.widgetshare {font:bold 12px/20px Tahoma !important; background: #333;border: 1px solid #444; padding: 5px 4px; color: #fff !important; margin-top: 10px;} .widgetshare a{font:bold 12px/20px Tahoma !important; text-decoration: none !important; padding: 5px 4px; color: #fff !important; border: 1px solid #222; transition: all 1s ease;} .widgetshare a:hover {box-shadow: 0 0 5px #00ff00; border: 1px solid #e9fbe9;} .fcbok { background: #3B5999; } .twitt { background: #01BBF6; } .gplus { background: #D54135; } .digg { background: #5b88af; } .lkdin { background: #005a87; } .tchno { background: #008000; } .ltsme { background: #fb8938; }

Pages

Minggu, 11 Mei 2014

KONTRADIKSI HADIS DAN SOLUSINYA


Hadis adalah sumber tasyri’ yang kedua setelah Al-Qur’an, maka untuk sampai dalam bentuk yang sempurna terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otentisitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit dalam setiap fase perkembangannya. Para generasi periwayatan (tabaqat) memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadis benar-benar otentik berasal dari Nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara.
Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara' dan metode istimbath hukum, maka wajib mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan objek pembahasan serta kaidah-kaidahnya. Seorang peneliti, misalnya, memandang dan menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan/ta'arud (semisal satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan ilmu atau metode untuk mengetahui cara-cara mengkompromikan pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut. Sebab pada hakikatnya, dalil-dalil syara' (Al-Qur’an dan hadis) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan, karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt.  yang berbunyi:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى[1]

.....وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا[2]
Dilatarbelakangi hal yang demikian, maka penulis mencoba mengetengahkan permasalahan tentang ilmu Kontradiksi Hadis ini.

I.     Pengertian Kontradiksi Hadis
a.    Menurut Bahasa
Kontradiksi Hadis adalah istilah dalam ilmu hadis atau musthalahul hadis yang dikenal dengan dua nama:
1.      Mukhtalif al-hadis, yang merupakan isim fā’il dari ikhtalafa dengan makna mukhtalif min al-hadis[3]. Ikhtalafa merupakan lawan dari kata ittafaq yang berarti adanya ketidaksesuaian[4],sebagaimana firman Allah Swt.
فَاخْتَلَفَ الْأَحْزَابُ مِن بَيْنِهِمْ [5]
Maka lafaz mukhtalif  berarti ghairu muttafiq atau mutanaqid, seperti firman Allah Swt:

إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُّخْتَلِفٍ[6]
2.      Mukhtalaful hadis merupakan masdar mimi dengan makna al-ikhtilāf, maka disini maknanya adalah al-ikhtilāf fi al-hadis.
Namun kebanyakan ulama memakai mukhtalif[7], walaupun demikian tidak menghalangi keduanya boleh digunakan.
  1. Secara Istilah
Kontradiksi Hadis menurut beberapa ahli hadis sebagai berikut:
1.      Menurut Dr. M.‘Ajjaj al-Khatib: “sebuah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis Nabi yang secara zahirnya ta’arudh (bertentangan), lalu menghilangkan ta’arudh tersebut atau menggabungkannya, sebagaimana juga membahas tentang hadis-hadis yang musykil (hadis-hadis yang bermasalah) lalu menjelaskan hakikat yang sebenarnya”.[8]
2.  Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalaniy: “hadis yang maqbul (diterima periwayatannya) jika bertentangan dengan yang semisalnya dan mungkin untuk digabungkan keduanya”.[9]
3.      Menurut Imam As-Suyūti: “adanya dua buah hadis yang bertentangan maknanya secara zahir, lalu digabungkankan keduanya atau di-tarjih salah satu dari keduanya.[10]
4.   Menurut M. Abu Zahw yaitu adanya dua buah hadis maqbul yang bertentangan  secara zahir.[11]   

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu hadis tidak dikatakan kontradiktif jika tidak memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Kedua hadis yang kontradiktif tersebut merupakan hadis yang maqbul, jika salah satunya mardud maka tidak dianggap sebagai kontradiktif. 

2.    Terdapat hadis lain yang bertentangan maknanya secara zahir. Maka tidaklah dianggap kontradiktif jika sebuah hadis bertentangan maknanya dengan Alqur’an, atau dengan hukum alam, namun ini dikenal dengan nama musykil hadis. Yang pasti pertentangan tersebut hanya secara zahir sebagaimana ungakapan beberapa tokoh hadis diatas, mereka tidak lupa menyebutkan “secara zahir” karena sangat mustahil sekali jika hadis Nabi bertentangan secara hakiki, semetara hadis merupakan penjelas atau penguat terhadap hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.

3.    Beberapa hadis yang kontradiktif tersebut mempunyai kedudukan yang sama, apakah sama-sama shahih atau sama-sama hasan yang pantas untuk dijadikan sebagai hujjah. Jika yang kontradiktif adalah hadis yang dho’if maka tidak akan berpengaruh kepada hadis yang shahih kecuali jika ada syahid[12] dan mutabi’[13]dari hadis dho’if  tersebut .

4.    Kedua hadis atau beberapa hadis yang ta’arudh tersebut mungkin untuk di -jam’u, di-tarjih, atau di-nasakh.

  1. Nama-nama lain yang digunakan dalam istilah Kontradiksi Hadis
Sebagian ulama menggunakan beberapa istilah dalam penggunaan Kontradiksi Hadis, diantaranya: Ikhtilāf al-Hadīts, Ta’wil al-Hadīts, Talfīq al-Hadīts, dan ada juga Musykil al-Hadīts. Akan tetapi musykil al-hadits penggunaannya lebih umum dari pada yang lain. Sebuah hadis dikatakan musykil apabila makna hadis tersebut bertentangan dengan maksud Al-Qur’an secara zahir atau adanya ketidaksesuain maknanya dengan hukum-hukum alam seperti ilmu kedokteran, ilmu falak dan lain-lain. Misalnya hadis żubāb (hadis tentang lalat) yang salah satu sayapnya mengandung unsur obat dan yang satunya lagi mengandung penyakit, atau hadis ‘ajwah (korma Madinah) yang apabila memakannya akan terhindar dari sihir, dan hadis tentang berobat dengan buang air kecil unta dan susunya dan beberapa hadis lainnya. Jadi jelaslah bahwa musykil hadis lebih umum, tidak hanya pertentangan hadis dengan hadis tapi juga dengan Al-Qur’an dan hukum alam. Sehingga, seluruh hadis yang mukhtalif adalah musykil dan seluruh musykil yang belum tentu mukhtalif, keduanya merupakan umum dan khusus secara mutlak. Namun ada juga beberapa dari ulama yang mengatakannya sama, hal ini karena dalam buku-buku musthalah al-hadis tidak dipisahkan pembahasan tentang keduanya dan meletakannya dalam bab yang sama.[14]
  1. Urgensi Ilmu Kontradiksi Hadis
Ilmu Mukhtalaf Hadis atau Kontradiksi Hadis merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang terpenting. Hal ini didasarkan kepada tingginya kebutuhan para muhaddis, mufassir, fuqaha’ dan beberapa ulama lainnya terhadap ilmu ini. Sebagaimana Imam An-Nawawi mengatakan ” ilmu ini (mukhtalaf hadis)” merupakan ilmu yang paling penting sekali, yang harus diketahui oleh seluruh ulama dari segala penjuru”[15]. Mengetahui ilmu ini merupakan salah satu langkah untuk menjaga kesahihan sunnah Rasul dengan membantah syubhat-syubhat yang dilemparkan oleh para orientalis, karena begitu banyak celaan yang diungkapkan orientalis terhadap agama yang hanif ini melalui sunnah Rasul. Disamping itu, seseorang ahli hadis tidak hanya cukup menghafal hadis saja dan mengumpulkan thuruq hadis saja tanpa memahaminya dengan benar dan tidak mengetahui hukumnya. Maka menjadi kewajiban bagi seorang muhaddis untuk mengetahui yang umum dan yang khusus dari sebuah hadis, yang muthlaq dan muqayyad-nya.

  1. Sejarah Perkembangan Kontradiksi Hadis
A. Pada Masa Rasul[16]

Penggunaan ilmu Kontradiksi Hadis ini sudah ada semenjak masa Rasulullah Saw. namun pemakaiannya pada masa itu hanya secara praktek saja, belum adanya penggunaan istilah tertentu tentang ilmu ini. Seperti beberapa sabda Nabi kepada sahabat yang menimbulkan adanya kontradiktif dalam pendengaran sahabat.
Misal: Hadis yang pertama:
قوله صلى الله عليه وسلم : لا يصلين أحدكم العصر الا في بني قريظة ...[17]
Hadis yang kedua:
أبا عمر الشيباني يقول حدثنا صاحب هذه الدار- و أشار الى دار عبد الله –: سألت النبى صلى الله عليه وسلم: أى العمل أحب الى الله؟ قال : الصلاة لوقتها[18] ...

Bentuk ta’arudh: Pada kedua hadis ini jelas terdapat perbedaan. Pada hadis pertama Rasul melarang sahabat melakukan shalat Asar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah, kemudian pada hadis yang kedua Rasul mengatakan bahwa amalan yang paling utama adalah shalat pada waktunya.
Bentuk penyelesaian: Maka pada saat itu, diantara sahabat ada yang me-rajih-kan hadis yang pertama dengan menunda shalat Asar hingga mereka sampai di Bani Quraizhah. Dan ada juga sahabat yang me-rajih-kan hadis yang kedua dengan melaksanakan shalat Asar diperjalanan. Ketika ditanyakan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau tidak menyalahkan pihak mana pun.
B.   Pada Masa Sahabat[19]
Pada masa sahabat juga sama dengan masa Rasulullah, belum adanya penggunaan istilah baru dalam ilmu ini, contoh:
Hadis pertama:
رويت عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذا جلس بين شعبها الأربع و مس الختان الختان , فقد وجب لغسل[20]
Hadis yang kedua:
عن أبي سعيد الخدري عن النبي الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: انما المأ من المأ[21]

Bentuk ta’arudh: Pada hadis Aisyah Ra. terdapat perintah wajibnya mandi apabila bertemunya dua khitan, sedangkan pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri dinyatakan tidak wajib mandi jika tidak keluar mani.
Bentuk penyelesaian: para sahabat men-tarjih hadis yang pertama karena Aisyah lebih tahu mengingat kebersamaannya dengan Rasulullah.
C. Pada masa Tabi’in[22]
Pada masa tabi’in, juga belum ada nama yang jelas tentang ilmu ini.
Contoh: Imam Au zā’i ketika berada di Mekah dia bertemu dengan Abu Hanifah, lalu Imam Auzā’i berkata kepada Abu Hanifah ”ya Aba hanifah kenapa engkau tidak mengangkat kedua tanganmu ketika hendak ruku’dan bangkit darinya? Abu Hanifah berkata: ”perbuatan itu tidak sah dari Rasulullah saw, lalu Auzā’i berkata: ”kenapa tidak sah?lalu dia membacakan hadis Nabi:
عن الزهري أخبرني سالم بن عبد الله عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسل   اذا قام فى الصلاة رفع يديه حتى يكونا حذومنكبيه و كان يفعل ذلك حين يكبر للركوع و يفعل ذلك اذا رفع رأسه من الركوع[23] ...
Abu Hanifah berkata:
حدثنا حماد عن ابرهيم عن علقمة والأسواد عن بن مسعود كان لا يرفع يديه الا عند افتتاح الصلاة ثم لا يعود لشئ من ذالك[24]

Lalu Auzā’i berkata:”aku menceritakan kepadamu dari Zuhri dari Salim dari bapaknya dan engkau mencerikan kepadaku dari Hamad dari Ibrahim? lalu Abu Hanifah berkata” Hamad lebih faqih dari Zuhri,dan Ibrahim lebih faqih dari Salim, maka Abu Hanifah lebih me-rajih-kan fiqh ar-rawi sedangkan Au’zā’i me-rajih-kan ketinggian sanad.

Dari beberapa contoh diatas jelaslah bahwa manhaj taufiq atau tarjih diantara hadis yang kontradiktif sudah ada semenjak Rasulullah, kemudian berlanjut sampai masa sahabat dan tabi’in. Namun pada masa itu ilmu ini belum dibukukan dan ditulis sampai datangnya masa Imam Syaf’i dan berlanjut sampai saat sekarang ini. Imam Syafi’i adalah ulama yang pertama kali menuliskan tentang ilmu ini, karena pada masa itu banyak terjadi kesalahpahaman ulama terhadap hadis-hadis yang kontradiktif, apabila datang terhadap mereka sebuah hadis yang berbeda dari yang lainnya baik itu dari segi umum dan khususnya, atau muthlak dan muqayyad-nya, mereka langsung menasakh-nya tanpa membahasnya terlebih dahulu.
Diantara buku-buku tentang ilmu ini adalah:
  1.  اختلاف الحديثoleh Imam Syafi’i, merupakan buku yang pertama kali tentang ilmu Kontradiksi Hadis yang mencakup penjelasan serta bentuk penggabungan diantara beberapa hadis yang kontradiktif secara zahir. Namun buku ini tidak mencakup seluruh hadis yang kontradiktif  tapi hanya beberapa hadis saja yang terletak dalam kitabnya “al-Um” dan tidak mengkhususkannya dalam satu buku. Dia memulai bukunya ini dengan mukaddimah yang panjang serta penjelasan ke-hujjah-an sunnah dan kedudukannya dari Al-Qur’an, dan dia juga menyebutkan tentang ke-hujjah-an Khabar Ahad serta wajibnya beramal dengan Khabar Ahad jika tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, serta pemaparan tentang pembagian sunnah kepada “am dan khas, mutawatir dan ahad, dan juga tentang nasakh dan mansukh didalam Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian dia menutup mukaddimahnya ini dengan penjelasan yang singkat tentang metode beliau dalam penggabungan hadis yang kontradiktif. Setelah itu Imam Syafi’i mulai menjelaskan tentang hadis-hadis yang ta’arudh dalam masalah fiqh serta penggabungannya, namun Imam Syafi’i tidak menyusun letak bab-bab fiqh ini secara berurutan berdasarkan tartib fiqhiyyah. Dan buku ini mempunyai keistimewaan karena dia hanya mencakup tentang ilmu mukhtalaf al-hadis saja tanpa adanya ilmu musykil hadis.
  2.  تأويل مختلف الحديث oleh Imam Ibnu Qutaibah Ad Dainūri. Buku ini merupakan buku kedua tentang ilmu Kontradiksi Hadis setelah Imam Syafi’i yang berisi tentang bantahan orang-orang yang mengada-adakan tentang hadis tanaqudh sebagaimana dijelaskannya tujuan penulisannya: “dan kami tidaklah menjelaskan dalam buku ini bantahan terhadap orang-orang zindik atau orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, akan tetapi tujuan kami adalah membantah orang-orang yang mengada-adakan tentang adanya tanaqudh dan ikhtilaf antara hadis-hadis Nabi yang disandarkan kepada orang Islam[25]”. Akan tetapi buku ini mempunyai sisi positif dan negatif sebagaimana dikatakan oleh Abu Syahbah. Dan sisi positif dari buku ini karena dia merupakan yang pertama kali membantah terhadap orang-orang yang mengada-adakan tanaqudh dalam hadis Nabi, dan sisi negatifnya karena dia tidak khusus tentang mukhtalif hadis saja tetapi juga tentang musykil hadis serta penjelasannya juga tidak begitu mendalam[26].
  3.  مشكل الأثار[27]oleh Abu Ja’far Ahmad Bin Muhammad At-Thahawi yang merupakan buku yang paling bagus dan bermanfaat karena buku ini tidak hanya berisi tentang mukhtalaf hadis saja tetapi juga tentang musykil hadis. Hadis-hadis yang terdapat didalam ini tidak hanya berkaitan dengan masalah fiqh saja sebagaimana halnya Imam Syafi’i tetapi juga tentang akidah, adab, mu’amalat, farāidh, jinayah, tafsir, asbab an-nuzul dan lain-lain.
  4.  مشكل الحديث و بيانه oleh Abu Bakar Muhammad Bin Hasan (Ibnu Fauraq), dan setelah mereka telah  banyak dari para muhaddisin yang menyusun buku-buku tentang ilmu mukhtalaf hadis sebagaimana banyak didapati pada syarah-syarah buku hadis seperi syarah Shahih Bukhari yang dikenal dengan “Fath al-Bari”oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, syarah Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi dan beberapa kitab lainnya yang telah berkembang.
II. Sebab-Sebab Terjadinya Kontradiksi Hadis[28]
Munculnya Kontradiksi Hadis ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
a.       Sudut pandang yang berbeda dalam nasikh dan mansukh hadis.
 Contohnya: hadis pertama:
  روت عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : اذا جلس بين شعبها الأربع و مس الختان الختان , فقد وجب لغسل[29]
Hadis kedua:
عن أبي سعيد الخدري عن النبي الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: انما المأ من المأ[30]  
Penjelasan: pada hadis Aisyah adanya perintah tentang wajib mandi apabila telah bertemu dua khitan walaupun tidak keluar mani, lalu pada hadis Abu Sa’id Al-Khudry tidak mestinya mandi jika tidak keluarnya mani. Yang pada hakikatnya hadis Aisyah merupakan nasakh terhadap hadis Abu Sa’id Al-Khudri, namun diantara para sahabat pada waktu itu ada yang tidak mengetahuinya dan tetap beramal dengan hadis yang mansukh, dan sebagian mereka ada juga yang mengetahuinya lalu beramal dengan hadis yang nasakh dan meninggalkan yang mansukh. Maka dari sini timbullah kontradiktif dalam hadis dan ini berlanjut sampai pada masa Imam Syafi’i. 
b.      Sudut pandang yang berbeda pada dua hadis yang shahih yang disebabkan terlupa dan tersalahnya shahabat.
Semua sahabat adalah ‘adil, ke-tsiqqah-an serta ke-dhabitan-nya tidak diragukan lagi, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari sunah bahkan ijma’ ulama banyak menceritakan tentang keutamaan dan keistimewaan para sahabat, namun bukan berarti mereka itu ma’shum yang terbebas dari kesalahan dan kekhilafan serta pemahaman. Ke-tafaqquh-an dan pengetahuan mereka terhadap sunah tidaklah sama, diantara mereka ada yang lebih faqih dan yang lebih mengetahui, bahkan lebih hafal dari pada yang lain. Maka karena itu ada diantara hadis-hadis yang mereka riwayatkan terjadinya kesalahan dan keraguan, lalu terciptalah hadis-hadis yang kontradiktif yang sanad-nya shahih dalam suatu permasalahan.
Contoh: hadis tentang ”seorang mayat akan di azab karna tangisan keluaganya terhadapnya”
عن عبد الله بن عمر قال :سمعت رسول الله يقول :ان الميت يعذب ببكاء اهله عليه[31]
و في رواية أخرى  عن عبدالله بن عمرعن عمر عن النبي صل الله عليه وسلم قال :الميت يعذب في قبره بما نيح عليه[32]

Lalu  Aisyah  mengingkari hadis tersebut  dan menganggapnya sebagai keraguan atau ke-wahm-an Abdullah Bin Umar dan Umar. Aisyah ber-hujjah dengan firman Allah Swt:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى[33]
Lalu dia juga mengatakan “semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman yang mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya, sesungguhnya Nabi mengatakan hal ini kepada orang Yahudi”.

Maka diantara ulama juga berbeda pendapat dalam men-ta’wil-kan hadis ini sebagaimana jumhur ment-a’wil-kannya  jika orang tersebut berwasiat kepada keluarganya untuk meratapi dan menangisinya, lalu mereka melaksanakan wasiat tersebut, adapun orang yang meratapinya bukan karna wasiat maka itu tidak akan di azab berdasarkan firman Allah surat Al-An’am ayat 164 diatas.

c.       Sudut pandang yang berbeda terhadap susunan bahasa dan kondisi hadis
Bahasa arab merupakan bahasa yang syamil dan kamil yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., sekaligus sebagai bahasa Al-Qur’an. Susunan redaksi dan tata bahasa serta kaedah majaznya yang begitu tinggi dan indah membuat orang-orang kafir tidak mampu menandingi dan menentangnya. Keterbatasan pemahaman dalam mendalaminya merupakan latar belakang sebab timbulnya kontradiksi dalam sebuah hadis nabawi, karna hadis nabawi disampaikan dengan bahasa arab. Begitu juga kondisi sebuah hadis. Rasulullah Saw. yang merupakan khoirul basyar fi al-ālam yang dalam kesehariannya berbicara dan melakukan sesuatu berdasarkan situasi dan kondisi  keadan, maka  bisa jadi Nabi mengatakan melarang sesuatu pada satu waktu dan membolehkannya pada lain waktu atau lain tempat, hal ini dikarenakan situasi dan kondisi keadaan pada waktu itu. Maka  dengan demikian akan timbullah hadis-hadis yang seolah-olah bertentangan, padahal pada kenyataannya bukanlah demikian. Orang-orang yang tidak mengetahui keadaan dan sebab hadis tersebut disabdakan akan menganggapnya saling bertentantangan. Seperti yang terjadi pada Abu Ayyub Al Anshari dan Abdullah bin Umar tentang ”menghadap kiblat ketika buang hajat dan pipis”.

Hadis pertama:
عن ابي ايوب الأنصارى قال :قال رسول اللله صلى الله عليه و سلم اذا اتى احدكم الغائط  فلا يستقبل القبلة ولا يبولها ظهره , شرقو أو غربوا [34].
Hadis kedua:
 أنه كان يقول :أنه اذا قعدت على حاجتك فلا تستقبل القبلة و لا بيت المقد س ,فقال عبد الله بن عمر لقد ارتقيت يوما على ظهر بيت لنا , فرايت رسول الله على لبنتين مستقبلا بيت المقدس لحاجته[35] 

Dari hadis diatas dapat diketahui adanya ikhtilaf antara hadis Abu Ayyub dengan Ibnu Umar. Imam  Syafi’i menjelaskan perbedaan ini bahwa larangan yang terdapat pada hadis Abu Ayyub itu ketika berada di zahra’(tanah lapang atau gurun pasir) dan  pada hadis Ibnu Umar dia melihat Nabi buang hajat menghadap Baitul Maqdis itu ketika berada dalam bagunan, adapun kalau di zahro’ itu tidak dibolehkan. Maka Abu Ayyub mendengar ini dari Rasulullah dan tidak mengetahui apa yang dilihat Ibnu Umar terhadap Rasul. Maka dari sini timbullah  ikhtilaf dalam hadis dikalangan sahabat.
d.      Perbedaan dua hadis yang bersatu maknanya dalam hal mubah
 Rasulullah saw dalam menjelaskan sesuatu berdasarkan kemampuan para pendengar untuk mengetahui dan memahaminya, maka bisa jadi beliau menjelaskan sesuatu dalam bentuk yang panjang dan sempurna, dan pada lain waktu dan tempat bisa jadi juga dia menjelaskannya secara singkat saja. Setiap hari para sahabat selalu bertanya kepada Nabi tentang masalah urusan agama dan dunia, lalu Rasul menjawab sesuai dengan kemampuan penanya untuk memahaminya. Maka diantara mereka ada yang menyampaikan kembali pada orang lain dengan sempurna dan ada juga yang hanya sebagian saja. Kedua cara tersebut maknanya sama dan hukumnya juga sama, maka dari sini timbullah adanya ikhtilaf didalam hadis. Contohnya hadis Umar Bin Khatab, Ibnu Abbas dan Abu Musa Al-As’ary tentang lafaz tasyahud di dalam shalat[36].
Dalam beberapa riwayat tersebut ada yang lafaz tasyhudnya panjang dan ada juga yang pendek,  maka di sana timbullah adnya perbedaan  didalam hadis  yang di alami para sahabat, yang pada hakikatnya bukanlah ikhtilaf tetapi di sana adanya takhyir dalam memakai lafaz tersebut, karna semua maknanya adalah sama dan hukumnya juga sama.
e.       Tidak mengetahui adanya dua hadis dalam satu permasalahan 
Ini juga merupakan salah satu faktor munculnya ikhtilaf di dalam hadis. Dimana pada hakikat sebenarnya terdapat dua hadis atau lebih tentang satu permasalahan. Tetapi seorang ulama hanya berpedoman pada satu hadis saja, sedangkan riwayat lain belum sampai ke dia, tetapi dia tidak mengetahuinya, dan tidak berusaha untuk lebih menelitinya lagi. Inilah kebanyakan terjadi pada ulama salaf.

f.       Perbedaan dua hadis dari segi umum dan khusus
Rasulullah Saw. dalam mensabdakan sesuatu ada yang secara umum sedangkan di lain waktu beliau mensabdakan hal yang lebih khusus dan lebih terperinci dalam masalah yang sama, maka pada saat itu para pendengar akan mengira kalau hadis tersebuut ikhtilaf. Sebagaimana Imam Syafi’i mengatakan dalam bukunya Arrisalah Assyafi’iRasulullah Saw. lisannya Arab dan berasal dari Arab, maka jika dia mengatakan perkataan yang umum maka yang dia inginkan juga umum, dan juga mengatakan yang umum tetapi yang di inginkan adalah khusus… dan jika dia mengatakan sesuatu secara umum tentang masalah halal atau haram, di lain waktu dia juga mengatakannya secara khusus, maka apa yang dia katakan itu tidaklah menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal”[37]
 Contohnya:

عن ابى هريرة قال نهى رسول الله عن صلاتين :بعد القجر حتى تطلع الشمس و بعد العصر حتى تغرب الشمس[38]

عن انس بن مالك رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من نسي صلاة فليصلها اذا ذكرها لا كفارة لها الا ذلك[39]

Pada hadis diatas jelas adanya ikhtilaf, dimana riwayat Abu Hurairah menyatakan tidak boleh shalat setelah fajar sampai terbitnya matahari dan setelah asar sampai terbenamnya matahari, lalu riwayat Anas bin Malik mengatakan bahwa boleh mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang karahah (yang disebutkan pada hadis Abu Hurairah). Maka Imam Syafi’i menjelaskan bahwa larangan yang terdapat pada hadis Abu Hurairah yaitu seluruh shalat yang tidak mempunyai sebab. Adapun pembolehan yang dikatakan Nabi pada hadis Anas yang membolehkan shalat pada setiap waktu itu mencakup seluruh shalat yang ada sebabnya, misalnya shalat tahiyat masjid, shalat kusuf, shalat jenazah, atau shalat wajib yang terlupa dan lain-lain.
g.      Perbedaan dilalah amr pada hadis dari segi wajib dan mubah
Jumhur ulama mengatakan bahwa “al-Aslu fi al-Amri Lilwujub” selama tidak adanya dalil yang menunjukkannya terhadap yang mubah. Terkadang dalil penunjuk tersebut, didapati dari hadis lain yang terpisah dari hadis pertama. Sehingga ketika seseorang mendengar kedua hadis tersebut akan merasa terdapat kontradiktif dalam permasalahan ini.
Misalnya: hadis pertama:
أن ألنبي صلى الله عليه وسلم قال : من جاء منكم الجمعة فليغتسل[40]

Pada hadis di atas adanya perintah untuk mandi pada hari Jum’at, lalu diantara sahabat ada yang berbeda dalam memahaminya, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan mubah.

Sedangkan pada hadis kedua:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من توضأ يوم الجمعة فبها ونعمت, ومن اغتسل فالغسل أفضل.[41]

Maka dari sini jelaslah bahwasannya mandi pada hari jum’at hanya sekedar mandub, bukan wajib, sehingga meninggalkannya tidaklah berdosa dan mengerjakannya akan berpahala.
h.      Berbedanya hadis dengan perkataan shahabat
Allah Swt. sangat memuliakan sahabat, dan begitu juga Rasulullah Saw. juga menjelaskan tentang manzilah dan keutamaan mereka yang begitu tinggi dan mulia. Walaupun demikian bukanlah seluruh perkataan mereka bisa dijadikan hujjah.  Itulah yang terjadi pada sebagian fuqaha’ mengangap bahwa perkataan sahabat  adalah hujjah lāzimah, dan sebagian mereka juga meyakini bahwa seluruh perkataan mereka adalah hadis mauquf, lalu mereka berpegang pada sebagian masalah fiqhiyah dengan menyandarkannya hanya kepada perkataan sahabat saja yang pada hakikat sebenarnya ada hadis shahih yang bertentangan dengan masalah ini, maka ini juga merupakan salah satu faktor munculnya kontradiktif  dalam hadis Nabawi.           
i.        Berbedanya hadis dengan perbuatan ahli Madinah
Imam Malik mengangap bahwa ijma-nya ahli madinah dan amalnya ahli Madinah yang diwariskannya dari sahabat adalah hujjah dan wajib menolak hadis Ahad yang menyalahinnya, maka para pengikut Imam Malik lebih mendahulukan dan mengutamakan perbuatan ahli madinah baik itu hanya penukilan saja maupun ijtihad mereka dari pada hadis ahad.

j.        Adanya faqih yang mengambil hadis dhaif dan menyalahi hadis yang shahih
Hadis dhaif merupakan hadis yang mardud, dan tidak dibenarkan untuk beramal dengan hadis dhaif dalam masalah hukum dan akidah, adapun pada masalah targhib wat tarhib itu dibolehkan dengan adanya beberapa syarat pada hadis dhaif. Namun kadang-kadang ada hadis yang sampai kepada fuqaha’ hadis yang dhaif, lalu dia mengeluarkan fatwa dengan hadis dhaif tersebut, dan dia tidak mengetahui ke-dhaifan-nya dan tidak mengetahui hadis yang shahihnya, seperti hadis tentang mengangkat kedua tangan dalam shalat yang mana hadis dalam permasalahan ini sebenarnya ada hadis yang shahihnya.
k.      Adanya faqih yang melemahkan hadis shahih jika bertentangan satu sama lain
Ada diantara fuqaha’ yang mendapatkan dua buah atau lebih hadis shahih yang mungkin untuk di jam’u tetapi dia melemahkan salah satu dari hadis tersebut dengan alasan karena hadis tersebut bertentangan satu sama lain. Ini juga menyebabkan timbulnya kontradiktif dalam sebuah hadis.

Semua faktor-faktor diatas adalah sebab munculnya kontradiksi hadis secara umum.

III. Manhaj ulama dalam menyelesaikan kontradiksi hadis
Dalam menyelesaikan Kontradiksi Hadis ini, para ulama berbeda pendapat dalam mendahulukan nasikh-mansukh atau men-tarjih antara dua hadis atau mengumpulkan dan menggabungkan dua hadis yang berbeda[42]
a.    Menurut jumhur fuqaha’ (Malikiah, Syafi’iah, Hanbaliah, dan Zhahiriah) apabila terjadinya kontradiktif dalam dua hadis maka cara penyelesaian melalui tahap-tahap berikut ini:
1.menggabungkan dua makna hadis yang berbeda (jam’u),
2.   jika tidak bisa digabungkan maka dua hadis tersebut dipilih (tarjih) mana yang lebih kuat,
3.   apabila tidak bisa juga digabung dan dipilih maka dilihat sejarah hadis tersebut dengan kemungkinan terjadinya nasikh,
4.   jika tidak bisa juga semuanya maka dua hadis yang kontradiktif tersebut di-tawaquf-kan.

b. Menurut Hanafiah, bila terjadi kontradiktif dalam dua hadis maka cara yang ditempuh adalah:
                                                  i.      dilihat terlebih dahulu sejarah hadis dengan kemungkinan adanya nasikh,
                                                ii.      apabila tidak diketehui sejarah hadisnya maka memilih yang lebih kuat (tarjih),
                                              iii.      jika tidak bisa di-tarjih maka digabungkan dua hadis yang berbeda tersebut,
                                              iv.      apabila tahap-tahap sebelumnya tidak bisa maka hadis tersebut diberhentikan dulu (tawaquf) dan istidlal dengan hadis yang lain.       

c.            Menurut ulama hadis[43]
                                i.      Menggabungkan dua hadis yang kontradiktif (jam’u).
1.      Defenisi Jam’u
Bahasa:
a.  Menghimpun dua hal yang memiliki kedekatan antara satu dengan lainnya[44]
b.    Menyusun sesuatu yang berbeda-beda[45]
Istilah:
penyelesaian Kontradiksi Hadis dengan menggabungkan makna hadis sehingga kedua hadis tersebut dapat diamalkan atau tidak dihilangkan salah satunya.[46]

2.      Syarat-syarat hadis yang boleh dijam’u[47]
1.      kedua hadis tersebut dijadikan hujjah serta matan dan  sanad-nya shahih
2.      kedua hadis tersebut pada kualitas yang sama, yakni keduanya shahih atau hasan, namun sebagian ulama tidak memasukkan syarat ini
3.      kedua hadis tersebut bukan nasikh dan mansukh (bagi yang mendahulukan nasikh)
4.      kedua hadis tersebut menerima ta’wil baik secara zahir dan nash sesuai dengan bahasa, kebiasaan ’uruf, dan istilah syar’i
5.      yang menggabungkan hadis tersebut adalah ahli dalam hadis, bahasa, ushul, fiqh dan syarat-syarat sebagai mujtahid lainnya.
6.      dalam menggabungkan hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil syar’i lainnya.
c. Sebab-sebab didahulukannya penggabungan hadis[48]
1. karena hadis yang disampaikan Rasulullah Saw. asalnya adalah untuk diamalkan dan terjadinya kontradiktif itu hanya pada lahiriahnya saja
2. karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam tarjih dan nasikh lebih besar dari jam’u
3. karena dengan jam’u berarti menghilangkan makna kontradiktif dalam hadis dan menyatukan dua hadis tersebut dan ini lebih utama

d. Contoh Jam’u
Contoh pertama:
Hadis pertama:
عن زيد بن خالد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :ألا أخبركم  بخير الشهداء الذي يأتي بشهادته قبل أن يسألها [49]
Hadis kedua:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم ثم   خير أمتي  القرن الذين بعثت فيهم ثم الذين يلونهم والله أعلم أذكر الثالث أم لا قال ثم يخلف قوم يحبون السمانة يشهدون قبل أن يستشهدوا[50]

Secara lahiriah kedua hadis tersebut kontradiktif, karena pada hadis yang pertama Rasulullah sebutkan bahwa saksi terbaik adalah yang diberikan tanpa diminta, sedangkan hadis kedua menyatakan bahwa terdapat kaum diakhir zaman yang menyukai hidup yang berlebih-lebihan tapi mereka memberikan kesaksian tanpa diminta.

Sehingga ulama menggabungkannya bahwa yang dimaksud hadis pertama adalah kesaksian yang berkaitan dengan hak-hak Allah sedangkan pada hadis  kedua adalah hak-hak manusia. Pada hadis pertama apabila seorang saksi memberikan kesaksian yang benar dan pelaku tidak mengetahui kesaksian tersebut sebelumnya atau ia (pelaku) meninggal sebelum sampai kesaksian tersebut, sedangkan hadis kedua apabila seorang telah memiliki saksi pertama maka ia tidak boleh mengajukan saksi yang kedua. Maka hadis ini diamalkan kedua-duanya[51]

Contoh kedua[52]
Hadis pertama:
أن أبا هريرة قال إن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قال: لا عدوى ولا طيرة[53]
Hadis kedua:
أبا هريرة يقول قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم ثم لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا بنو وفر من   المجذوم  كما تفر من الأسد[54]

Kedua hadis shahih ini secara zahir bertentangan karena hadis pertama meniadakan penyakit menular sementara hadis kedua ada penyakit menular. Para ulama menggabungkan kedua hadis ini dengan menyatakan, bahwa tidak ada penyakit menular akan tetapi Allah lah yang memberikan penyakit pada manusia tetapi  manusia dituntut berhati-hati dengan menjauhi orang yang berpenyakit kusta sehingga aqidah kita tidak rusak dengan menganggap awal penyakit itu berasal dari orang yang berpenyakit menular tersebut bukan dari Allah Swt. 
                        ii.      Apabila tidak mungkin digabungkan maka diteliti sejarah hadisnya apakah ada kemungkinan terjadinya mansukh. Apabila  ada, maka beramal dengan nasikh dan meninggalkan mansukh.
1.      Defenisi
Bahasa:
1. Menghilangkan sesuatu[55] sebagaimana firman Allah Swt:
.....فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ.... [56]
2. Memindahkan sesuatu[57] sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَنسِخُ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ[58]
Istilah:
mengangkat hukum syar’i dengan dalil syar’i yang terakhir datang.[59]

2.      Syarat-syarat Nasikh[60]
a.    nasikh dengan khitab syar’i yakni Al-Quran dan hadis pada masa risalah Rasulullah Saw.
2. nasikh dan mansukh memiliki kedudukan dan kualitas yang sama dari segi kuatnya dilalah
3. adanya dalil yang menunjukkan tentang nasikh mana yang dahulu dan terakhir
4. mansukh itu adalah hukum amaliah yang juz’i bukan tentang aqidah seperti mandi wajib bagi yang jima’
5. mansukh bukan sebagai hukum penguat
6. antara nasikh dan mansukh secara lahir saling bertentangan 

c.  Contoh Nasikh:
Hadis pertama:
عن الحسن عن النبي  صلى الله عليه وسلم قال   أفطر الحاجم  والمحجوم[61]
Hadis kedua:
 عن بن عباس قال ثم   احتجم  النبي  صلى الله عليه وسلم  وهو صائم [62]

Hadis pertama tidak boleh berpuasa bagi yang berbekam sedangkan hadis kedua dibolehkan dan setelah diteliti hadis pertama diriwayatkan ketika penaklukkan Mekkah tahun ke-8 H, sedangkan hadis kedua ketika haji wada’ tahun ke10 H, maka hadis pertama hukumnya mansukh dan beramal dengan hadis yang nasikh.[63]

III.  Apabila tidak mungkin digabungkan dan tidak ditemukan pula dilalah nasikh-nya,  maka dipilih yang lebih kuat (tarjih).
1. Defenisi
Bahasa[64]:
Condong kepada sesuatu, lebih berat, lebih kuat, lebih utama dari sesuatu.
Istilah[65]:
Mujtahid menjelaskan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil  kontradiktif, sehingga beramal dengan dalil yang kuat tersebut.

2. Syarat-syarat dalam men-tarjih hadis[66]
1. dua hadis tersebut memiliki kekuatan yang sama dalam hujjah bukannya hadis yang pertama shahih dan yang lain munkar.
2. kedua hadis tersebut tidak bisa digabungkan
3. Salah satu dari hadis tersebut bukan dalil yang mansukh
4. kedua hadis tersebut tidak mutawatir, karena hadis mutawatir adalah qath’i      
iv. Apabila cara ketiga diatas tidak bisa juga dalam menyelesaikan Kontradiksi Hadis ini, maka kedua hadis tersebut di-tawaquf-kan (diberhentikan) dahulu, namun biasanya ulama sampai ketahap ketiga telah bisa menyelesaikan permasalahan Kontradiksi Hadis ini.[67]
  
d.          Bentuk –Bentuk Tarjih
Ulama berbeda pendapat dalam mengklafikasikan konsep tarjih[68] dalam Kontradiksi Hadis ini, ada yang membagi menjadi 50 sampai 100 bagian sedangkan Imam Suyuthi[69] mengelompokkan tarjih dalam 7 kelompok besar kemudian tiap kelompok dibagi pula atas bagian-bagian kecil, sedangkan wahbah az-zuhaili[70] menjadikan tarjih ini dalam dua bagian besar yaitu:
a.Tarjih Isnad
1.      Dengan banyaknya periwayatan
Menurut Imam Asnawi[71] apabila ada dua hadis bertentangan sedangkan pada riwayat pertama banyak perawinya maka hadis inilah yang dipegang karena kemungkinan salah atau berdusta lebih ringan dari pada periwayatan yang sedikit.

Contoh: Hadis pertama:
 عن عمر بن الخطاب رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا افتتح الصلاة رفع يديه حتى يحاذي منكبيه وإذا أراد أن يركع وبعد ما يرفع رأسه من الركوع ولا يرفع بين السجدتين[72]

Hadis kedua:
عن البراء بن عازب قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا افتتح الصلاة يرفع يديه.[73]
Pada hadis pertama Rasulullah saw mengangkat tangan ketika iftitah, ruku dan i’tidal, sedangkan hadis kedua hanya ketika iftitah saja. Setelah diteliti ternyata hadis pertama diriwayatkan oleh 10 sahabat, sedangkan hadis kedua hanya satu periwayatan saja, maka hadis yang diterima adalah hadis pertama[74].
2.      Dengan sedikitnya perantara hadis antara Rasulullah Saw dan rawi.

Apabila perantara antara Rasulullah Saw dan rawi sedikit maka kemungkinan tersalah dan lupa akan lebih kecil.
Contoh: Hadis pertama:
عن أبي محذورة أن النبي صلى الله عليه وسلم علمه الأذان والإقامة وذكر فيه الإقامة مثنى مثنى[75]
Hadis kedua:
عن أنس قال: أمر بلال أن يشفع الأذان ويوتر الإقامة[76]

Pada hadis pertama lafaz iqamah seperti azan yaitu dua kali sedangkan hadis kedua hanya satu kali saja. Maka diteliti hadis pertama perantara rawinya tiga orang sedangkan hadis kedua diriwayatkan dua orang maka hadis yang diterima adalah hadis kedua[77]
3.      Dengan periwayatan yang mana sahabat langsung ikut dalam kejadian atau pelaku kisah tersebut, karena pelaku lebih mengetahui kejadian secara langsung.   

Contoh: Hadis pertama:
أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم[78]
Hadis kedua:
قالت عائشة: فأشهد على رسول الله صلى الله عليه وسلم أن كان يصبح جنبا من جماع عير احتلام ثم يصوم ذلك اليوم[79]

Pada hadis pertama apabila dalam keadaan junub pada waktu pagi hari maka tidak boleh berpuasa sedangkan hadis kedua dibolehkan berpuasa, maka ulama menyimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan dari Aisyah lebih kuat karena beliau lebih mengetahui tentang masalah tersebut dan dalam masalah rumah tangga tentu Aisyah lebih tahu dari pada Abi Hurairah. Maka hadis kedua yang diterima[80]
 
b.   Tarjih matan
                                         i.      Dengan periwayatan yang ada i’lat hukumnya.
Karena adanya sebab hukum dalam hadis yang menguatkan dan menjelaskan hadis yang lebih umum.
Contoh: Hadis pertama:
عن ابن عباس من بدل دينه فاقتلوه. [81]
Hadis kedua:
وجدت امرأة مقتولة في بعض مغازي رسول الله صلى الله عليه وسلم فنهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل النساء والصبيان.[82]

Hadis pertama Rasulullah Saw. melarang membunuh perempuan dan anak-anak. Sedangkan hadis kedua, siapa saja yang menukar agamanya baik perempuan atau anak-anak maka dibunuh. Maka hadis yang kedua diterima karena adanya ilat yaitu murtad.[83]   

                                    ii.      Adanya ta’kid (penguat) dalam hadis karena dengan adanya lafaz penguat maka kemungkinan mengandung makna majas dan kiasan lebih kecil.
Contoh hadis pertama:
عن عائشة أيما امرأة نكحت بغير أذن وليه فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل. [84]
Hadis kedua:
عن ابن عباس الأيّم بنفسها من وليّها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها.[85]
Hadis pertama kemestian nikah dengan izin wali sedangkan hadis kedua cukup persetujuan dari perempuan saja. Maka hadis yang diterima adalah hadis yang pertama karena adanya penguatan lafaz sampai tiga kali[86].
                            iii.            Adanya pengulangan keterangan makna hadis

Contoh: Hadis pertama:
عن جابر: قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالشفعة في كل ما لم يقسم فإذا وقعت الحدود وصرفت الطرق فلا شفعة[87]
Hadis kedua:
عن أبي مولى النبي صلى الله عليه وسلم: الجار أحق بسقبه.[88]
Hadis kedua membolehkan syuf”ah walaupun sudah dibagi sedangkan hadis pertama tidak membolehkan syuf’ah apabila bangunan itu sudah dibagi maka hadis yang pertama diterima karena adanya pengulangan keterangan makna hadis yang dimaksud[89].
Sedangkan Imam Nawawi[90] membagi konsep tarjih ini kedalam 7 bagian besar:
1.      Tarjih dengan melihat keadaan perawi hadis
a.       banyaknya perawi yang meriwayatkan hadis tersebut
b.      sedikitnya perantara hadis antara rasulullah dan rawi
c.       tarjih berdasarkan kefaqihan rawi
d.      tarjih berdasarkan pengetahuan rawi dengan bahasa arab
e.       tarjih berdasarkan kesempurnaan aqidah rawi
f.       tarjih berdasarkan rawi sebagai pelaku peristiwa
g.      tarjih berdasarkan senioritas rawi
h.      tarjih berdasarkan kedhabitan rawi
i.        tarjih berdasarkan kemasyhuran sifat adil dan tsiqah rawi
j.        tarjih berdasarkan cara penerimaan hadis
2.      Tarjih dengan melihat bagaimana cara mendapatkan hadis
3.      tarjih berdasarkan metode periwayatan
4.      tarjih berdasarkan waktu periwayatan
5.      tarjih berdasarkan redaksi hadis
6.      tarjih berdasarkan kandungan hukum hadis
7.      tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal.

Kesimpulan:
            Dari paparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
  1. Ilmu kontadiksi hadis adalah cabang ilmu dalam mushtalah hadis dan ilmu ini sangat urgen sekali, karena dengan ilmu ini  kita dapat melihat bahwa hadis sebagi sumber kedua hukum syar’i terbukti  keotentikannya dan syubhat-syubhat yang dilemparkan kepadanya hanyalah dugaan-dugaan dalam  menyudutkan Islam.
  2. Hadis kontradiktif  yang ada bukanlah hadis yang bertentangan secara hakiki tapi hanya lahiriah saja, bisa jadi penyebabnya karena adanya sudut pandang yang berbeda tentang nasikh dan mansukh, tersalah dan terlupanya sahabat, tidak mengetahui adanya hadis yang lain dan sebagainya.
  3. Maka dalam menyelesaikan hadis kontradiktif ini ulama berupaya dalam mencari solusinya, di antara solusi yang dipaparkan adalah:
    1. menggabungkan hadis yang kontradiktif tersebut,
    2. apabila tidak bisa digabungkan maka diteliti sejarah hadisnya kemungkinan terjadinya nasikh dan mansukh,
    3. jika tidak ada bukti untuk di-mansukh-kan maka hadis tersebut dipilih yang lebih kuat (tarjih).
    4. apabila tidak bisa ketiga-tiganya maka hadis tersebut di-tawaquf-kan (diberhentikan) dan beramal dengan hadis yang lain, namun hal ini jarang sekali terjadi.
  4. Perbedaan dikalangan ulama dalam memahami suatu hadis adalah hasil ijtihad yang apabila hasil ijtihad-nya benar maka diberi dua ganjaran dan apabila salah maka mendapatkan satu ganjaran, dan perbedaan ini bukanlah suatu permasalahan yang dibesar-besarkan tapi menambah dinamika dalam syariat Islam selama sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis.
Semoga dengan mempelajari kontradiksi hadis ini menambah ghirah kita dalam mempelajari Islam terutama dalam hadis. Wallahul Musta’an wa Huwa A’lam bi al-Shawab. Enjoy reading!!!

                   *Tulisan ini  pernah dipresentasikan  oleh Desri Nengsih, Lc  dan Fadhilah Is, Lc
                       pada Kajian Tafsir Hadis Almakkiyat, 11 Maret 2009 di Mutsallas  H-10  Cairo*



[1]Al-Quran, surah An-Najm: 3-4. Artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".
[2]Al- Qur’an surat an-Nisa’ayat 82 "........Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya"
[3]Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Wasītt Fī Ulūmi Wa Musthalah al-Hadīts,( Cairo:  Maktabah Assunnah, 2006 M), hal. 456
[4]Jumhuriyah Misr Al-Arabiyah, Mu’jamaul-Wajíz, (Cairo: Tab’ah Khasah Bi Wizarah At-Tarbiyah Wa Ta’lim, 2003 M), hal. 208
[5]Al-Quran, surah Maryam: 37 dan az-Zukhruf: 65, Artinya: "maka berselisihlah golongan-golongan yang ada di antara mereka". dan Az zukhruf: 65.
[6]Al-Quran, surat: aż-Żārīyāt: 8 artinya: "Sungguh, kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat".
[7] Muhammad bin  Muhammad Abu Syahbah, Op.cit. hal 456.
[8] M.‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahu, (Beirut: Darul Fikr, 2008 M) , hal 183.
[9] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarhu An Nukhbah Nuzhhatun Nazhor Fī Taudhih Nukhbatil ( Cairo: Dar al-Bashāir,  2000 M ), hal 76.
[10] As-Suyūti, Tadrībur Rāwī Fī Syarhi Taqrībun Nawawī, (Tt: Mu’assasah ar-Rayyan, 2005M),  hal 471.
[11] M. Abu Zahw, Al hadīs wal Muhaddisūn, ( Cairo: Maktabah At-Taufiqīyah, 1378H), hal 470.
[12] Syahid adalah Hadis yang datang dengan thariq atau jalur lain dengan sahabat yang  berbeda, akan tetapi lafaz dan maknanya sama atau serupa dengan makna saja.
[13] Mutabi’ adalah ada rawi lain dengan rawi yang kita kaji tadi dengan thariq atau  jalur sahabat yang sama.
[14] Ali Na’if Baqa’i, Al Ijtihad Fi Ulumil Hadis Wa Atsaruhu Fil Fiqhil Islami, Darūl Basyār Al-Islamiyah, 2009,hal 340.
[15]Dr. Dalal, et.al. Al-Jama’ Baina Mukhtalaf Al-Hadis Wa Musykiluhu; Universitas Al Azhar, Kairo hal 5.
[16]Abdul Majid Muhammad Ismail, Manhaj Taufiq Wat Tarjih Baina Mukhtalafil Hadis, (Tt: Dar an- Nafāis, tth),  hal 22-24.
[17] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bāri Bi Syarh Shhhih al- Bukhariy, juz 7, (Cairo: Dar al-Hadis, 2004 M), hal 469. Artinya” …janganlah seseorang diantara kamu shalat asar  kecuali di bani Quraizhah…
[18] Ibid. juz 2, hal 12. artinya: " Aba Amr As Syaibani berkata: telah menceritakan kepada kami pemilik rumah ini(dan dia mengisyaratkan kepada rumah Abdullah), dia berkata:saya bertanya kepada Rasulullah amalan apa yang paling dicintai Allah?Rasul menjawab: shalat pada waktunya…
[19] Abdul Majid Muhammad Isma’il.Op.cit.hal 25
[20] Imam An-Nawawi, Syarhu Shohih Muslim, (Cairo: Dar at-Taqwa, tth), kitab: haid, bab: naskhul ma' min al-ma' , juz 4, hal 606. artinnya: "jika seseorang duduk diantara dua kaki dan dua paha, dan bertemu khitan dengan khitan, maka wajib mandi.
[21] Ibid. hal 602 Artinya: … dari Abi Sa’id Alkhudri r.a dari Nabi Saw. berkata: sesungguhnya air dari air (mani).
[22] Abdul Majid Muhammad Isma’il. Op.cit
[23]Ibnu Hajar Al-Asqalani.Op.cit. juz 2, hal 258, Imam An-Nawawi. Op.cit. juz 4 hal 650. Artinya: ”dari Zuhri dari Salim bin Abdillah dari Abdullah bin Umar ra. Berkata: saya melihat Rasulullah saw. Mengangkat kedua tangan apabila shalat sampai sejajar kedua bahunya, dan dia mengerjakan itu ketika hendak takbir untuk ruku’dan ketika bangkit dari ruku’
[24]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Bab Lam Yazkur Ar-Raf’a ‘Inda Ar-ruku’, juz 1, hal 197. Artinya: “ dari Hamad, dari Ibrahim, dari Al Qamah dan Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Ibnu Mas’ud tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali ketika permulaan shalat, kemudian tidak mengulanginya lagi setelah itu”. 
[25] Dalal, et.al. Op.cit. Kairo Hal: 25.
[26] Ibid, hal 25.
[27] At-Thahawy, Syarah Musykil Atsar, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, 1994.
[28] Abdul Latif As-Sayyid Ali Syam, Al Manhaj Al Islami Fi Ilmi Mikhtalafil Hadis, Manhaj Al Imam As Syafi’i, Darud da’wah, Iskandaria, 1992 M, hal 101-121.
[29] Imam An-Nawawi, Op.cit. juz 4, hal 606. Artinya": " jika seseorang duduk diantara dua kaki dan dipaha, dan bertemu khitan dengan khitan, maka wajib mandi".
[30] Ibid. hal 602. Artinya: "dari Abi Sa’id Al-khudry dari Nabi saw. Bahwasannya dia berkata” sesungguhnya air dari air(mani)
[31] An-Nawawi, Op.cit, juz 7, hal 1141-1144. artinya” dari Abdullah bin Umar berkata” saya mendengar Rasulullah Saw berkata”sesungguhnya mayat akan diazab dikuburnya karena tangisan keluarganya.
[32] Ibid. Artinya: dari Abdullah bin Umar dari Nabi Saw.  berkata ”seorang mayat akan di azab dikuburnya karena ratapan keluarganya terhadapnya”.
[33] Al-Quran, surat Al-An’am ayat 164. Artinya: dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
[34]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul bārī bi syarhi shohihil bulkhori, (Cairo: Dar al-hadis, 2004 M) , kitab:4,bab:11,no hadis:144 juz 1 hal 297, dan Abu ‘ulā Muhammad Abdirrahman Ibnu Abdirrahim Al Mubārokfūriy, Tuhfatul Ahwazyi Bi Syarhi Jāmi’ut Turmuziy, Darul Hadis Kairo, 2001 juz 1, hal 45. Artinya; dari Abu Ayyub Al-Anshory berkata” berkata Rasulullah Saw” apabila  salah seorang kamu buang air besar maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, menghadaplah ketimur atau kebarat.
[35]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.cit, hal 298. Artinya: "Nabi Saw berkata: "apabila engkau duduk untuk buang hajat maka janganlah menghadap kiblat dan jangan pula menghadap Baitul Maqdis, lalu Abdullah bin umar berkata" pada suatu hari saya naik ke atap rumah,lalu saya melihat Rasulullah saw d uduk diantara dua batu bata untuk buang hajat menghadap Baitul Maqdis.
[36] Dalal, et.al. Op.cit. Kairo Hal:17.
[37] Ibid, hal 10.
[38] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.cit, Juz 2, Hal 74. Artinya” dari Abu hurairah Ra. berkata” Rasulullah Saw.  Melarang dua shalat yaitu shalat setelah fajar  sampai terbitnya matahari, dan setelah shalat asar sampai terbenamnya matahari”.
[39] Bukhari, Shahih al-Bukhori, Kitab: Masajid Wa Mawadi’us Shalat, Bab: Qodho’us Shalat Al Fa’itahwas Tihbab Ta’jil Qodho’iha, no 684, hal 477. Artinya: “siapa yang lupa melaksanakan shalat maka hendaklah mengerjakannya ketika dia ingat, tidak ada kifarat shalat kecuali waktu itu”.
[40] Muslim, Shahih al-Muslim, kitab Al- Jum’ah, no 844,( Beirut: Dar Ihya’ Turats, tth) , Juz 2, hal 579. Artinya: ” bahwasannya Nabi Saw. bersabda “apabila datang hari jum’at maka hendaklah kamu mandi (untuk menunaikan sholat jum’at)”..
[41]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab Thaharah, Bab Rukhshah Fi Tarki’l Ghasli Yaumu’l Jum’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), hadis no 254, juz 1, hal 92. Artinya: siapa yang berwudhuk pada hari jum’at maka itu cukup baginya, dan siapa yang mandi maka itu lebih afdhal”.
[42]Ali Nayif Al-Baqa’i, Al-ijtihad fi Ilmil Hadis, (Beirut: Dar al-Basyar al-Islamiyyah, tth), cet II, hal. 350.
[43]Abdurrahman as-Syahrazury, Muqaddimah Ibnu as-Shalah, (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Cet II. 2006),  hal: 297.
[44] Ibnu Manzdur, Lisan al-Arabi, (Cairo: Dar al-hadis, 2003), hal 200.
[45] Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, Al-Mu’jam a-Wasith, (Cairo: Maktabah Syuruq Ad-Dauliyah, cet IV, 2005), hal 135.
[46] Abdul Majid Muhammad Ismail, Manhaj at-Taufiq at-Tarjih Baina Mukhtalaf al-Hadis , (Cairo: Dar an-Nafais, tth),  hal 134.
[47] Ibid. hal 137.
[48] Ibid. hal 125.
[49] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ Turast Al-A’rabi, tth), juz:3, Kitab: Al-Aqdiyah, Bab:Khairu Syuhud , no hadis: 1719, hal 1344. Artinya: dari Zaid bin Khalid ra ;apakah aku tidak memberitau kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta.
[50] Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu Kastir), juz:3, Kitab : Fadhail Sahabat, Bab:Fadhail An-Naby, no :3450 hal:1335. Artinya: (sebaik-baik umatku adalah golonganku, kemudian orang-orang sesudahnya , kemudian orang-orang sesudah mereka.wallahua’lam apakah rasulullah menyebutkan tiga kali atau tidak. Kemudian setelah mereka terdapat kaum yang menyukai kegemukan (karena banyak makan dan minun dan mengumpulkan harta). Mereka memberikan kesaksian tanpa dimintai.
[51] Ali Nayif al-Baqa’i Op.cit, hal 347.
[52] Mahmud Thahan, Taisir Mushtalah Al-Hadis, (Alexandria: Markas Al-Huda Lil Hidayah, tth), hal 46-47.
[53] Muslim. Op.cit, Kitab As.Salam, Bab La Adwa Wala Thirah, juz 4, hal 1743 hadis no:2220. Artinya: tidak ada penyakit menular dan pertanda buruk dari burung.
[54] Bukhari, Op.cit, Bab Al-Jazam, Juz 5, Hal 2158 Hadis No:5380. Artinya: tidak ada penyakit menular dan pertanda buruk dari burung, maka larilah kamu dari penyakit menular sebagaimana engkau lari dari singa.
[55] Ibnu Manzhur, Op.cit, hal 200.
[56] Al-Qur’an, surat Al-Hajj: 52, Artinya:  Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu.
[57] Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. Op.cit.hal 917.
[58] Al-Qur’an, surat Al-Jasiah : 29. Artinya:  Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat apa yang Telah kamu kerjakan
[59] Az-Zarqani, Manahil Irfan, (Cairo: Dar Al-Ahdis, 2001), Hal 206.
[60] Abdul Madjid Muhammad Ismail , Op.cit, hal 285.
[61] As-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, cet 1, 1986), hal 142-144. Artinya: Dari al-Hasan: (Rasulullah saw bersabda: bukalah puasa bagi yang dibekam dan membekam.
[62] Ibid, hal 144. Artinya: Dari Ibnu Abbas ra: Rasulullah saw berbekam sedangkan dia dalam keadaan berpuasa.
[63] Ali Nayif Baqa’, Op.cit, hal 348.
[64] Ibnu Manzhur, Op.cit, hal 70.
[65] Imam Baidhawi, Nihayah al-ushul, Jamia’h Al-Azahar, Kairo, 2008.
[66] Abdul Majdid Muhammad Ismail, Op.cit, hal 341.
[67] Ibnu Hajar al –Asqalani Nuzhati an-Nazdri Taudhih Nukhbah al-Fikr, (Damaskus: Mathba’ ad-Dhabah, cetII, 2000),  hal 79.
[68] Abdurrahman as-Syahrazury, Op.cit, Hal 297.
[69] As-suyuthi, Tadribu ar-Rawi, Dar al-Hadist, Kairo,2004, Hal 469.
[70] Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al Islami, (Beirut: Dar Alfikr, cet XVII, 2009),  hal 460.
[71] Imam Baidhawi, Op.cit, hal:548.
[72] As-Syafi’i, Op.cit, hal 126-128. dari Umar bin Khatab ra berkata: aku melihat Rasulullah saw apabila memulai shalat maka dia mengangkat tangan hingga kebahunya, kemudian ketika akan ruku’,bangkit dari ruku’, dan tidak mengangkat tangan diantara dua sujud.
[73] Ibid, 128. Artinya: Dari Bara’ bin Azib ra berkata: aku melihat Rasulullah saw apabila akan memulai shalat maka mengangkat tangan.
[74]Ali Nayif Al-Baqa’i, Op-cit, hal 354.
[75] Abu Daud, Op.cit, Kitab Shalat, Bab Kaif al-Azan, hadis no. 502, juz 1, hal 432. Artinya: dari Abu Mahzurah ra berkata: (Rasulullah saw mengajarkan azan dan iqamah dan iqamah disebutkan dua kali-dua kali)
[76] Bukhari, Op.cit, Kitab al-Azan, bab Bada’ul Azan, hadis no:1 juz 1 hal 249. Artinya: dari Anas bin Malik ra berkata: (Rasulullah saw memerintahkan Bilal bahwa azan genap sedangkan iqamah ganjil.)
[77]Ali Nayif Al-Baqa’i, Op.cit hal 355
[78] As-syafi’i, Op.cit, hal 141. Dari Abi Hurairah ra : siapa yang mendapatkan paginya dalam keadaan junub maka hendaklah dia berbuka puasa pada hari itu.
[79] Ibid, hal 142. Dari Aisyah ra :aku melihat Rasulullah saw pada paginya dalam keadaan junub kemudian beliau berpuasa pada hari itu.
[80] Ali Nayif Al-Baqa’i. op-cit, hal 356.
[81] Bukhari, Op.cit, Kitab: Jihad Wa Siyar, Bab: La Yuazhab Bi ‘Azabillah, no: 220 juz 4 hal 147. Dari Ibnu Umar ra berkata: aku menemukan perempuan terbunuh pada sebagian peperangan, kemudian Rasulullah saw memerintahkan untuk tidak membunuh perempuan dan anak-anak.
[82] Bukhari, op. cit, Kitab Jihad Wa Siyar, Bab Qatlu An-Nisa’ Fi Al-Harbi, no 218, juz 4, hal 147.  Dari Ibnu Abbas ra berkata: Siapa yang murtad dari agamanya maka bunuhlah.
[83] Ali Nayif Baqa’i,Op.cit, hal 357
[84] Abu Dawud, Sunan Abi Daud, (Cairo: Dar Al-Hadis, 1969), Kitab: An-Nikah, Bab: Fi Walli, No Hadis :2083, Juz:2, Hal:566-567, dari Aisyah ra berkata: perempuan yang menikah tanpa izin suaminya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya bati).
[85] Muslim,Op.cit, Kitab : An-Nikah, Bab: Isti’zdhan Astaibi Fi An-Nikah Bi An-Nutqi Wa Al Bikri Bi As-Sukut, No:64, Juz:2, hal:1036, artinya:Dari Ibnu Abbas ra berkata:  janda lebih berhak dirinya dari pada walinya sedangkan gadis hendaklah adanya persetujuan dari dirinya, dan tanda setujunya adalah diamnya.
[86] Ali Nayif Baqa’i ,Op.cit, hal 358
[87] Bukhari,Op.cit, Kitab: Syu’fah, Bab: Syu’ah Ma Lam Yuqassam Faizda Waqiat Al-Hudud Fihi Syuf’ah, juz: 3, no hadis:1, hal 179, dari Jabir bin Abdullah ra : Rasulullah saw menetapkan   syuf’ah pada setiap yang belum dibagi, apabila telah ada pembagian maka  berubahlah sistemnya dan syuf’ah tidak ada lagi.
[88] Bukhari, Op.cit, Kitab Syuf’ah, Bab: A’radha As-Syuf’ah ‘La Shahibiha Qabla Ba’i, hadis no :2, juz:3 hal 179, dari Abi Rafi’ ra: sewa menyewa itu lebih berhak orang yang lebih dekat.
[89] Ali Nayif al-Baqa’i, Op.cit, hal 359
[90] As-suyuthi.Op.cit, hal 469

0 komentar: