan, karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya, sehingga keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwȃl), perbuatan (af’ȃl), dan penetapan (taqrȋr)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Maka Allah menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah Swt. Berfirman dalam surat an-Najm ayat 3 sampai 4:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى 

Artinya:”Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Sesungguhnya ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya”.
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-nyiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka  tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, dan mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya.
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Maka tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus, berkenaan dengan hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal Islam, seperti yang dilakukan para sahabat terhadap Rasulullah.
Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syari’at Allah yang hampir semua perkataan dan prilakunya bermuara hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan murni urusan duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majlis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersama Nabi, mendiskusikan dan menela’ah secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima, mereka langsung mengecek kebenarannya pada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan bermu’amalah dengan mereka, sehingga jika terjadi kesalahan penukilan, kekleiruan, pengucapan, atau kekurangpahaman terhadap makna teks hadis, dapat dirujuk langsung kepada Nabi.
Ada beberapa cara yang dilakukan Rasul untuk menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama: melalui majlis al’ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jama’ah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatan dan ajaran yang disampaikan Nabi.
Para sahabat begitu atunsias untuk tetap bisa megikuti kegiatan di majlis ini, hal ini ditunjukkannya dengan banyak upaya. Terkadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khatab. Ia sewaktu-waktu bergantian hadir dengan Ibnu Zaid (dari Bani Umaiyyah) untuk memghadiri majlis ini ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata “kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian aku melakukannya”. Terkadang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka dari sini, seperti yang pernah dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris yang pernah tinggal bersama Nabi selama dua puluh malam.
Kedua: dalam banyak kesempatan Rasul Saw. juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh sahabat tersebut disampaikannya kepada sahabat yang lain.  Hal ini terkadang karena sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul sendiri, atau secara kebetulan sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang.
Ketiga: untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan sosiologis, terutama hal yang menyangkut hubungan suami istri, ia sampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus dalam hadis ketika Nabi menjelaskan kepada tentang seorang wanita Anshor yang  bertanya kepadanya tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi dalam hal ini dibantu oleh Aisyah untuk menjelaskan hal sensitif ini apalagi peristiwa ini berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
Keempat: cara lain yang dilakukan Nabi adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futȗh Makkah (penaklukkan kota Makkah).
Kelima: melaui perbuatan yang langsung disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyȃhadah, seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan mu’amalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam, seperti suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), lalu Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya ke dalam gandum itu, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda
......فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ
Artinya:”...tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Ahmad).
1.a. Perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis
Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadisnya. Ada yang memiliki lebih banyak, dan ada juga yang lebih sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal: pertama: perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasul. Kedua: perbedaan mereka dalam hal kesanggupan bertanya kepada yang lain. Ketiga: perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Mesjid Rasul.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul Saw. dengan beberapa penyebabnya. Mereka antara lain:
a.       Para sahabat yang tergolong kelompok al-sȃbiqȗn al-awwalȗn (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu bakar, ‘Umar bin Khatab, ‘Utsman bin ‘Affan,  Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lain-lain. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b.      Ummahȃt al-mukminȋn (istri-istri Rasul Saw), seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul Saw dari pada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c.       Para sahabat yang di samping selalu dekat dengan Rasul juga menuliskan hadis-hadis yang diterimanya, seperti ‘Abdullah bin al-’Ash
d.      Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul, akan tetapi banyak bertanya kepada sahabat lainnya secara bersungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e.       Para sahabat yang secara bersungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain, serta dari sudut usia tergolong yang hidup lebh lama dari wafatnya Rasul, seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, Anas bin malik, dan ‘Abdullah bin ‘Abbas.
1.b. Menghafal dan Menulis hadis
b.1. Menghafal hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan, al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran islam. Terhadap al-Qur’an Rasul secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedangkan terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini Rasul bersabda:
.........عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ »
Artinya:”.......Dari Abi Sa’id al-Khudriy bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda” janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Qur’an, siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah menghapusnya, dan ceritakanlah apa yang diterima dariku, ini tidaklah apa-apa. Siapa yang berdusta atas namanku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di Neraka. (HR. Muslim)
Maka segala hadis yang diterima sahabat dari Rasul diingatnya secara bersungguh-sungguh dan hati-hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya  bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat dengan hafalannya, seperti yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Nashr dalam kitabnya Tawfiq al-‘Athar “Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal, mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis, sya’ir, dan lain-lain dengan baik, seakan mereka membaca dari sebuah buku”. Kedua, Rasul banyak memberikan spirit melaui do’a-do’anya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang mengahafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.

b. 2. menulis hadis
Dibalik larangan Rasul seperti pada hadis Abu Sa’id al-Khudri di atas, ternyata juga ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulis terhadap hadis dan memiliki catatan-catatannya, ialah:
1.      ‘Abudullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul, sehingga diberinya nama al-Shahȋfah al-Shadiqah.
2.      Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr al-Anshariy. Ia memiliki catatan hadis dari Rasul tentang manasik haji. Catatannya ini dikenal dengan Shahȋfah Jȃbir.
3.      Abu Hurairah. Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan al-Shahȋfah al-Shahȋhah.
4.      Abu Syah (‘Umar bin Sa’ad al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul dicatatkan hadis yang disampaikannya ketika berkhutbah pada peristiwa Fathu Makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang laki-laki Bani Laits. Rasul kemudian bersabada:
......فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ....                       
Artinya:”Rasul Saw. berkata “tuliskanlah untuk Abi Syah.....”. (HR. Bukhariy).

1.c. Mempertemukan dua hadis yang bertentangan
Dengan melihat dua kelompok hadis yang kelihatannya terjadi kontradiksi, seperti pada hadis Abu Sa’id al-Khudriy dengan hadis tentang kisah Abu Syah. Hal ini mengundang perhatian ulama untuk mencari penyelesaiannya. Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya seperti jalan nȃsikh dan mansȗkh, dan ada juga yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, larangan Rasul Saw. menuliskan hadis adalah khusus ketika al-Qur’an turun. Hal ini dikarenakan khawatirnya brcampur antara naskah ayat-ayat al-Qur’an dengan hadis, yang pada saat itu al-Qur’an masih dalam proses penurunan. Imam al-Nawawiy dan al-Suyutiy juga memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang-orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat ingatannya dibolehkan mencatatnya.
‘Ajjaj al-Khatib mencoba untuk menyimpulkan pendapat ulama di atas dengan terbagi kepada empat kelompok:
Pertama: menurut sebagian ulama bahwa hadis dari Abu Sa’id al-Khudriy ini bernilai mauqȗf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut ‘Ajjal al-Khatib pendapat ini tidak bisa diterima karena hadis Abu sa’id dan hadis-hadis yang semakna dengannya adalah sahih.
Kedua: larangan menulis hadis terjadi pada periode awal Islam. Hal ini karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Maka pada saat umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga yang menulis sudah memungkinkan, panulisan hadis menjadi diperbolehkan.
Ketiga: larangan tersebut pada dasarnya bagi orang-orang yang kuat hafalannya. Hal ini untuk membiasakan diri melatih kekuatan hafalannya dengan menghilangkan ketergantungan kepada penulisan. Sedangkan izin penulisan diberikan kepada orang-orang yang lemah hafalannya, seperti Abu Syah atau yang khawatir lupa seperti ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash.
Keempat: larangan tersebut bersifat umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi untuk orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak ada kekhawatiran terjadinya kekeliruan dalam menulisnya adalah dibolehkan.

2.    Hadis pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya masa al-khulafȃ’ al-rȃsyidȗn (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, Ali) yang berlangsung sekitar  tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini dikenal juga dengan masa sahabat besar.
Pada masa ini para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan al-Qur’an dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tastabbut wa al-iqlȃl min al-riwȃyah). Meskipun perhatian mereka terpusat kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an , bukan berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka terima ketika Rasul masih hidup, namun mereka sangat berhati-hati dan mebatasi diri dalam meriwayatkan hadis,
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an  yang juga harus tetap terpelihara  dari kekeliruan sebagaimana halnya al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khusunya al-khulafȃ al-rȃsyidȗn dan sahabat lain seperti al-Zubair, Ibn ‘Abbas, Abu ‘Ubaidah berusaha memperketat periwayatannya dan menjaga hadis dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan  dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.
Sikap hati-hati ini ditunjukkan oleh khalifah pertama yaitu Abu Bakar seperti yang terlihat pada riwayat ibnu Syihab al-Zuhriy dari Qabishah bin Zuayb  bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal tersebut tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis. Tetapi al-Mughirah menyebutkan bahwa Rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya al-Mughirah mengajukan saksi terlebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima. Saksi yang diajukan al-Mughirah bernama Muhammad bin Maslamah. Haal ini dilakukan Abu Bakar agar berita yang disampaikan benar-benar meyakinkan berasal dari Nabi. Adanya kebijakan Abu Bakar ini untuk memperketat periwayatan hadis adalah dengan maksud agar hadis tidak disalahgunakan oleh kaum munafik, dan untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai hadis yang mereka riwayatkan dari Nabi.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh khalifah berikutnya yaitu ‘Umar bin Khatab, yang kadang-kadang meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Sikap tersebut juga diikuti oleh Utsman dan Ali. Seperti halnya Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan hadis.
Adanya sikap kehati-hatian para sahabat tersebut tidak berarti bahwa selamanya mereka mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau periwayatan hadis harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka sangat berhati-hati dan kritis dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
Tapi perlu dijelaskan di sini bahwa pada masa ini belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam satu kitab seperti halnya al-Qur’an. hal ini disebabkan agar tidak memalingkan perhatian atau kekhususan mereka (umat Islam) dalam mempelajari al-Qur’an. Di samping itu, para sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah sudah tersebar keberbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini ada kesulitan mengumpulkan mereka secara lengkap.

3.    Hadis pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan sahabat. Mereka, bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang mereka hadapi berbeda dengan persoalan pada masa sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa al-khulafȃ’ ar-rasyidȋn, khususnya masa kekhalifahan ‘Utsman para sahabat ahli hadis sudah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, dan kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis.
Ketika pemerintahan Islam dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut semakin meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (‘ashr intisyȃr al-riwȃyah), yaitu masa dimana hadis tidak hanya berpusat di Madinah saja tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Kemudian, dengan sudah meluasnya daerah kekuasaan Islam, banyak sahabat atau tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula yang masih tinggal di Mekah dan Madinah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahw:
1.      Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudriy, dan lain-lain. tokoh dari kalangan tabi’in: Sa’id bin Musayyib, ‘Urwah bin Zubair, Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, dan lain-lain.
2.      Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah bin Sa’id, dan lain-lain. dari kalangan tabi’in: Mujahid bin Jabir, ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan lain-lain.
3.      Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in Masruq bin al-Adja, Syuraikh bin al-Haris, dan lain-lain.
4.      Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Uthbah ibn Ghazwan, ‘Imran bin Hushain, dan lain-lain. dari kalangan tabi’in: al-Hasan al-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
5.      Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu Darda’, ‘Ubaidah bin Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Abu Idris, Qabishah bin Zuaib, dan Makhul bin Abi Muslim.
6.      Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah ibn Amr bin al-‘Ash, ‘Uqbah ibn ‘Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Yazid bin Abi Hubayb, Abu Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.

Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in ini ada dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadispun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca sahabat besar ini muncul kekeliruan periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak hanya menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (Marfȗ’), tetapi hadis yang bersumber dari sahabat (mauqȗf), dan tabi’in (maqthȗ’), bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk Islam yang mereka sadur dari pernyataan Bani Israil atau suhuf mereka sebagai bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; pernyataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.
Faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain: pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia biasa lain tidak terlepas dari kekeliruan. Kedua: terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Ketiga: terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang berbeda.
Di samping kekeliruan di atas, pada masa ini sudah mulai banyaknya bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis yang dimulai sejak masa Ali bin Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak, tidak menyangkut urusan politik tetapi juga masalah lain. menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama melakukan beberapa langkah, yaitu: pertama: melakukan seleksi dan koreksi tentang nilai hadis atau para periwayatnya. Kedua: hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga: melakukan penyaringan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah. Keempat: mensyaratkan tidak adanya syȃdz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah. Kelima: untuk mengindentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad rijȃl al-hadȋts dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.
Adapun pengaruh positif dari segala kejadian yang terjadi pada masa tabi’in ini adalah lahirnya usaha dan rencana yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwȋn hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan hadis-hadis Nabi Saw sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
 Marapalam, 14 April 2014

0 komentar: